Susana Rita Kumalasanti
Pasal pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi , sesuai Pasal 32 Ayat 2 Undang-Undang KPK , sanggup diibaratkan bom aktif yang sanggup meledak sewaktu-waktu. Bom itu sanggup memorakporandakan KPK dan jadwal besar pemberantasan korupsi yang tengah dijalankannya.
Tak usah repot-repot mencari masalah serius dengan bahaya pidana yang berat. Kasus apa saja , yang penting berkualifikasi sebagai tindak pidana. Sebab , Pasal 32 Ayat 2 UU KPK tak memuat batasan yang terang perihal tindak pidana apa saja yang sanggup menciptakan pimpinan KPK harus berhenti sementara. Seperti diketahui , Pasal 32 Ayat 2 UU KPK hanya menyebutkan , "Dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak kejahatan , diberhentikan sementara dari jabatannya".
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas , Padang , Saldi Isra , Rabu (10/6) , dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan di atas telah menjadi celah paling efektif untuk menurunkan laju upaya pemberantasan korupsi. Juga , menjadi cara terampuh untuk merusak , setidaknya , jadwal pemberantasan korupsi yang terkonsolidasi di bawah KPK. Pasal itu telah dimanfaatkan untuk menyerang balik KPK , memereteli satu per satu pimpinannya.
Celah tersebut , tambah Saldi , dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan perlawanan balik , dengan cara memakai kuasa dan kewenangan yang ada pada institusi penegak aturan mirip kepolisian.
Fakta yang menimpa pimpinan KPK , yaitu Ketua KPK nonaktif Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto , menjadi pola konkret penerapan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK. Samad menjadi tersangka dalam masalah pemalsuan dokumen yang terjadi pada 2007 , sementara Bambang menjadi tersangka dalam masalah keterangan palsu terkait sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat yang terjadi pada 2010.
Padahal , Saldi yang ketika itu menjadi salah satu anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK Tahun 2011 (yang menyeleksi Bambang) telah mengklarifikasikan masalah tersebut. Panitia seleksi yang diketuai Patrialis Akbar (saat ini hakim konstitusi) telah mendiskusikan duduk kasus tersebut dan menetapkan tetap menentukan Bambang dan mengirimkannya ke DPR.
Memang betul , ketentuan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK mengandung semangat baik dan luhur. Seperti diungkapkan Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi dalam persidangan MK , 7 Mei kemudian , pemberhentian sementara pimpinan KPK (saat berstatus tersangka) justru untuk menjaga gambaran dan wibawa baik KPK.
"Maka masuk akal kalau terhadap pimpinan KPK juga diterapkan model punishment bersifat luar biasa , khususnya terhadap ketentuan yang mengatur berhenti atau diberhentikan sebagai pimpinan KPK ," kata Wicipto.
Saldi setuju dengan semangat yang dikandung dalam Pasal 32 Ayat 2 UU KPK. Pasal itu memang dimaksudkan semoga pimpinan KPK mempunyai standar moral yang tinggi. "Hanya , di balik semangat baik norma Pasal 32 Ayat 2 UU KPK ini tersimpan bom waktu yang sanggup meledakkan KPK. Bom waktu itu akan menjadi aktif ketika langkah pemberantasan korupsi diarahkan pada forum penegak aturan ," tambah Saldi.
Ia menambahkan , dengan kewenangan penyidikan di kepolisian contohnya , ketentuan tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk mengganggu KPK. Caranya sederhana , dengan alasan aturan yang sangat mungkin dicari-cari , menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka. "Apa yang terjadi pada KPK semenjak awal 2015 merupakan bukti konkret betapa efektifnya bom waktu Pasal 32 Ayat 2 UU KPK bekerja ," kata Saldi.
Sementara itu , Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada , Yogyakarta , Eddy OS Hiariej berpandangan , pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika berstatus tersangka melanggar asas praduga tak bersalah dan juga mengekang hak asasi insan yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Konsekuensinya , jaminan akan kepastian aturan diabaikan.
Menurut Eddy , pasal tersebut seyogianya ditafsirkan secara restriktif. Pimpinan KPK diberhentikan sementara dari jabatannya apabila kejahatan itu dilakukan pada ketika yang bersangkutan masih menjabat pimpinan KPK. Interpretasi tersebut logis , sistematis , dan historikal lantaran untuk menjadi pimpinan KPK sudah melalui seleksi sangat ketat. Ketentuan itu juga sangat diskriminatif kalau tidak ada batasan yang terang mengenai kejahatan yang dimaksud.
"Misalnya saja kalau ada seorang pimpinan KPK tidak memperlihatkan makan yang cukup kepada hewan peliharaan , ia harus diberhentikan dari jabatan sementara dari komisioner KPK. Karena itu diatur dalam Pasal 302 kitab undang-undang hukum pidana , meskipun bahaya pidananya hanya tiga bulan , tetapi dikualifikasikan sebagai kejahatan ," kata Eddy.
Eddy kemudian membandingkan ketentuan pemberhentian pejabat-pejabat lain. Presiden , contohnya , diberhentikan lantaran melaksanakan tindak pidana pengkhianatan terhadap negara , korupsi , penyuapan , dan tindak pidana berat lainnya. Anggota BPK dan Komisi Yudisial yang diberhentikan lantaran melaksanakan tindak pidana yang diancam pidana mati. Sementara itu , UU Pemda menyebutkan , kepala tempat diberhentikan sementara kalau yang bersangkutan menjadi terdakwa dalam masalah korupsi , terorisme , makar , tindak pidana terhadap keamanan negara , dan/atau perbuatan lain yang sanggup memecah belah NKRI.
"Perbedaan pengaturan yang demikian memperlihatkan ada diskriminasi lantaran tidak ada perlakuan yang sama di depan aturan ," kata Eddy.
Dibatasi
Baik Saldi maupun Eddy mengusulkan adanya pembatasan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 32 Ayat 2. Pembatasan dimaksud terkait ruang lingkup jenis tindak pidana kejahatan dan waktu (tempus delicti) kejahatan dilakukan. Pembatasan itu , ungkap Saldi , sangat dibutuhkan semoga pasal tersebut tidak disalahgunakan untuk menyerang balik KPK.
Keduanya mengusulkan tindak kejahatan yang sanggup mengakibatkan pimpinan KPK berhenti sementara ialah tindak pidana terkait kewenangannya atau tindak pidana yang dilakukan ketika menjabat.
Sementara itu , untuk tindak pidana yang dilakukan sebelum memimpin KPK , proses aturan ditunda terlebih dahulu. Apabila suatu kejahatan hampir memasuki masa busuk , penghitungan busuk tak perlu memasukkan masa-masa ketika yang bersangkutan menjadi pimpinan KPK. Menurut Eddy , hal ini sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan prosedur rusten (bahasa Belanda , masa istirahat).
Namun , mirip apa nantinya pasal itu dimaknai , tetap mirip kini ini ataukah diberi pembatasan , akan sangat bergantung pada palu hakim konstitusi. Pasal tersebut tengah diuji konstitusionalitas atas permohonan Bambang Widjojanto.
MK diharapkan segera memutus kasus tersebut. Setidaknya , itu akan memperlihatkan kepastian bagi para calon pendaftar seleksi calon pimpinan KPK.
Kasus Bambang dan Samad mau tidak mau menciptakan orang berkurang nyali untuk ikut bertarung melawan korupsi via KPK. Jika dikabulkan , putusan MK akan menjamin kontribusi terhadap pimpinan KPK pada masa mendatang dari bahaya kriminalisasi.
Susana Rita Kumalasanti , Wartawan Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: "Bom Waktu" Pemberantasan Korupsi"