M Subhan SD
Corruption is simply the sign of the autumn of a nation. (Friedrich Nietzsche , 1844-1900)
Di bawah terik matahari , di depan monumen bom atom (Genbaku Dome) di Hiroshima , Jepang , pekan kemudian , terdengar rentetan kabar cukup mengejutkan dari Tanah Air. Kabar yang tersambung melalui jaringan internet sejauh 5.200-an kilometer dari Jakarta itu kira-kira begini: status tersangka mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo diminta dicabut oleh hakim tunggal Haswandi sesudah Hadi memenangi permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan , Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso enggan menunjukkan laporan harta kekayaan dan justru meminta Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengisinya , dua kubu Partai Golkar bersedia islah tetapi demi pilkada , dan seterusnya.
Bom atom little boy yang dijatuhkan dari pesawat B-29 Superfortress bomber berjulukan Enola Gay pada 6 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota Hiroshima serasa tengah dijatuhkan di bumi Indonesia. Bayangkan , agenda pemberantasan korupsi yang tak pernah tuntas selama masa reformasi 17 tahun ini tak henti-hentinya menerima perlawanan sengit. KPK tak pernah jeda dibombardir. Sejak permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG)-Kapolri gagal , tetapi kemudian menjadi Wakapolri-dikabulkan pada pertengahan Februari kemudian , praperadilan menjadi senjata serangan balik yang ampuh bagi para tersangka korupsi. KPK pun sudah keok tiga kali. Selain BG , dua tamparan praperadilan lainnya diajukan Ilham Arief Sirajuddin (mantan Wali Kota Makassar) dan Hadi Poernomo yang juga mantan Ketua BPK.
Pemberantasan korupsi memang menjadi agenda bangsa di masa reformasi , tetapi praktiknya luar biasa sulit. Sebab , musuh utama pemberantasan korupsi tak lain yaitu penyelenggara negara , baik di administrator , legislatif , maupun yudikatif. Ini deviatif mengingat demokrasi menuntut transparansi dan akuntabilitas. Kata ilmuwan politik , Mark E Warren (What Does Corruption Mean in Democracy? , 2004) korupsi yaitu defisit demokrasi alasannya merusak kultur , menciptakan inefisiensi , juga memperlebar jurang ketidakpercayaan. Di administrator , korupsi ditandai sikap pejabat yang menyimpang dari norma , aturan , dan aspirasi masyarakat. Mereka hanya mencari keuntungan. Di legislatif , sikap korup lewat kebijakan curang tidak sesuai cita-cita masyarakat. Perilaku koruptif di yudikatif alasannya putusan didasari motif dan kepentingan , bukan dalil aturan yang argumentatif dan demi keadilan.
Dalam terminologi Warren , ada individu atau kelompok yang dipercaya atau diberi mandat dengan diberi kekuasaan untuk mengambil keputusan kolektif , tetapi justru terputus dengan norma-norma. Dan , pelanggaran norma itu biasanya menguntungkan langsung atau kelompok. Kasus-kasus korupsi yang selama ini terbongkar sejalan dengan alur pikiran tersebut. Anehnya , mengikuti pandangan sosiolog SH Alatas (1928-2007) , justru mereka yang korupsi tidak mencicipi telah melaksanakan pelanggaran norma. Dalam kultur masyarakat tertentu , boleh jadi upeti atau uang pelicin dianggap hal lumrah. Karena itu , mereka barangkali enggan mengakui bahwa korupsi , sebagaimana dikatakan Colin Nye (1967) , yaitu sikap menyimpang dari tanggung jawab resmi alasannya kepentingan (pribadi , keluarga erat , kelompok swasta) , demi mengharapkan uang , status , atau pelanggaran aturan.
Tidak mengherankan , dalam posisi begitulah , Van Klaveren (1957) menyatakan , seorang pejabat korup menganggap kantor daerah kerjanya yang didanai uang rakyat justru sebagai daerah perjuangan sehingga mereka akan mengeruk laba sebesar-besarnya. Di sini pejabat korup kehilangan rasionalitas terhadap makna pengkhianatan , penipuan , atau kelalaian dalam urusan publik. Padahal , seharusnya menjadi kiprah insan modern untuk meletakkan kebijaksanaan berpikir yang higienis dan tidak sesat.
Saya teringat lagi David Rosen , konsultan politik pendiri The First Person. Menurut Rosen (2013) , dalam psikologi politik dikenal enam kepribadian politisi: narsisistis (cari perhatian , ekshibisionis , pembohong , selalu mencari kambing hitam); obsessive compulsive (pekerja keras , teliti , tetapi sering ambigu); machiavellis (manipulator , selalu menguasai , mencari laba pribadi); adikara (menjilat atasan , mendominasi bawahan , konservatif , penuh prasangka); paranoid (penuh diam-diam , mencurigakan , ragu-ragu pada kesetiaan , pemarah , pendendam , rendah diri); dan totaliter (kekuasaan dengan pesona dan teror , kultus individu , tetapi sangat jarang ditemui dalam sistem demokrasi elektoral).
Pertanyaannya , apakah para politisi , termasuk di negeri ini , selalu menderita kelainan ibarat di atas? Tak gampang menjawabnya , tetapi juga tidak sulit menemukan tipikal politisi ibarat citra Rosen. Di depan publik , para tersangka korupsi tak pernah terlihat malu. Sebaliknya , mereka kerap berpose dan tersenyum. Seandainya mereka stres pun , lebih alasannya merasa sedang apes hingga tertangkap. Mereka yang tertangkap akan menuding pemberantasan korupsi tebas pilih. Atau menuding KPK punya motif politik tertentu. Memang sikap politisi dan para penyelenggara negara aneh-aneh.
Bahkan , tidak sedikit politisi yang di zaman dulu yaitu antek-antek Orde Baru dan tidak ikut berjuang dalam gelombang reformasi , kini justru ongkang-ongkang kaki menduduki dingklik jabatan tinggi negeri. Tanpa aib , mereka menikmati hasil reformasi yang diperjuangkan oleh rakyat dengan pikiran , tenaga , bahkan darah. Politisi rukun bukan untuk memperbaiki demokrasi , melainkan untuk memburu kekuasaan. Politisi berkoar-koar ngurusi partai lain , sudah biasa di panggung politik negeri ini. Maka , menagih aib kepada mereka rasanya akan sia-sia. Di Jepang , menebus rasa aib dengan jalan bunuh diri (seppuku) sebagai bentuk pertanggungjawaban kesalahan atau kegagalan.
Maka , bangun di erat reruntuhan Genbaku Dome , saya terusik kata-kata filsuf Nietzsche. Terbayang bangsa besar yang tahun ini genap 70 tahun sanggup runtuh digerogoti korupsi. Rasanya ingin little boy dijatuhkan di negeri yang korup- tornya selalu tersenyum itu semoga mereka dibumihanguskan. Ah , di depan monumen bencana kemanusiaan pada Perang Dunia II di jantung kota Hiroshima , pikiran kok ngelantur tak karu-karuan.
M Subhan SD; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Gejala Keruntuhan.."