Trias Kuncahyono
Langit mulai agak mendung saat kaki melangkah menyusuri trotoar , sisi kanan sepanjang Jalan Chang’an , dari arah timur. Pohon mapel berderet tegak , hijau daunnya. Rerumputan sepanjang trotoar itu juga hijau. Tak ada pedagang kaki lima. Yang ada hanyalah pejalan kaki dari kedua arah , orang bergerombol bangun atau duduk di tepi trotoar , dan polisi.
Jalan Chang’an membujur dari timur ke barat , menembus Lapangan Tiananmen. Inilah lapangan yang sangat kondang , tidak hanya di Beijing , Tiongkok , daerah lapangan itu berada , juga tidak hanya di seluruh Tiongkok , tetapi ke seluruh dunia. Ia sama masyhur antara lain dengan Lapangan Merah di Rusia atau Lapangan Tahrir di Kairo , daerah kejadian bersejarah sekaligus berdarah terjadi.
Dua puluh enam tahun silam , kejadian itu terjadi di Lapangan Tiananmen. Demonstrasi mahasiswa yang menuntut demokratisasi berakhir dengan pertumpahan darah dan hilangnya nyawa. Protes sebetulnya sudah mulai semenjak April 1989 , sesudah kematian mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Hu Yaobang. Protes itu mencapai puncaknya pada 4 Juni.
Ada kejadian yang sangat populer pada 5 Juni. Seorang lelaki berbaju putih dan celana panjang hitam , tangan kiri menenteng tas keresek , bangun di tengah jalan. Ia menghadang tank. Foto yang dibentuk oleh Jeff Widener dari Associated Press mengatakan lelaki itu bangun di hadapan empat tank. Lelaki itulah yang kemudian disebut sebagai ”Manusia Tank.”
Berapa banyak korban tewas di Tiananmen pada waktu itu? Tidak gampang untuk menyebut angka yang niscaya , tetapi yang terang banyak. Jumlah itu ialah misteri , semisterius lelaki berbaju putih itu. Tentu , alasannya ialah itu , Pemerintah Tiongkok tidak suka berbicara lagi wacana kejadian yang oleh Barat disebut sebagai Tragedi Tiananmen itu. Banyak negara ibarat itu. Turki , contohnya , sangat tidak suka saat Paus Fransiskus menyebut Turki Ottoman melaksanakan genosida terhadap sekitar 1 ,5 juta orang Armenia antara 1914-1918 selama Perang Dunia I. Barangkali , Indonesia pun demikian.
Mengapa orang , terutama penguasa , tidak mau mengingat kejadian hitam ibarat itu; peristiwa yang mencoreng wajah kemanusiaan? Padahal , hal itu bab dari sejarah sebuah bangsa. Bagian sejarah yang tidak dapat dihapus , dikubur begitu saja , atau dilupakan. Sejarah sebuah bangsa memang tidak hanya mencatat hal-hal yang baik saja yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa , tetapi juga mendokumentasikan noda-noda hitam , wajah jelek , atau bopeng-bopengnya.
Kalau saja , tembok Menara Tiananmen yang bangun kokoh di tepi utara Lapangan Tiananmen dapat bercerita , tentu ceritanya akan sangat menarik sekaligus menciptakan hati bergetar. Kalau saja , foto Mao Zedong yang dipasang di Pintu Gerbang Perdamaian Surgawi , begitu Menara Tiananmen juga disebut , dapat bercerita , tentu ceritanya tak akan kalah menariknya. Dan , Mao Zedong sendiri ialah cerita; kisah wacana perjalanan negeri Tiongkok menyusuri ”Long March” , pembentukan Partai Komunis Tiongkok , Revolusi Kebudayaan (1966-1976) , kudeta , dan kesannya meninggal serta disemayamkan di mausoleum yang bangun di Lapangan Tiananmen bab timur , sebelah utara Monumen Pahlawan Rakyat.
Namun , sore itu , tidak satu orang pun yang bangun , ber-selfie , duduk , ngobrol , dan melintas di depan Menara Tiananmen , bercerita wacana sedih kemanusiaan di Lapangan Tiananmen di masa lalu. Semua asyik dengan kepentingannya masing-masing. Atau mungkin ibarat ditulis harian Global Times , ”Masyarakat Tiongkok mencapai konsensus tidak akan memperdebatkan kejadian 1989. Ketika Tiongkok bergerak maju , ada yang mencoba menarik-narik sejarah dalam perjuangan mencerai-beraikan masyarakat. Ini perjuangan yang tidak ada artinya” , (The Wall Street Journal , 4/6).
Apakah ini zaman pengingkaran? Bukankah sia-sia mengingkari kenyataan sejarah. Begitu kata filsuf Albert Camus (1913-1960). Ia masih menulis , suatu saat , kejahatan itu begitu dikucilkan ibarat teriakan protes; sekarang kejahatan itu sudah mengglobal ibarat halnya ilmu pengetahuan. Tempo hari kejahatan itu bersaksi di pengadilan , sekarang kejahatan itu menjadi penentu hukum. Dan , itu terjadi di mana-mana , termasuk di negeri ini.
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tiananmen"