Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Mencari(-Cari) Pimpinan Kpk

Saldi Isra

Sejak semula diperkirakan tidak gampang mencari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain bahaya kriminalisasi yang potensial hadir saban waktu , pengalaman waktu sekitar enam tahun terakhir , forum ini terperinci memerlukan figur yang berada dalam level extraordinary. Karena itu , proses pencarian kandidat juga memerlukan upaya yang extraordinary.

Boleh jadi untuk memenuhi tuntutan tersebut , ritme kerja sembilan srikandi jauh lebih sibuk dibandingkan semua panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK yang pernah dibentuk. Tujuannya terperinci , menemukan dan menyodorkan delapan calon kepada Presiden Joko Widodo. Setelah itu , kandidat bersiap menghadapi proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.

Jamak dipahami , di tahap pertama , pekerjaan terberat pansel yaitu mendorong banyak sekali kalangan mengajukan diri sebagai calon. Tak hanya pasif , pansel juga berupaya menghadirkan pendaftar dengan pendekatan "jemput bola". Sebagai serpihan dari langkah jemput bola tersebut , pansel tidak hanya mendatangi banyak forum , juga telah dan sedang melaksanakan road show ke sembilan kota di luar Jakarta.

Hampir sanggup dipastikan , tujuan utama dari semua langkah tersebut: bagaimana menemukan calon yang memenuhi kualifikasi extraordinary dengan margin perbedaan di antara mereka yang tidak terlalu tajam. Dengan begitu publik tidak perlu merasa khawatir dengan proses politik berupa uji kelayakan dan kepatutan ketika memilih pimpinan KPK.

Perwakilan lembaga

Pengalaman ketika menjadi Pansel Pimpinan KPK 2011 , di antara kami ada yang pernah menjadi serpihan dari forum penegak aturan yang terkait dengan KPK. Pada batas-batas tertentu , posisi demikian kadang-kadang muncul dalam membahas dan menetapkan calon. Karena itu , meski dengan kadar sangat terbatas , pandangan pro-kontra terhadap calon mustahil dihindarkan sama sekali. Untungnya , kalaupun terdapat perbedaan yang tajam , kami tak pernah mengalami kebuntuan.

Artinya , dengan komposisi ketika ini , pansel tak akan terjebak dengan kepentingan institusi. Dengan posisi demikian , proses pencarian dan inovasi calon akan jauh dari kemungkinan adanya intrik internal. Dengan begitu pansel mempunyai ruang mendapat calon pimpinan KPK yang mempunyai integritas , kesepakatan dan keberanian memberantas korupsi , kemampuan , serta kepemimpinan , dan independensi yang tidak diragukan lagi. Bahkan , pansel masih bisa menambah kriteria lain: mempunyai kemampuan persuasi menghadapi banyak sekali tekanan kepada KPK.

Sekalipun secara positif dibaca bahwa pansel tidak akan terjebak dengan institusi asal penegak aturan , adanya upaya mengajukan calon dengan mengatasnamakan forum harus diberi perhatian khusus. Misalnya , hari-hari terakhir diwartakan bahwa sejumlah perwira aktif di kepolisian ikut meramaikan bursa pencalonan pimpinan KPK. Sebagai sebuah proses yang terbuka , sejauh memenuhi persyaratan , siapa saja yang berminat mempunyai  kesempatan mengajukan diri.

Akan tetapi , perlu dicatat , tak boleh ada calon yang berada dalam posisi bukan calon berdikari atau merupakan representasi institusi , termasuk institusi penegak hukum. Sekiranya dibenarkan calon perwakilan dari sebuah institusi , maka bahaya paling serius yang menghadang di depan yaitu jikalau terpilih nanti yang bersangkutan hampir sanggup dipastikan sulit bersikap obyektif kepada institusi yang mengusung mereka dalam proses pencalonan. Bahkan , melihat bentangan empirik yang ada , mereka yang telah purnatugas pun sulit juga menjadi independen terhadap institusi awal mereka.

Sikap tegas pansel terhadap calon yang hadir sebagai representasi institusi atau calon yang diajukan oleh suatu institusi sangat diperlukan. Melihat situasi yang ada dan kebutuhan KPK ke depan , pansel harus sanggup memastikan: calon yang merupakan representasi institusi potensial "mengganggu" KPK pada gilirannya akan bermuara pada laju agenda pemberantasan korupsi. Karena itu , pansel jangan terpengaruh dengan bujuk-rayu "mereka yaitu figur-figur terbaik di institusi kami". Dalam batas kebijaksanaan sehat yang masuk akal , jikalau memang figur terbaik mengapa harus dikaryakan ke institusi lain?

Ancaman kriminalisasi

Jamak dipahami , di tengah situasi yang ada ketika ini , proses pencarian dan penjaringan calon pimpinan KPK niscaya jauh dari mudah. Bentangan fakta yang menimpa beberapa personel di KPK mengakibatkan ladang dedikasi di forum anti korupsi ini sebagai ajang uji nyali dengan bahaya tak bertepi. Bagaimanapun , bencana yang dialami Bambang Widjojanto dan kawan-kawan kuat signifikan dalam proses penjaringan calon.

Boleh jadi , alasannya kekhawatiran itu , Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polisi Republik Indonesia merasa perlu memberikan pernyataan terbuka , "Insya Allah , Polisi Republik Indonesia tak usut perkara usang pimpinan KPK mendatang." Pernyataan ini terkait dengan celah kriminalisasi yang terdapat dalam Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perihal KPK yang menyatakan , dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan , diberhentikan sementara dari jabatannya. Berkaca dari kejadian tragis yang menimpa Bambang dan kawan-kawan , rumusan Pasal 32 Ayat (2) tersebut yang digunakan untuk mempercepat masa "pensiun" mereka dari KPK.

Sekalipun ada pernyataan tersebut , secara aturan tak ada jaminan bagi pimpinan KPK terbebas dari kemungkinan kriminalisasi alasannya indikasi tindak pidana sebelum terpilih. Selama ketentuan ini masih eksis , dengan dalil penegakan aturan , celah Pasal 32 Ayat (2) ini sangat mungkin dimanfaatkan penyidik menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka dugaan tindak pidana , meski indikasi kejahatan yang dilakukan sumir dan bisa saja dengan dalil yang sangat dicari-cari.

Sebagai sebuah forum dengan wewenang yang luar biasa , Pasal 32 Ayat (2) bersama-sama menghendaki setiap pimpinan KPK mempunyai standar moral tinggi dan insan dengan tanpa toleransi melaksanakan pidana sekecil apa pun. Hanya saja , di balik semangat baik tersebut tersimpan bom waktu yang sanggup meledakkan kerja besar KPK. Bom waktu itu akan menjadi aktif ketika langkah pemberantasan korupsi diarahkan kepada forum penegak hukum.

Paling tidak , pengalaman yang menimpa Bambang dan kawan-kawan tersebut mengambarkan betapa liarnya Pasal 32 Ayat (2) jikalau tanpa pembatasan yang sanggup menawarkan rasa kondusif bagi pimpinan KPK. Semoga dilema ini sanggup dijawab Mahkamah Konstitusi yang tengah menguji konstitusionalitas Pasal 32 Ayat (2). Sebab , bagaimanapun , bila tidak dibatasi , dengan wewenang penyidikan yang dimiliki penegak aturan lain , contohnya kepolisian , pasal ini potensial dimanfaatkan untuk "mengganggu" KPK. Caranya sederhana , dengan dalil aturan dan bukti-bukti yang mungkin dicari-cari , pimpinan KPK sanggup menjadi tersangka.

Sadar atau tidak , kondisi di atas benar-benar menjadi suasana tidak menguntungkan yang menyelimuti proses seleksi pimpinan KPK generasi keempat. Sebagai sekumpulan figur yang diamanatkan mencari dan menemukan calon pimpinan KPK yang kredibel , pansel harus bisa keluar dari impitan dilema ini.

Saldi Isra; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) , FH Universitas Andalas

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mencari(-Cari) Pimpinan Kpk"

Total Pageviews