Ramlan Surbakti
Peyelenggaraan pemilihan gubernur , bupati dan wali kota serentak 2015 mengalami kedodoran dalam dua hal: peraturan perundang-undangan dan persiapan penyelenggaraan.
Hukum dan kepastian aturan mengenai pemilihan umum (pemilu) sangat penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Pemilu , termasuk pemilihan gubernur , bupati , dan wali kota , ialah persaingan antarpeserta pemilu atau antarpasangan calon untuk memperebutkan jabatan yang sama (kepala dan wakil kepala daerah). Karena jumlah jabatan yang diperebutkan sedikit (satu kepala kawasan di setiap daerah) , jumlah yang bersaing mendapatkan jabatan itu lebih banyak daripada jumlah jabatan yang diperebutkan; dan jabatan itu dipandang amat sangat penting (bahkan dipandang jauh lebih penting daripada hal lain) , maka persaingan pasti akan sangat tajam , bahkan tak jarang memakai kekerasan.
Relevansi aturan pemilu tak hanya untuk mencegah kekerasan dalam persaingan itu , tetapi terutama untuk menjamin biar persaingan itu berlangsung bebas dan adil. Setiap peserta/pasangan calon tak hanya sama-sama bebas melaksanakan kampanye meyakinkan pemilih menurut rambu-rambu yang diatur dalam UU , tetapi juga mempunyai kesempatan dan sarana yang relatif setara untuk melaksanakan kampanye sebagaimana dijamin dalam UU. Kepastian aturan tak hanya penting bagi setiap pasangan calon , tetapi juga bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Dengan demikian , aturan main dalam persaingan tak hanya sama , tetapi juga dipahami sama semua pihak (predictable procedures). Yang disebut KPU berdikari ialah KPU menyelenggarakan pemilu semata-mata menurut peraturan perundang-undangan yang mempunyai kepastian hukum. Undang-undang yang mengatur pemilu dalam pemilu otoritarian tak menjamin persaingan bebas dan adil antar para penerima pemilu/pasangan calon.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 perihal Perubahan UU No 1/2015 perihal Peraturan Pemerintah Pengganti UU perihal Pemilihan Gubernur , Bupati , dan Wali Kota tak hanya secara substansial mengandung sejumlah aspek yang tak demokratis , tetapi juga mengandung ketidakpastian aturan dalam banyak aspek.
Pertama , proses penentuan pasangan calon kepala kawasan dan wakil kepala kawasan tak demokratis alasannya ialah pasangan calon ditentukan sepenuhnya oleh pengurus partai di tingkat kawasan dengan persetujuan pengurus sentra , tetapi sama sekali tak melibatkan anggota parpol. Padahal UU parpol menjamin hak anggota partai menentukan dan dipilih , dan menentukan isi kebijakan partai. Kedua , UU itu melanggar HAM alasannya ialah melarang seorang WNI yang mempunyai relasi kekerabatan dengan petahana menjadi calon kepala kawasan atau calon wakil kepala daerah. Melarang seseorang menjadi calon hanya alasannya ialah beliau anak/istri petahana sama buruknya dengan menjadikan seseorang menjadi calon hanya alasannya ialah beliau anak/istri petahana.
Seharusnya proses penentuan calon dilakukan secara demokratis , yaitu pengurus partai secara kolektif menyiapkan lebih dari satu calon , menjamin persaingan bebas dan adil antarcalon (persaingan) , dan menjamin hak anggota partai menentukan pemenang persaingan (partisipasi). Kalau istri seorang petahana ditetapkan sebagai calon menurut proses demokratis menyerupai ini , ini tak sanggup dikategorikan sebagai penerapan praktik dinasti.
Ketiga , UU ini tak menjamin kesetaraan antarpemilih alasannya ialah tak ada hukuman berupa pemungutan bunyi ulang kalau jumlah masalah pelanggaran berupa "penggunaan hak pilih lebih dari satu kali" di suatu tempat pemungutan bunyi (TPS) hanya satu saja , atau kalau jumlah masalah "perusakan surat bunyi yang sudah dicoblos di suatu TPS hanya satu saja". Pemungutan bunyi ulang untuk kedua jenis pelanggaran ini akan dilakukan kalau pelanggaran terjadi lebih dari satu kasus.
Keempat , hasil pemilihan gubernur , bupati , dan wali kota kemungkinan besar tak akan menjamin efektivitas pemerintahan kawasan alasannya ialah pasangan calon terpilih ditetapkan menurut bunyi terbanyak. Yang dimaksud bunyi terbanyak di sini bukan lebih banyak didominasi melainkan pluralitas: mencapai jumlah bunyi lebih banyak daripada jumlah bunyi dari masing-masing pasangan calon lain tanpa harus mencapai persentase bunyi tertentu. Bila jumlah pasangan calon lebih dari lima (di banyak kawasan bahkan mencapai 10 pasang calon) , maka bukan mustahil perolehan bunyi sebanyak 15 persen jadi pemenang.
Sistem pemilu kepala kawasan dan wakil kepala kawasan seharusnya didesain untuk membuat pemerintahan kawasan yang efektif. Pemerintahan kawasan akan efektif apabila kepala kawasan mempunyai kepeminpinan politik transformatif , menerima legitimasi tinggi dari warga kawasan , dan memperoleh derma solid (mayoritas) anggota DPR. Kedua , faktor terakhir tak dijamin oleh sistem pemilu yang diadopsi UU No 8/2015. Sistem pemilu gubernur , bupati , dan wali kota yang diadopsi UU No 8/2015 tak mempunyai visi terang perihal pemerintahan daerah. Kepemimpinan politik dan manajemen dari seorang kepala kawasan juga faktor penting untuk membuat pemerintahan kawasan yang efektif. Proses penentuan calon yang tak demokratis tak mungkin menghasilkan kepemimpinan transformatif. Namun , kepemimpinan politik saja mungkin tak bisa meyakinkan warga kawasan dan anggota DPRD. Akibatnya derma rakyat dan anggota DPRD sering kali diperoleh dengan kepemimpinan transaksional.
Tanda tanya besar
Dari segi kepastian aturan , UU ini juga mengandung sejumlah aspek yang mengakibatkan tanda tanya besar. Pertama , menyamakan pemilih dengan penduduk. Menurut UU ini , pemilih ialah penduduk yang sekurang-kurangnya berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin dan terdaftar sebagai pemilih. Rumusan ini tidak konsisten dengan UU pemilu lain yang menentukan pemilih ialah WNI. Berdasarkan UU perihal manajemen kependudukan , tak semua penduduk Indonesia menjadi warga negara Indonesia. Tidak semua penduduk Kota Surabaya menjadi WNI. Apakah warga negara abnormal sanggup menjadi pemilih?
Kedua , DPRD diberi kiprah mengirimkan surat pemberitahuan perihal selesai masa jabatan kepada kepala daerah. Tugas pemberitahuan ini jauh lebih sempurna diberikan kepada institusi yang mengeluarkan penetapan kepala kawasan dan wakil kepala daerah.
Hal ini tak hanya alasannya ialah pemerintah atasan yang mengeluarkan keputusan penetapan yang lebih tahu perihal masa jabatan , tetapi juga alasannya ialah masa jabatan merupakan sesuatu yang secara aturan sudah pasti sehingga tidak sempurna diserahkan kepada forum yang prosedur kerjanya musyawarah dan perundingan menyerupai DPRD. Ketiga , ketentuan perihal larangan jual-beli bunyi sudah diatur dalam UU ini , tetapi tak ada hukuman atas pelanggaran ketentuan jual-beli suara.
Keempat , daftar pemilih embel-embel (DPT) mempunyai tiga pengertian berbeda , yaitu daftar pemilih sementara (DPS) hasil perbaikan , pemilih yang memakai hak pilihnya tidak di tempat beliau terdaftar , tetapi di TPS kawasan lain , dan pemilih yang tidak terdaftar , tetapi akan memakai hak pilihnya menurut KTP atau paspor. DPT yang campur-aduk menyerupai ini pasti tak membantu membuat DPT yang mencapai kemutakhiran dan akurasi yang tinggi.
Kelima , UU melarang parpol yang mengusulkan pasangan calon kepala kawasan dan wakil kepala kawasan mendapatkan sumbangan dana kampanye dari pihak abnormal , dari pemerintah dan pemda , BUMN/BUMD , dan pihak yang identitasnya tak jelas. Berdasarkan UU ini , pasangan calon tak dihentikan mendapatkan sumbangan dari pihak abnormal , pemerintah , dan sumber yang identitasnya tidak jelas. UU pemilu lainnya justru melarang penerima pemilu mendapatkan sumbangan menyerupai ini , dan parpol bukan penerima pilkada.
Keenam , UU ini mewajibkan parpol yang mengusulkan pasangan calon untuk membuka rekening khusus dana kampanye di suatu bank. Karena itu , pasangan calon tak akan kena hukuman kalau tak membuka rekening khusus dana kampanye di bank. Ketujuh , UU No 8/2015 tak mengatur kiprah dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat sentra dalam pilkada , tetapi mengatur kiprah dan kewenangan Bawaslu provinsi hingga ke pengawas tingkat lapangan.
Anggaran pilkada
Dari segi persiapan penyelenggaraan pemilu , dua parpol mengalami kepengurusan ganda sedangkan KPU dan Bawaslu menghadapi permasalahan anggaran di sebagian kabupaten/kota. KPU sudah mempunyai fatwa terang dalam menentukan kepengurusan parpol yang dipandang sah dalam mengajukan pasangan calon. Yang menjadi masalah , konflik internal di dalam parpol yang tak sanggup diselesaikan secara internal oleh parpol alasannya ialah parpol selama ini memang tak pernah melembagakan (baca: tak pernah membuat aturan main dalam AD/ART untuk menuntaskan semua kemungkinan perbedaan pendapat di dalam partai). KPU juga tidak bisa dipaksa oleh kehendak sejumlah parpol untuk mengikuti aturan main yang tidak sesuai dengan UU.
Persoalan anggaran pilkada ialah urusan dan tanggung jawab pemda dan pemerintah pusat. Prinsip dasarnya ialah KPU tak mungkin menyelenggarakan pilkada tanpa dana memadai. KPU tentu sanggup mengusulkan kebutuhan anggaran sesuai perencanaan tahapan pilkada atau menanyakan kapan tersedia anggaran , tetapi KPU tak boleh mengemis anggaran kepada pemda/pemerintah. Tetapi , KPU sanggup dituntut untuk menjamin efisiensi dalam perencanaan dan penggunaan anggaran. Dewasa ini muncul pertanyaan dari sebagian pihak: mengapa anggaran pilkada serentak membengkak? Bukankah semenjak awal pilkada serentak dikatakan akan mengurangi anggaran pilkada?
Pertama , bentuk kampanye semua pasangan calon yang difasilitasi KPU , menyerupai pemasangan iklan kampanye di televisi dan pengadaan alat peraga , didanai dari anggaran pilkada. UU seharusnya membatasi persentase dana publik untuk acara kampanye pasangan calon sebanyak-banyaknya 30 persen. Selebihnya harus ditanggung pasangan calon. Pada satu sisi sistem kampanye menyerupai ini bisa menjamin equal playing field antarpasangan calon. Kebijakan yang adil ini harus disertai larangan bagi setiap pasangan calon untuk memasang iklan kampanye di luar yang disiarkan TV tersebut.
Pada sisi lain , pengadaan alat peraga kampanye sebanyak rumah tangga di setiap kawasan untuk setiap pasangan calon merupakan kebijakan yang kurang sempurna alasannya ialah mengakibatkan anggaran membengkak. Bila suatu kota mempunyai satu juta rumah tangga dan jumlah pasangan calon mencapai lima , maka KPU harus mengadakan lima juta alat peraga. Yang semestinya dilakukan KPU dan pemda ialah memutuskan daftar tempat (lokasi) pemasangan alat peraga kampanye di seluruh kawasan yang bersangkutan , menjamin luas ruang yang sama antarpasangan calon untuk pemasangan alat peraga , dan melarang pemasangan alat peraga kampanye di luar tempat yang ditentukan tersebut. Pasangan calon yang memasang alat peraga di luar tempat yang ditentukan harus dikenai dua macam sanksi: wajib menanggung denda sebanyak dua kali biaya pencucian alat peraga tersebut , dan pengumuman daftar nama pasangan calon yang memasang alat peraga di luar tempat yang ditentukan.
Kedua , anggaran pilkada serentak akan berkurang kalau pemilihan gubernur , bupati , dan wali kota di suatu provinsi dilakukan secara serentak. Data yang diperoleh dari KPU memperlihatkan hanya 12 dari 34 provinsi yang melaksanakan pemilihan gubernur , bupati , dan wali kota sekaligus pada 9 Desember 2015 , selebihnya tanpa pemilihan gubernur. Ketiga , kawasan yang kepala wilayahnya maju lagi untuk masa jabatan kedua cenderung memutuskan anggaran pilkada yang membengkak , sedangkan kawasan yang kepala wilayahnya tidak lagi maju cenderung terlambat memperlihatkan persetujuan.
Keempat , KPU bersama KPU di kawasan belum mempunyai daftar pos pengeluaran pemilu yang esensial , jumlah sarana yang diharapkan untuk setiap aspek pengeluaran , dan indeks harga yang tidak sama antardaerah. Karena itu , hingga hari ini KPU belum bisa memutuskan berapa biaya pemilu untuk seorang pemilih baik secara nasional maupun per daerah. Ketidakmampuan ini sebagian alasannya ialah kondisi lokal Indonesia yang beraneka ragam , tetapi sebagian lagi alasannya ialah para pegawai KPU belum mempunyai kompetensi keilmuan tata kelola pemilu dalam perencanaan tahapan pemilu dan perencanaan anggaran pemilu.
Ramlan Surbakti; Wakil Ketua KPU 2001-2007
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pilkada Serentak Kedodoran"