Mugiyanto
Setelah dinantikan selama setengah tahun , akibatnya Presiden Joko Widodo mulai merealisasikan kesepakatan dan programnya untuk menuntaskan masalah pelanggaran hak asasi insan berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini ditunjukkan dengan telah dibentuknya sebuah tim adonan lintas kementerian dan forum yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik , Hukum , dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno.
Sebagaimana disampaikan di media , tim adonan ini bertugas merumuskan kebijakan untuk menuntaskan enam masalah pelanggaran berat HAM , yaitu masalah insiden 1965-1966; masalah penembakan misterius 1982-1985; masalah Talangsari di Lampung (1989); masalah penghilangan orang secara paksa 1997-1998; masalah kerusuhan Mei 1998; serta insiden Trisakti , Semanggi I , dan Semanggi II.
Perkembangan ini tentu disambut dengan penuh harap oleh korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang telah menanti puluhan tahun.
Harapan para korban yang dipupuskan oleh 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang mulai tumbuh kembali. Harapan ini didasarkan pada dokumen Nawacita yang secara eksplisit menyebutkan perlunya penyelesaian pelanggaran HAM masa kemudian secara menyeluruh dan berkeadilan.
Selain itu , Jokowi yang tidak mempunyai kaitan pribadi dengan rezim otoritarian Orde Baru diperlukan mempunyai pendekatan yang berbeda dalam penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu.
Terkait pembentukan tim adonan , Jokowi telah memperlihatkan konfirmasinya sebagaimana dikutip oleh media ini , "Sudah ada pertemuan , tetapi , kan , perlu tindak lanjut. Ditunggu saja , saya pastikan akan kita selesaikan , tetapi satu per satu ," (Kompas , 29/5).
Namun demikian , ada satu hal yang menjadi keprihatinan dan menjadikan kekhawatiran para korban , yaitu ketika Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan dan Jaksa Agung menyampaikan bahwa cara penyelesaian yang hendak diambil pemerintah ialah dengan jalan nonyudisial , yaitu dengan cara rekonsiliasi.
Alasan yang disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo , cara yudisial sudah tidak dapat dilakukan sebab saksi dan bukti yang sudah tidak ada sebab peristiwanya telah terjadi pada waktu yang lama.
Mendengarkan bunyi korban
Terkait rencana dan posisi yang diambil tim adonan ini , penulis merasa perlu memperlihatkan beberapa poin masukan biar tujuan penyelesaian masalah secara menyeluruh dan berkeadilan benar-benar dapat tercapai.
Yang pertama , tim adonan harus secara substantif mendengarkan bunyi dan keinginan korban , setidaknya dari enam masalah yang hendak ditangani. Mendengarkan bunyi korban sangat penting untuk memastikan biar langkah penyelesaian yang hendak diambil tidak hanya sesuai dengan kaidah HAM , tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak para korban dan keluarga korban.
Perlu dicatat di sini bahwa beberapa inisiatif penyelesaian yang pernah diambil pemerintah sebelumnya menyerupai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pemulihan gagal sebab tidak adanya ketulusan pemerintah untuk mendengar dan menampung bunyi dan kepentingan korban.
Yang kedua , penyelesaian menyeluruh dan berkeadilan sebagaimana menjadi komitmen Jokowi tidak dapat dilakukan dengan pendekatan parsial. Pernyataan Jaksa Agung dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan bahwa enam masalah pelanggaran HAM berat masa kemudian tersebut akan diselesaikan dengan cara rekonsiliasi tidak hanya parsial , tetapi juga belum merefleksikan bunyi korban.
Penyelesaian masalah secara rekonsiliasi ialah simplifikasi atas prosedur nonyudisial yang sebetulnya meliputi unsur-unsur pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban.
Dalam diskursus transitional justice , penyelesaian masalah pelanggaran berat HAM secara menyeluruh dan komprehensif mensyaratkan digunakannya prosedur nonyudisial dan yudisial secara paralel dan saling melengkapi terutama sebab pelanggaran berat HAM bersifat kompleks. (Hayner , 2011)
Tidak dapat dimungkiri bahwa konteks politik , contoh , besaran (magnitude) , cakupan (scope) , bentuk kejahatan dan pelaku-pelaku yang terlibat dalam enam masalah yang hendak diselesaikan sangatlah bermacam-macam sebagaimana terlihat dari laporan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang berjudul "Menemukan Kembali Indonesia". Pendekatan tunggal (nonyudisial) yang linear dipastikan tidak akan dapat membawa hasil yang diharapkan.
Selain itu , terminologi "rekonsiliasi" telah mengalami inflasi definisi , sebab diterjemahkan para korban sebagai perjuangan pemaksaan perdamaian antara korban dengan pelaku jika dilakukan tanpa proses pengungkapan kebenaran , pemulihan , apalagi keadilan. Rekonsiliasi telah dimaknai para korban sebagai sebuah perwujudan impunitas.
Dari proses mempelajari konstruksi masalah dan interaksi bersama para korban selama lebih dari satu dekade terakhir , penulis berkeyakinan bahwa penyelesaian enam masalah yang dimaksud harus didasarkan kepada pertimbangan yang sangat cermat melalui kajian mendalam masing-masing masalah yang semua berkasnya ada di kejaksaan agung. Hasil kajian ini kemudian disandingkan dengan keinginan para korban dan keluarga korban.
Dari sana dapat dirumuskan hal-hal yang mendesak yang dapat dilakukan (feasible) dan pada dikala yang sama diinginkan oleh korban dan keluarga korban (desirable) dengan tetap mengacu kepada kaidah aturan HAM internasional. Misalnya , untuk masalah penghilangan orang secara paksa 1997-1998 , pemerintah harus segera mengambil langkah untuk memberi tanggapan simpulan (closure) mengenai nasib dan keberadaan para korban.
Pentingnya ratifikasi dan ajakan maaf
Bila isu yang berkembang benar , maka rencana Jokowi untuk memberikan ratifikasi dan ajakan maaf resmi (official public apology) dapat menjadi langkah pembuka dimulainya proses penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang berat ini.
Walaupun bukan hal gres , langkah ini dapat menjadi ukuran keseriusan Jokowi dalam menuntaskan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
Perlu diingat lagi , pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memberikan ajakan maaf atas terjadinya insiden pelanggaran HAM tahun 1965 (Kompas , 15/3).
Beberapa tahun kemudian , Wali Kota Palu Rusdi Mastura juga memberikan ajakan maaf serupa. Bahkan langkah wali kota Palu kemudian menindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Wali Kota Nomor 25 Tahun 2013 yang berisi langkah-langkah pemulihan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di wilayah Palu , Sulawesi Tengah.
Tidak dapat dimungkiri , pelanggaran berat HAM dengan skala , cakupan serta rentang waktu dan wilayah yang sedemikian usang dan luas tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi , setiap kerja besar selalu saja ada langkah awalnya.
Jokowi sangat beruntung sebab sudah dapat mengambil pilihan ketika masih berada di awal kekuasaan; beretorika dan membuang waktu untuk pencitraan , atau hadir , bekerja dan berani menyudahi beban sejarah masa kemudian yang terus membelenggu.
Mugiyanto; Penyintas insiden penculikan pelopor pro-demokrasi 1998; Anggota Dewan Pengurus IKOHI; Program Officer Senior untuk HAM dan Demokrasi INFID
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Rekonsiliasi Dan Partisipasi Korban"