J Kristiadi
Pilkada serentak pada Desember 2015 yang akan menentukan lebih dari 250 kepala kawasan diperkirakan menghabiskan uang rakyat hampir menyentuh Rp 7 triliun. Ironinya , perhelatan politik masif tersebut tanpa greget wacana yang menyentuh kepentingan publik. Isu-isu politik didominasi oleh pertarungan internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan memperebutkan kepengurusan. Perdebatan berkepanjangan dan saling siasat mewacanakan beberapa pilihan untuk mengatasi kemelut kedua parpol itu , antara lain revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 wacana Pilkada , penerbitan perppu , arbitrase , menitipkan kader partai pada sekutunya , islah dan inkracht. Pilihan dua opsi terakhir itu beberapa ahad ini banyak dibicarakan.
Pilihan antara inkracht dan islah sama baiknya. Namun , kualitas hasil tidak ditentukan oleh prosedur teknikal , tetapi tergantung pada sutradara yang mengendalikan tokoh-tokoh kedua parpol tersebut. Setidak-tidaknya terdapat tiga sutradara yang sanggup terlibat dalam proses mengatasi konflik PG dan PPP. Mereka itu yakni ”kapital” , ”interes” , dan ”suara rakyat”. Ketiga sutradara tersebut sanggup memiliki skenario sendiri-sendiri , tetapi sanggup pula berkolaborasi dan bersinergi satu sama lain.
Pilihan inkracht dilakukan melalui prosedur pengadilan. Opsi ini bukan pilihan jelek , bahkan mulia. Namun , kalau sutradara yang berperan secara umum dikuasai yakni interes yang dibakar oleh nafsu cemburu dan dahaga kuasa , terlebih jikalau berkolaborasi dengan kapital , hampir sanggup dipastikan proses penyelesaian akan menguras waktu , tenaga , pikiran , dan biaya. Sebab , gampang ditebak , siapa pun yang kalah , hampir sanggup dipastikan mengajukan banding ke tingkat lebih tinggi. Karena itu , kader-kader PG dan PPP mungkin tidak sanggup ikut pilkada alasannya yakni Komisi Pemilihan Umum tetapkan tenggat registrasi final Juli 2015.
Parpol lain sudah mulai melaksanakan penjaringan. Dikhawatirkan PG dan PPP akan mengalami akselerasi proses dekonsolidasi dan demoralisasi. Partai akan bubrah berantakan. Kemungkinan perpecahan permanen sangat mungkin dalam wujud muncul- nya partai sempalan. Lain halnya kalau sutradaranya ”suara rakyat” , demi kepentingan rakyat , mereka yang kalah di pengadilan akan ikhlas. Sebaliknya , pemenang tidak pongah dan adikara , bahkan mungkin mengakomodasi kader-kader dari kubu lain. Sikap mulia tersebut tidak hanya menciptakan partai semakin solid , tetapi juga mengisi kekosongan ranah politik yang kering dengan harapan dengan niat baik dan bijak.
Sementara itu , opsi islah nasibnya juga sangat tergantung pada sutradaranya. Namun , alternatif ini lebih memiliki daya paksa alasannya yakni denting bunyi rakyat sepertinya terdengar oleh KPU sehingga ia menciptakan keputusan yang mendorong kedua partai politik melaksanakan islah yang komprehensif , bukan islah sementara dan parsial. Pasal 36 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 menentukan: Ayat (1) bahwa kepengurusan parpol yang berhak mengajukan calon yakni keputusan terakhir dari Menteri (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). Ayat (2) bila penyelesaian sengketa memerlukan penetapan pengadilan , pencalonan dilakukan sehabis ada kekuatan aturan tetap serta ditindaklanjuti dengan keputusan menteri wacana kepengurusan partai politik. Ayat (3) bilamana belum ada keputusan aturan yang inkracht dan penyelesaian sengketa dilakukan dengan hening , KPU mendapatkan registrasi menurut keputusan terakhir menteri hasil akad perdamaian.
Niat mulia KPU biar PG dan PPP islah di tanggapi secara berbeda , tetapi diperkirakan akan membuahkan hasil yang sama. PG pada awalya cukup bersemangat , tetapi sayangnya peranan sutradara ”suara rakyat” mulai melemah dan digantikan oleh dua sutradara lainnya yang mengobarkan api hasrat kuasa. Hal seolah-olah terjadi pada PPP , meskipun mula-mula mereka mencoba islah. Namun , pada level pimpinan lebih tinggi , hubungan Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Ketua Umum PPP hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy tampak kian meruncing.
Pada titik ini sudah sanggup diantisipasi bahwa sutradara ”interes” dan ”kapital” dibi- arkan merajalela , opsi apa pun akan mengakibatkan skenario bubrah-bubrahan atau rusak-rusakan. Mungkin untuk menghadirkan sutradara ”suara rakyat” , tokoh-tokoh PG dan PPP perlu menggali memoria mereka , mengapa PG yang menjelang reformasi menjadi bulan-bulanan alasannya yakni pernah menjadi mesin politik penguasa otoritarian. Pada Pemilu 1999 yang sangat demokratis sanggup menjadi pemenang kedua dengan meraih 120 bangku di dewan perwakilan rakyat , di bawah juara utama PDI Perjuangan yang mendapatkan 150 kursi. Sementara itu , PPP juga sanggup berkontemplasi , mengapa PPP yang dilindas oleh mesin politik penguasa Orde Baru masih tetap bertahan eksistensinya , dengan memperoleh 25 hingga 30 bangku di dewan perwakilan rakyat meskipun mendapatkan tekanan fisik , psikis , dan politik.
Renungan memoria itu mungkin sanggup menggali nilai-nilai mulia sehingga sanggup menghadirkan sutradara ”suara rakyat” biar partai yang pernah digdaya tidak dibiarkan mengalami pembusukan politik serta loyo alasannya yakni terlalu banyak mengonsumsi opium kekuasaan. Dengan demikian , skenario bubrah , buah karya sutradara ”ïnteres” dan ”kapital” tidak laris di panggung politik yang mementaskan lakon ”PG dan PPP kembar”; dan digantikan dengan sutradara ”suara rakyat” yang menyuguhkan dongeng ”PG dan PPP Membangun Kahyangan (surga)”.
J Kristiadi; Peneliti Senior CSIS
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Skenario Islah| ”Inkracht” Atau ”Bubrah”"