W Riawan Tjandra
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 ihwal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Pasal 2 PP No 65 Tahun 1999 ihwal Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara merupakan kewajiban yang tak boleh dielakkan oleh setiap orang yang menduduki jabatan penyelenggara negara.
Sebagai suatu kewajiban jabatan , pelanggaran terhadap norma aturan itu sanggup dikenai hukuman jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku , mulai dari hukuman etik bahkan hukuman pidana.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tersebar banyak sekali kewajiban yang mutlak harus ditaati setiap aparatur sipil negara , mulai dari norma etik (ethical norm) hingga dengan norma aturan (legal norm) bagi setiap aparatur sipil negara terutama menempel kewajiban untuk menawarkan kepeloporan bagi aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi.
Demikian pula dalam UU No 30 Tahun 2014 ihwal Administrasi Pemerintahan mengatur dengan tegas bahwa setiap pejabat pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan tak boleh melanggar peraturan perundang-undangan sebagai norma aturan tertulis (written law) maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai norma aturan tak tertulis (unwritten law).
Mekanisme pelaporan
Sebagaimana diberitakan oleh banyak media massa termasuk Kompas , Kepala Badan Reserse Kriminal Polisi Republik Indonesia Komisaris Jenderal Budi Waseso menyarankan semoga prosedur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) diubah. Bukan lagi penyelenggara negara yang melaporkan , melainkan institusi penegak aturan yang menelusurinya (Kompas , 29/5/2015).
Bahkan , diberitakan pula di banyak media massa bahwa yang bersangkutan hingga sekarang juga tak kunjung menyerahkan LHKPN kepada KPK sebagaimana diperintahkan perundang-undangan bagi setiap penyelenggara negara tanpa kecuali.
Lahirnya UU Nomor 28 Tahun 1999 ihwal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN merupakan amanat reformasi 1998 yang kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 ihwal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi , Kolusi , dan Nepotisme (KKN). Fondasi norma aturan yang mengatur kewajiban bagi setiap penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK sebelum dan sesudah menjabat diletakkan di atas beberapa prinsip pokok yang perlu diperhatikan penyelenggara negara.
Pertama , secara konstitusional , kewajiban untuk menyerahkan LHKPN bagi setiap penyelenggara negara merupakan norma aturan yang oleh konstitusi yang bermaksud membangun tata kelola pemerintahan yang higienis dan berwibawa , checks and balances dan demokrasi , dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important).
Kedua , Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 yang dijadikan acuan dalam pembentukan UU Nomor 28 Tahun 1999 selama ini merupakan intermediate factor bagi keefektifan penegakan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Maka , kewajiban menyerahkan LKHPN menjadi kunci untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan sikap jabatan dari setiap penyelenggara negara.
Penolakan menyerahkan LKHPN mestinya sanggup menjadi indikasi bagi penegak aturan untuk meningkatkan pengawasan efektif , apalagi dalam UU Tipikor dianut asas pergeseran beban pembuktian (shifting burden of proof) yang mewajibkan bagi tersangka tipikor untuk pertanda bahwa dirinya tidak melaksanakan tipikor dalam persidangan (Pasal 37 , 37A , 38 A-C UU Tipikor). Secara a contrario , sanggup dikatakan bahwa justru melalui LHKPN yang diserahkan di awal dan final jabatan penyelenggara negara sanggup menjadi pembuktian mengenai sikap higienis bagi setiap penyelenggara negara baik sebelum , selama , maupun sesudah menjabat sebagai penyelenggara negara semoga tak perlu diterapkan UU Tipikor.
Buktikan bersih
Dengan kata lain , benarlah slogan yang menyatakan "Jika higienis , mengapa harus risi?" Ketiga , menolak mematuhi norma aturan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 yang merupakan mandat dari Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 sama halnya dengan mencabut ruh reformasi 1998. Hal itu jikalau dibiarkan akan menjadi preseden jelek yang menyebabkan kian lemahnya upaya membangun pemerintahan yang higienis dan berwibawa.
Keempat , penolakan oleh siapa pun penyelenggara negara untuk menyerahkan LHKPN selain secara aturan tetap sanggup dikenai hukuman administratif berupa pemberhentian dari jabatan , hukuman etik , maupun hukuman pidana , juga sanggup meruntuhkan kewibawaan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang berupaya membangun gambaran publik melalui revolusi mental sebagai fondasi dari Nawacita.
W Riawan Tjandra; Pengajar Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Lkphn Dan Penyelenggara Negara"