Radhar Panca Dahana
Belakangan mulai banyak pihak yang bicara wacana sebuah terma terkenal , tetapi obskur dalam pemaknaan , apalagi aplikasinya: laut atau maritim (maritime). Sejak lebih satu dekade kemudian saya menulis banyak perihal lema itu. Tidak hanya makna kata tersebut sanggup menjadi penjelas realitas faktual , historis , dan kultural jati diri kita , tetapi juga sesungguhnya sanggup menjadi solusi terbaik bagi realitas eksistensial dalam menjawab semua masalah kontemporernya.
Tentu saja , klarifikasi untuk itu tidak sanggup diselesaikan dengan satu pukulan saja. Berapa pun jumlah halaman dan buku wacana hal itu , kata atau terma itu harus menjadi diskursus kolektif kita sehingga menjadi komprehensi bersama , terinternalisasi bersama , dan menjadi konsensus yang menghasilkan semacam Weltanschauung atau sangkan paraning dumadi-nya orang Jawa ataupun aneka macam bentuk visi kehidupan dari aneka macam suku. Dari situ kita akan paham kenyataan konstitutif wacana kita: ada di mana , dari mana , akan ke mana , dan bagaimana caranya.
Bangunan dasar budaya peradaban laut yaitu kenyataan positif dan faktual negeri kita yang 2/3-nya air. Kenyataan geografis ini memberi pengaruh ikutan , baik secara natural maupun nurtural , yang sangat kompleks: membentuk satu kebudayaan dengan unikum dan varian yang luar biasa.
Dalam ringkasan (yang mungkin menyesatkan pikiran ini) , budaya laut ditandai oleh simbol yang diambil dari samudra: garis horizon atau cakrawala. Tempat di mana orang-orang laut mencari dan menemukan keberadaan diri hingga Gusti-Pangerannya. Horizon yaitu garis lurus yang bermakna kesetaraan , kebebasan , toleransi-akseptansi , keterbukaan , penerimaan-persaudaraan , kosmopolitan , interkultural dan multikutural sebagaimana basic values di bandar-bandar seluruh Nusantara.
Semua abjad itu , dalam bahasa modernnya yaitu liberté , égalité , fraternité , open-mind , melting society , dan seterusnya , yang notabene yaitu basic values dari yang kita sebut demokrasi (yang sesungguhnya). Secara primordial , realitas etika kita sebagai bangsa yaitu insan atau masyarakat semacam itu , yang dalam praksisnya bermetamorfosis menjadi insan atau masyarakat yang gemar memberi , gotong royong , pekerja keras , jujur , tekun , dan kreatif. Dulu.
Ya , dulu , sebelum semua itu ditutupi , dikelabui , diimperialisasi , dan risikonya menjadi realitas artifisial oleh kolonialisme atau penjajahan yang represif , mengisap , dan eksploitatif.
Tidak mengherankan bila insan dan bangsa Indonesia masa sekarang merasa dirinya sejati dalam budaya modern , rasional-logosentrik , progresif , positivistik , materialitik-hedonik , hingga hiper-pragmatis , kemudian mengidentifikasi diri dalam keserupaan (yang secara kontradiktif) homogenik dengan insan lain di sudut dunia mana pun , tetapi pada dikala bersamaan menindas kesejatian primordialnya di atas. Bahkan , hingga ke tingkat biadab dan menghina keadaban kita.
Tak ada yang bertahan , kecuali satu dua yang mempertahankan kultural-primordialnya , ibarat di Kubu , Badui , Naga , Asmat , dan Toraja. Di luar itu , kita sebagai generasi mengalami titik terendah dalam perjalanan kebudayaan dan kebangsaan kita.
Satu kekecualian lagi , walau juga tidak tepat , sebagai representasi terakhir dari etika laut kita yaitu wilayah yang memang istimewa: Yogyakarta.
Mataram bahari
Secara pribadi saya tidak pernah menetap di Yogyakarta. Saya mengenalnya lewat lagu , puisi , roman , sejarah , dan orang-orangnya. Dalam hubungan yang berjarak itu , harus diakui , saya merasa Yogyakarta menjadi ibarat rumah kedua sehabis Jakarta , tempat saya lahir dan tumbuh.
Akseptansi personal ini bukanlah masalah remeh. Selain hal itu dirasakan banyak sekali pendatang , Yogyakarta juga berhasil menjadi semacam ruang di mana tumpahan dan limpahan ekspresional siapa pun sanggup berlangsung hampir tanpa hambatan. Inilah kehidupan laut sebuah bandar macam Yogyakarta.
Dari realitas inter dan multikultural itu dapatlah kita menandai , bagaimana orang Flores , Batak , Minang , dan Makassar sanggup eksis di Yogyakarta tanpa sentimen picik kedaerahan.
Tidak gila bila orang-orang aneka macam suku bangsa , bahkan asing , tidak hanya bisa berbahasa Jawa , tetapi beradat , bersantun , dan berperilaku Jawa. Inilah proses pemberadaban khas laut yang ada hampir di seluruh pelosok negeri , yang belakangan terkikis sebab racun kuasa ekonomi dan politik.
Maka , gotong royong , Yogyakarta tak pernah merasa risi atau fobi terhadap hal gres atau asing. Semua diterima dan diserap menjadi kepingan dari identitas Jawa khas Yogyakarta yang selalu berkembang. "Kenapa ada masalah dengan Ahmadiyah , kalau semenjak 1926 ia sudah hadir dan hidup di Yogyakarta ," kata Sultan Yogyakarta dikala merespons konflik "aliran" Ahmadiyah.
Kita pun melihat Yogyakarta dikala ini sebagai wilayah terdepan dalam menghasilkan seniman-seniman mumpuni di segala genre. Perhatikan bagaimana produk-produk kesenian dan kebudayaannya yang hampir pada umumnya tidak elitis , berpretensi high-art atau grand-art , tetapi sebagaimana seni laut , ia berorientasi pada rakyat kecil , dengan tema , bahasa , dan bentuk-bentuk yang membumi.
Cukup banyak yang sanggup ditengahkan sebagai pola kebahariaan dari Yogyakarta , dan membuatnya menjadi berbeda secara signifikan dengan banyak kota lain , bahkan dengan kota yang selalu dianggap sebagai induk budaya (Mataram)-nya , Solo.
Tidak sanggup dipelak , semua itu terjadi sebab sistem kuasa , pemerintahan , yang notabene diberi roh oleh Keraton Ngayogyakarta , yang telah membuat ruang dan waktu aman untuk berlangsungnya semua proses budaya dan pemberadaban. Sebuah sistem yang pernah saya tegaskan kepada Sultan Yogyakarta , juga para andal yang merumuskan kebudayaan Yogyakarta , bahwa negeri pesisir ini bukanlah lanjutan etika kontinental dari kerajaan-kerajaan pedalaman.
Jika mau disebut tetap Mataram , Yogyakarta yaitu Mataram Bahari. Islam-nya pun Bahari (Nusantara). Tidak kontinental ibarat kerajaan-kerajaan Islam lain di kepingan lain negeri ini.
Raja yang membumi
Di sinilah saya beropini , kita mendapat konteks dalam beberapa Sabda dan Dhawuh yang belakangan disampaikan Sultan Hamengku Bawono X. Saya tak hendak membahas keseluruhan makna Sabda dan Dhawuh itu sebelum kita umumnya sanggup mengomprehensi bagaimana etika dan budaya (kita) berlangsung lewat prosedur yang tidak sekadar material dan profan.
Apa yang saya ingin perlihatkan hanya bagaimana realitas kebaharian dari Kesultanan Yogyakarta dipertegas oleh Sabda dan Dhawuh itu. Di mana , contohnya , "Tahta untuk Rakyat" itu tidak bermakna sebagai ketinggian yang turun (menetes) ke bawah , semacam trickle down effect dalam pembangunan kontinental , tetapi semata bermakna "Raja bersama rakyat" dalam segala dimensinya. Saya kira , Hamengku Buwono IX banyak memberi contoh.
Artinya , raja atau sultan hanyalah sebuah simbol dari kekuasaan , tetapi insan yang menjadi raja yaitu juga insan , sebagaimana rakyat pada umumnya. Inilah etika bahari. Inilah juga abjad Nabi Besar Muhammad SAW sehingga membuat Islam menjadi agama kontinental yang sangat bahari.
Jika Nabi Besar saja mengakui dirinya hanya insan , padahal ia yaitu wakil-Nya , kemudian dalam posisi apa seorang raja mengangkat dirinya lebih tinggi , sebagaimana terjadi pada banyak raja kontinental?
Sabda dan Dhawuh Sultan Hamengku Bawono , dalam semua barisnya , menunjukkan dengan sangat bagaimana hati Raja yaitu (dan ada di hati) rakyat meski singgasananya ada di pucuk menuruti struktur piramidal kontinental. Saya pribadi mengalami itu persis , dikala belasan tahun kemudian mengobrol dengannya di Keraton selama empat jam penuh. Beberapa hari kemudian , bersama beberapa teman , kami berbincang tiga jam hingga dini hari. Saya menemukan Raja yang bersandal jepit dan makan gudeg di karton yang sama itu mengepulkan asap rokoknya ke atas biar terhindar dari lawan bicaranya.
Inilah pemimpin yang tak berjarak. Seperti Yogyakarta (penduduk , adat , dan budayanya) yang tak memberi jarak pada siapa pun. Betapa Sabda dan Dhawuh itu sesungguhnya telah membuat Keraton Yogyakarta lebih membumi (tetapi dengan tanggung jawab dan visi lebih semesta) , lebih tunduk dan sujud pada keilahian yang ternyata tidak berada di ketinggian (atas/langit) ibarat etika kontinental , tetapi di kerendahan , di Bumi , di ibu , di pertiwi , sebagaimana spiritualitas bahari.
Radhar Panca Dahana; Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Garda Depan Bahari"