Junaidi Albab Setiawan
Undang-Undang Migas yang lengkap dan komprehensif menjadi kebutuhan sangat mendesak dikala ini. UU Migas No 22/2001 tak lagi bisa menjawab kebutuhan bangsa dikala ini. Sebab , secara konseptual , UU No 22/2001 dianggap menyimpang dari konstitusi dan secara operasional tidak lagi bisa mengarahkan pemanfaatan migas bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sekaligus melindungi kepentingan investor.
Pada 2015 , rancangan perubahan UU Migas 2001 masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Semangatnya mengembalikan UU Migas yang sejalan dengan filosofi dan konstitusi bangsa Indonesia. Presiden ke-5 RI , Megawati Soekarno Putri , pada seminar nasional "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung Kompleks Parlemen (27/2/2013) mengusulkan UU Migas khas Indonesia sebagai UU Migas "Merah Putih".
Keinginan melahirkan UU Migas Merah Putih itu juga muncul dalam visi misi dan jadwal pemerintahan Joko Widodo. Pada butir 7 "Sembilan Agenda Prioritas" serta dalam rencana implementasi Trisakti , di angka 3 (2) disebutkan , "Dalam jangka menengah , pemerintahan Jokowi akan merevisi UU Migas Merah Putih yang berkarakter membangun kapasitas nasional yang akan bisa memperlihatkan kepastian aturan secara permanen." Secara tegas , rezim ini berkomitmen mendorong lahirnya UU Migas yang berbasis pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan roh Trisakti.
Arti penting UU Migas
Mengingat migas ialah salah satu hajat hidup rakyat yang berjumlah terbatas dan tidak terbarukan serta pendapatan dari sektor migas penting untuk menopang pembangunan bangsa , UU Migas harus bisa jadi contoh dalam pemanfaatan migas nasional. UU ini harus bersumber pada konstitusi yang merupakan arah dan tujuan didirikannya negara. UU Migas yang tidak sejalan dengan konstitusi akan berisiko gampang berubah (labil) , terombang-ombing mengikuti desakan zaman. Inilah yang terjadi pada UU Migas yang berlaku dikala ini.
Pemanfaatan migas butuh aturan berpengaruh yang bisa melewati batas rezim. Aturan itu harus bisa jadi landasan yang kokoh sekaligus payung aturan dalam acara pemanfaatan migas yang berkarakter jangka panjang. Aturan yang lemah juga akan berakibat kurangnya minat investasi di bidang migas yang mempunyai huruf unik berbeda daripada bisnis lain. Paling tidak ada empat faktor yang menciptakan industri hulu migas unik: (i) lamanya rentang waktu antara dikala terjadinya pengeluaran dan pendapatan; (ii) keputusan yang dibentuk menurut risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih; (iii) sektor ini perlu modal yang cukup besar , tetapi (iv) di balik semua risiko itu industri migas juga menjanjikan laba yang cukup tinggi (Benny Lubiantara , 2012).
Faktanya , Indonesia menghadapi keterbatasan dalam hal dana dan kemampuan sehingga membuka ruang bagi investor abnormal dalam eksplorasi dan eksploitasi migas merupakan keniscayaan. Karena itu , UU Migas harus terkait dengan aturan investasi yang memperlihatkan jaminan kepada investor biar terbebas dari risiko perubahan politik dan peraturan. Makara , UU migas tidak berorientasi lokal semata , tetapi harus bisa mengakomodasi hadirnya investasi abnormal yang mensyaratkan suatu kepastian hukum.
Aturan dalam UU Migas harus juga mengatur struktur kelembagaan dan birokrasi dalam pengelolaan migas yang mencakup pengaturan kebijakan umum , perizinan , pengawasan , serta pengaturan pemanfaatan dan distribusi yang maksimal , yang berorientasi bagi kemakmuran rakyat. Di antaranya dengan mendirikan suatu national oil company , yang semua sahamnya dimiliki negara sebagai pelaksana kuasa pertambangan.
UU Migas juga harus mengatur distribusi yang adil dalam hal pemanfaatan migas secara proporsional. Adil dalam artian sesuai kebutuhan riil yang wajib memerhatikan aspek pemerataan pembangunan dan huruf geografis Indonesia sebagai negeri kepulauan.
UU Migas yang berlaku kini produk reformasi yang perumusannya diwarnai oleh efek liberalisme , khususnya IMF sebagai kreditor yang mempunyai jadwal khusus. Pada dikala itu Indonesia sedang "tersandera" akhir utang-utang peninggalan rezim usang ditambah adanya perampokan uang negara (BLBI) oleh para pengkhianat bangsa pada dikala ekonomi Indonesia sedang sekarat. Akibatnya , kita tidak cukup bebas untuk bisa mengekspresikan harapan kita bahkan dalam hal menyesuaikan isi UU dengan suara konstitusi sekalipun.
UU Migas kini berorientasi pasar , yang dalam kosiderannya dengan tegas memosisikan migas sebagai komoditi. Sebagai komoditi tentu sangat bergantung pada prosedur pasar yang bertujuan mencari untung berdasar penawaran dan permintaan. Peran negara pun tereduksi atau bahkan cenderung ditiadakan. Akibatnya derma terhadap posisi migas bagi hajat hidup rakyat jadi terabaikan.
Beberapa ketentuan pokok UU Migas 2001 telah dikoreksi oleh putusan MK No 36/PUU-X/2012-MK. Dalam putusan ini , yang dibatalkan mencakup aturan-aturan yang bersifat strategis , termasuk aturan kelembagaan hulu migas (BP Migas). Akibatnya , UU Migas yang ada "centang-perenang" dan tak layak lagi jadi contoh hukum. Saat ini aturan migas jadi tambal sulam , lebih didominasi oleh peraturan-peraturan operasional , sehingga secara esensial pemanfaatan dan pengelolaan migas berjalan tanpa arah yang jelas.
Revisi UU Migas
Revisi tambal sulam terhadap UU Migas tidaklah cukup. Agar dilema migas tak semakin kronis , yang diharapkan ialah UU Migas gres yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat , tetapi tetap disesuikan dengan perkembangan zaman.
UU Migas gres ditantang bisa menghubungkan tataran konsepsional yang "merah putih" biar tidak sekadar slogan , dengan tataran operasional sesuai kebutuhan riil. UU Migas harus mencerminkan kepribadian bangsa yang lebih mengutamakan kepentingan nasional. UU Migas harus kembali pada paradigma konstitusi , memperjelas keberpihakan pada kemandirian ekonomi bangsa untuk peningkatan kesejahteraan rakyat , tetapi tetap sanggup berlaku global. Sebab , bisnis migas ialah bisnis global yang sangat dipengaruhi: (i) nilai tukar uang alasannya 40 persen kebutuhan operasi hulu migas masih harus dipenuhi dari luar negeri dan (ii) harga minyak dunia. Faktanya , sebagai akhir UU Migas yang lemah , selain derma negara terhadap hajat hidup dasar rakyat melemah , minat investasi migas pun ikut melemah.
Yang diharapkan dikala ini ialah UU Migas yang berpengaruh secara komprehensif mengatur kebijakan , kelembagaan dan pengawasan , serta pelaksanaan , tetapi tetap berbasis konstitusisehingga dari waktu ke waktu bisa menjadi contoh dan payung aturan dalam pemanfaatan migas.
Junaidi Albab Setiawan; Pengamat dan Praktisi Hukum Migas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Uu Migas Merah Putih"