Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pengangguran Terdidik Dan Radikalisme

“Tingkat pengangguran terbuka Indonesia berdasarkan pendidikan yang ditamatkan cukup membahayakan." (Fasli Djalal , 27 April 2015)

Harian Kompas pada 4 Mei 2015 merilis data terkait pengangguran terdidik berdasarkan paparan Prof Dr Fasli Djalal , mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Fasli yang juga mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional mengingatkan perlunya memikirkan ulang pendidikan tinggi bagi anak Indonesia semoga diserap industri. Ia menggugat , apakah masih perlu mendidik semua anak selama empat tahun di perguruan tinggi tinggi atau cukup memperlihatkan training bersertifikat internasional enam bulan semoga mereka bisa eksklusif bekerja di sejumlah negara.

Pemikiran ini perlu mendapat respons yang serius dari pelbagai pihak terkait kemungkinan bonus demografi yang akan terjadi tahun 2028-2030 , di mana 65 juta usia terdidik akan bertebaran mencari pekerjaan.

Menjadi ancaman

Pengangguran terdidik meliputi mereka yang berusia 15-29 tahun dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengan Atas 17 ,77% , Sekolah Menengah kejuruan 10 ,18% , diploma 3 ,22% , dan universitas/D-IV 7 ,94%. Data ini memperlihatkan gambar yang sangat terang bahwa jumlah pengangguran terdidik benar-benar menjadi ancaman terkait angka pengangguran di Indonesia. Jumlah pengangguran terdidik akan menjadi beban negara ini.

Kita tidak bisa berpangku tangan memperhatikan besarnya angka pengangguran terdidik dalam masa 10-20 tahun mendatang. Saat ini saja , berdasarkan data tahun 2013 , kita telah menyaksikan bahwa masalah tenaga kerja yang terserap di lapangan masih cukup rendah dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja terdidik tingkat SMA/SMK 9 ,60% , Sekolah Menengah kejuruan 9 ,88% , diploma 6 ,21% , dan universitas 5 ,91%.

Memperhatikan jumlah pengangguran yang cukup besar , maka kita dilarang membiarkan hal ini terjadi lantaran tidak hanya menjadi "beban sosial" negara , tetapi juga keluarga. Perlu pemikiran dan jalan keluar yang implementatif terkait jumlah pengangguran terdidik yang membeludak itu.

Bahaya radikalisme

Usia muda ialah usia yang produktif dan "bimbang" untuk bertindak sehingga praktis tersulut bisikan atau hasutan yang tiba dari banyak sekali pihak , termasuk "hasutan dari iktikad keagamaan atau ideologi tertentu". Ideologi tertentu tersebut salah satunya ialah ideologi radikal yang tiba dari agama sehingga kaum muda praktis tergiur pada "ajaran jalan pintas" untuk mengatasi kesulitannya.

Penelitian dalam Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) di Jakarta tahun 2012 memperlihatkan citra yang cukup memprihatinkan , di mana  sejumlah kaum muda bersedia terlibat dalam agresi kekerasan , mencapai 48 ,9%. Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Noordin M Top itu sanggup dibenarkan , 14 ,2% siswa menyatakan sanggup membenarkan.

Mendasarkan pada temuan Lakip tersebut , bisa kita lihat bahwa pada tahun 2012 gerakan radikalisme meningkat tajam hingga ke tahap sangat mengkhawatirkan. Hal ini perlu benar-benar mendapat perhatian negara ini bila tidak ingin tindakan-tindakan radikal atas nama agama terus berkembang di Nusantara.

Oleh alasannya ialah itu , pengangguran terdidik yang sebagian besar ialah usia SMA/SMK dan diploma menyerupai ditunjukkan di atas perlu segera ditanggulangi lantaran mereka tidak segan untuk menjadi bab dari aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama menyerupai kini telah terjadi.

Kita perhatikan beberapa anak berusia muda-sebagian diduga tiba sukarela dari Indonesia- terlibat menjadi jemaah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang melaksanakan banyak sekali agresi kekerasan di daerah Timur Tengah.

Peran keluarga

Salah satu institusi sosial yang dianggap paling kuat dalam membentuk pribadi kaum muda kita ialah keluarga dan lingkungan sosial di mana mereka bergaul dan bersosialisasi. Jika pergaulan dalam keluarga dan lingkungan mendukung untuk berpikiran terbuka , optimistis , serta mempunyai masa depan yang cerah , maka kaum muda tidak akan dengan praktis "terjebak pada rayuan sesaat" yang seakan penuh kepastian.

Namun , bila lingkungan keluarga serta pergaulan sosial tidak bisa memperlihatkan "rasa aman" dari pelbagai macam ancaman kegagalan ke depan menyerupai pekerjaan yang tidak pernah terang , pendapatan yang sama sulitnya dengan hidup itu sendiri , dan tempat tinggal ataupun sandang tidak pernah tergambar untuk didapatkan dengan layak dan segera , maka yang ada dalam pikiran kaum muda ialah bagaimana caranya mengakhiri hidup ini sesegera mungkin.

Apalagi bila ditemukan "nasihat" yang bergotong-royong berdasarkan ekonomis saya ialah "hasutan" bahwa orang yang susah , sengsara , dan tertindas akan mendapat kenikmatan tepat bila bersedia "berjihad" di jalan Tuhan dengan menjadi martir.

Menjadi martir (pejuang kematian) ialah jalan terbaik alasannya ialah hal itu lebih mulia di mata Tuhan ketimbang hidup penuh dengan kesusahan , maka bila "hasutan doktrin" menyerupai itu merasuk , lalu diyakini sebagai "ajaran Tuhan" oleh kaum muda , maka kaum muda akan berbondong-bondong menjadi "martir" dengan cara melaksanakan bunuh diri massal ataupun berjibaku "membunuh pihak lain" yang dianggap menciptakan sengsara.

Di sinilah tugas institusi keluarga dan pergaulan demikian penting serta kuat terhadap jiwa muda yang bergelora dan penuh semangat. Jiwa muda harus diperhatikan untuk menjadi pemimpin masa depan , sekalipun dikala ini mungkin dalam kesulitan sosial ekonomi lantaran kondisi Indonesia memang sedang rapuh.

Keluarga harus berani mendidik anak-anaknya yang masih berusia muda menjadi "pejuang masa depan" dan "pejuang kehidupan" , bukan "pejuang kematian" alias menjadi martir.

Kaum muda kita membutuhkan dorongan dari keluarga dan institusi sosial untuk menjadi sosok yang berpikiran dan bertindak "berani untuk hidup" , bukan hanya "berani untuk mati" , alasannya ialah jihad yang sesungguhnya ialah jihad untuk menghidupkan diri sendiri sekaligus menghidupkan orang lain.

Jihad kemanusiaan

Inilah jihad kemanusiaan , jihad yang sesungguhnya , bukan jihad dipahami sebagai "jalan selesai hidup sesaat" menjadi pengantin bom yang membunuh sesama umat manusia.

Kita perlu memperhatikan kaum muda terdidik kita semoga "selamat dari hasutan" iktikad agama yang direduksi sekadar menjadi iktikad radikal yang mendorong mereka untuk berani mati , bukan mendorong kaum muda untuk berani hidup.

Kesalahpahaman penafsiran harus segera diluruskan oleh keluarga dan institusi sosial lainnya , termasuk jemaah pengajian ataupun tahlilan.

Zuly Qodir; Sosiolog Fisipol UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pengangguran Terdidik Dan Radikalisme"

Total Pageviews