René L Pattiradjawane
Apakah Asia akan memulai Perang Dunia III? Ini pertanyaan yang muncul saat sikap Tiongkok yang bergairah dan asertif diproyeksikan dalam "pulau palsu made in China" sebagai pengejawantahan kekuatan dan kebesaran dalam apa yang disebut sebagai "kebangkitan Tiongkok". Berbagai inisiatif dalam pertemuan tahunan Shangri-La Dialogue 2015 sanggup jadi mencoba mengantisipasi terjadinya konflik terbuka atas nama kekerabatan gres negara besar ibarat yang diinginkan Tiongkok menata keterkaitan Tiongkok-AS.
Di sisi lain , kita berusaha memahami dan akan terus melihat bahwa selama ini keterlibatan AS di Asia akan selalu diterima dalam mengejawantahkan kiprahnya melaksanakan stabilisasi ekonomi global ataupun keamanan internasional. Asia tahun 2015 ialah upaya fertilisasi menuju peradaban gres Asia , membentuk peradaban modern kurun ke-21 melalui kombinasi kepentingan negara di dalam dan luar tempat Asia.
Asianisasi Asia ialah saat Tiongkok mengajukan inisiatif konsep Jalan Sutra Maritim Abad Ke-21 didukung forum keuangan dominasi Tiongkok disebut Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Asianisasi Asia ialah saat Jepang aktif mendorong investasi menantang Tiongkok dengan dana investasi infrastruktur lebih besar 110 miliar dollar AS melalui Bank Pembangunan Asia (ADB).
Asianisasi Asia termasuk upaya Jepang menjadi negara normal dengan konsep Kontribusi Proaktif bagi Perdamaian melaksanakan revisi dan pengkajian ulang atas konstitusi pasifisnya. Pengakuan peradaban Asianisasi menerima proteksi AS sebagai kekuatan ekonomi dan militer terkuat di dunia , menyebabkan tempat Asia Pasifik sebagai zona ekonomi AS melalui prosedur kolaborasi Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) berhadapan dengan zona ekonomi Tiongkok melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Ketika keterikatan intra-Asia melalui aneka macam ragam kolaborasi , tatanan Asianisasi memperoleh penguatan alami didorong tidak hanya atas nama kepentingan nasional masing-masing , tetapi juga menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan. Pertumbuhan dinamis Asia Pasifik , kebangkitan kelas menengah , demokrasi sedikit demi sedikit , regionalisme terbuka , percaya diri , dan optimisme semua menjadi faktor yang sering kali dibaca sebagai nasionalisme terselubung banyak negara Asia.
Asianisasi Asia bukan semangat ideologis , paranoia totaliter , atau keangkuhan negara besar yang gres bangkit. Asia bekerja dalam sebuah kesadaran pragmatisme , tanpa melihat kebencian kolonialisme sejarah masa lalu. Dalam konteks ini , menghadirkan pasukan aneh dan penyediaan pangkalan militer , antara lain melalui perjanjian kunjungan kekuatan militer (visiting forces agreement/VFA) , merupakan bentuk gres prosedur kolaborasi pertahanan Asia tanpa pretensi imperialis.
Di sisi lain , ada kekhawatiran prosedur VFA dianggap sebagai upaya komplotan membendung Tiongkok , khususnya bahaya terhadap jalur alur komunikasi bahari melalui chokepoint Selat Malaka ataupun beberapa selat di Indonesia yang menghubungkan timur dan barat. Potensi konflik terjadi saat Tiongkok memberlakukan secara unilateral zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) ibarat yang dilakukan di Kepulauan Senkaku (Tiongkok menyebutnya Diaoyu).
Kita juga beranggapan Tiongkok tidak memahami secara utuh keamanan Asia yang tidak sanggup dipisahkan dari dinamika ekonomi regional. Keamanan Asia bukan hanya sekadar perlombaan senjata dalam konteks militer , melainkan merupakan sintesis masalah kemiliteran atas meningkatnya secara bersamaan kekuatan ekonomi , teknologi , dan sosial budaya.
Kekuatan kohesif Asianisasi harus dipahami dalam kesetaraan dan kesamaan seluruh bangsa. Kita menentang konsep anutan guojian xinxing daguo guanxi (bentuk gres kekerabatan negara-negara besar) yang mengarah pada dunia yang bipolar. Disadari atau tidak , Asianisasi ialah bab dari Tiongkok , termasuk seluruh negara bangsa di tempat ini.
René L Pattiradjawane; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kesetaraan Dan Kesamaan Bangsa"