Laode Ida
Para wakil rakyat di Senayan kembali berinisiatif untuk memperoleh jatah resmi dari APBN dengan mengusulkan anggaran "dana aspirasi". Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung , yakni berkisar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar/anggota , dengan total anggaran yang diminta Rp 11 ,2 triliun. Pihak anggota dewan perwakilan rakyat pengusul dana aspirasi (DA) itu pun mencari-cari alasan pembenaran , yakni terkait dengan sumpah mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di tempat pemilihan (dapil) , sehingga terkesan sebagai suatu kewajiban untuk direalisasikan dalam APBN 2016.
Sebagian fraksi di dewan perwakilan rakyat memang masih bersikap menolak anjuran itu. Namun , kalau pimpinan dewan perwakilan rakyat memaksakan , sanggup saja terwujud , termasuk sanggup dilewati melalui prosedur voting dalam sidang paripurna. Maklum , dewan perwakilan rakyat mempunyai otoritas kuat untuk memilih alokasi anggaran negara dalam APBN , apalagi terkait dengan kepentingan pihaknya.
Jika kondisi itu terjadi , pada hasilnya para anggota yang fraksinya menolak akan turut juga menikmati laba politis dari DA itu. Apalagi kalau pemerintah tidak mempermasalahkan alias baiklah saja , maka anjuran itu tak akan memperoleh kendala yang berarti. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak , pasti tak akan besar lengan berkuasa alasannya yaitu mereka semua berada di luar panggung penentuan anggaran.
Kendati demikian , perlu dicatat , wacana DA itu sesungguhnya pernah muncul pada 2010 (periode awal dewan legislatif 2009-2014). Tetapi , kandas atau tak sanggup diwujudkan alasannya yaitu di samping pimpinan dewan perwakilan rakyat tidak bersikap ngotot , pihak pemerintah juga mengabaikannya alasannya yaitu memang ditentang keras banyak pihak di masyarakat. Para anggota dewan perwakilan rakyat dianggap tidak pada posisi untuk memperoleh DA , di mana seharusnya hal ini pula menjadi pertimbangan utama sehingga sewajarnyalah menolak atau tak memproses lebih lanjut anjuran DA itu. Mengapa?
Pertama , otoritas anggota dewan perwakilan rakyat dalam mengarahkan DA belum mempunyai dasar aturan terkait prosedur perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara kita kini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 , di mana tak ada satu klausul pun yang memberi kewenangan kepada anggota dewan legislatif untuk mengarahkan penggunaan anggaran negara dalam wujud DA.
Pihak eksekutiflah yang mempunyai kewenangan merencanakan aktivitas beserta anggarannya yang diajukan atau didanai APBN (atau APBD di tempat otonom) dengan pendekatan berbasis kinerja. Jika para anggota dewan perwakilan rakyat memakai sumpah dan komitmen sebagai dasar memaksakan DA , maka sesungguhnya hanya mencari-cari peluang saja.
Kedua , DA akan memastikan konflik kepentingan tak sanggup dielakkan. Anggota dewan perwakilan rakyat sendiri bertugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap implementasi aktivitas direktur berikut anggarannya , sementara DA akan mengakomodasi anjuran dari dapil terkait proteksi politik dari kelompok-kelompok masyarakat pendukung. Yang pasti yaitu akan tiadanya perilaku obyektif dalam pengawasan terhadap penggunaan DA yang diporsikan untuk dikendalikan anggota dewan perwakilan rakyat itu sendiri. Artinya , kalau DA diwujudkan , maka sama halnya dengan meniadakan fungsi kontrol dari anggota dewan legislatif terhadap perencanaan dan sanksi anggaran negara.
Lebih jauh dari itu , anjuran aktivitas untuk memakai DA akan sangat sulit membedakan antara "kebutuhan" dan "keinginan". Keinginan subyektif kelompok masyarakat bahkan individu pendukung anggota dewan perwakilan rakyat boleh jadi akan selalu diakomodasi , padahal itu bukan merupakan kebutuhan obyektif masyarakat banyak di dapil , sehingga sesungguhnya tak pantas didanai APBN. Namun , kalau itu tak didanai , padahal masyarakat setempat tahu ada DA , maka akan berimplikasi kepada menurunnya proteksi politik bagi anggota dewan perwakilan rakyat bersangkutan. Ini juga berarti , kalau DA diwujudkan , maka sama halnya dengan membiarkan anggaran negara dipakai untuk kepentingan subyektif politis bagi anggota dewan perwakilan rakyat terkait.
Ketiga , kalau Ketua dewan perwakilan rakyat Setya Novanto memberi alasan bahwa DA itu untuk kepentingan masyarakat desa , maka sesungguhnya sudah salah kaprah dan barangkali melupakan substansi produk sendiri. Soalnya dengan diimplementasikan UU No 6/2014 wacana Desa , maka program-program pembangunan di desa sudah sanggup diakomodasi dengan memakai dana alokasi desa (DAD) yang jumlahnya miliaran rupiah per desa/tahun anggaran.
Selain itu , tentu saja , masyarakat desa masih akan memperoleh sentuhan aktivitas lainnya dari APBD dan APBN melalui proses perencanaan dari bawah , menyerupai sudah disinggung di atas. Kaprikornus , secara sedikit demi sedikit , sepanjang UU desa masih berlaku , masyarakat desa akan kebanjiran kucuran aktivitas berikut anggarannya baik melalui prosedur DAD , APBD , dan APBN itu. Lalu , akan diarahkan ke desa mana lagi DA dari anggota dewan perwakilan rakyat itu?
Keempat , dari segi etika pengambil kebijakan , kalau pun dianggap perlu , maka sangat tidak etis dan tidak pantas. Karena , secara prinsip , penyelenggara negara tak boleh menciptakan kebijakan untuk menguntungkan diri sendiri.
Laode Ida; Wakil Ketua DPD 2004-2014
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menolak Dana Aspirasi Dpr"