Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Yogya-Magelang

Bre Redana

Bolak-balik Yogya-Magelang kali ini serasa berada dalam kereta Seni Ekspres—untuk membandingkan dengan kereta jurusan Yogya-Solo berjulukan Prambanan Ekspres. Peristiwa seni membludag di Yogya bulan Juni ini. Magnitude-nya mencapai bukan saja Jakarta tapi juga kota-kota di Asia menyerupai Singapura , Hongkong , serta sejumlah kota di Eropa. Kalangan seni rupa terdiri dari perupa , kolektor , pengamat , art dealer , gallerist , artpreneur , dari kota-kota dunia tumpah ruah di Yogya.

Kalau di Yogya seluruh acara dibingkai dalam Jogja Art Weeks (JAW) dengan 100 lebih acara , di Magelang ada Magelang Art Event di mana belasan galeri di kota ini secara bersamaan menyelenggarakan pameran. Dalam dinamika seni rupa kontemporer Indonesia , Magelang harus disebut , terutama alasannya adanya kolektor terkemuka di kota itu , Oei Hong Djien atau biasa dipanggil OHD. Tak ada yang mewaspadai dukungan beliau dalam mengorbitkan para perupa kontemporer Indonesia yang kebanyakan tinggal di Yogya.

Angin kencang menerpa OHD belakangan , alasannya beliau dituduh mengoleksi sejumlah karya palsu. Ia disuruh membuktikannya , semacam proses terbalik , bukan si penuduh yang membuktikannya. Mungkin itulah yang menciptakan OHD cuma tertawa. Kalau yang dalam posisi OHD yakni seniman Sutanto Mendut , niscaya beliau bilang luweh.

Di museumnya kini , bekerja sama dengan Mizuma Art Gallery , Tokyo , ia menggelar ekspo menampilkan karya-karya perupa kontemporer menyerupai Nasirun , Made Wianta , seniman penuh cita-cita Albert Yonathan , juga seniman China yang namanya populer diseluruh dunia , A Wei Wei.
Episentrum kegiatan seni rupa ini ART|JOG. Memasuki tahun penyelenggaraan kedelapan , makin terperinci bagaimana kegiatan yang dirintis oleh Heri Pemad tersebut menggerakkan aneka macam kegiatan kreatif di Yogya. Workshop seni rupa , film , video , sastra , hingga kuliner , terselenggara mengambil kesempatan ramainya Yogya saat ART|JOG. Efek ikutannya yakni acara ekonomi , hotel , penginapan , restoran , warung , daerah makan lesehan , jasa travel , tukang pijat , dan lain-lain.

Di Warung Bu Ageng Butet Kartaredjasa , Anda akan ketemu nama-nama tersohor dari aneka macam kota. Di gudeg mercon di Kranggan yang buka pukul 22.00 Anda akan ketemu para sosialita Jakarta serta fashion designer terkenal. Di kedai kopi Epic mendadak ketemu Ketua Badan Ekonomi Kreatif yang selalu dandy , Triawan Munaf. Melihat beliau selalu jadi ingat Giant Step.

Yogya mempunyai apa yang sering disebut oleh para andal urban: vibrant. Artinya kurang lebih semacam energi , atau daya yang berpengaruh menggerakkan kehidupan.

Dari mana vibrant berasal? Pemikir terkemuka duduk kasus urban , Richard Florida , menyebut banyak faktor , antara lain terkonsentrasinya orang-orang berbakat dan produktif. Gagasan-gagasan gres akan muncul dan produktivitas bakal meningkat saat kita berdekatan satu sama lain. Dengan kata lain , sosiabilitas alias sesrawungan tetaplah merupakan aspek penting untuk menggerakkan kebudayaan.

Dalam studi urban , bahkan ada penelitian , kota-kota kreatif umumnya ditandai dengan kedekatan satu daerah dengan daerah lain yang dapat dicapai dengan jalan kaki. Sebagai pola , New York tetap menjadi pusat kreativitas , alasannya di situ jalan kaki maksimal 30 menit Anda mencapai destinasi.

Oleh kesudahannya , daerah di mana kita tinggal , daerah di mana kita bertumbuh , menjadi hal sangat problematik. Untuk kota , Richard Florida bahkan menggantikan kata ganti where yang artinya di mana , menjadi who alias siapa. Who’s your city? tanya Florida. Seperti jodoh , kota yakni bab dari nasib kita. Makanya , sungguh tak habis pikir , bagaimana pemimpin dapat sembarangan , menyebut Soekarno lahir di Blitar. Sebagai pembingkai nasib , Blitar berbeda Bung , dengan Surabaya.

Saat berada di Yogya atau Magelang aku sering ketemu orang , mengajak kolaborasi aneka macam proyek. Nanti kita follow up sesudah di Jakarta , katanya. Kembali ke Jakarta , tak pernah ada kelanjutan. Ketemu lagi pun tidak.

Gombal. Di kota yang macet , sejatinya kebudayaan juga macet.

Bre Redana; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Yogya-Magelang"

Total Pageviews