Lies Marcoes
Puasa dan menyantuni yatim piatu selalu digaungkan setiap Ramadhan. Bahkan bagi yang tak bisa puasa , dan tak bisa menggantinya di bulan lain , memberi makan anak yatim dan fakir miskin ialah amalan yang setimpal.
Dalam Al Alquran sangat banyak ayat perintah untuk menjalankan shalat dan puasa , dilanjutkan dengan kewajiban sosial menyantuni kaum fakir miskin. "Dirikanlah shalat , bayarlah zakat".
Namun , siapakah "yatim piatu" itu? Umumnya sebutan itu dinisbatkan kepada belum dewasa yang tak berayah , tak beribu , atau tak ada keduanya. Pemaknaan itu mengandaikan ayah-ibu ialah sumber kehidupan sekaligus perlindungan. Padahal , struktur masyarakat dan faktor-faktor yang mengakibatkan anak menjadi "yatim piatu" kini telah berubah bersama perubahan ruang hidup dan korelasi kuasa di dalamnya.
Posisi orangtua dulu
Pada masa perintah itu diwahyukan , orangtua merupakan sumber proteksi dengan dukungan serta proteksi dari puak atau kaumnya. Dalam struktur masyarakat tradisional agraris , fungsi proteksi dan daya dukung sosial , daya dukung alam , dan prosedur proteksi lainnya , yang kemudian didokumentasikan sebagai anutan moral dalam Al Alquran , cukup jitu untuk menjalankan fungsi proteksi dan dukungan terhadap yatim piatu dan kaum miskin.
Dalam struktur masyarakat Mekkah dan Madinah , fungsi itu tumbuh dan bergerak dalam masyarakat komunal yang mengandalkan kekuatan perkauman atau puak di mana para kepala-kepala kabilah menjalankan fungsi proteksi itu. Islam kemudian membangun hukum yang tak hanya normatif ideal , tetapi juga pengaturan tata cara pelaksanaannya.
Al Alquran menggambarkan dengan sangat detail bagaimana mekanisme-mekanisme proteksi itu diatur , menyerupai kewajiban membayar zakat fitrah dengan perhitungannya , yang dalam masanya dianggap memadai untuk menyantuni fakir miskin dan yatim piatu.
Masalahnya , dalam struktur sosial ekonomi modern , predikat "yatim piatu" ternyata tak sekadar tak berayah-ibu , tetapi juga tak berayah-ibu secara sosial. Misalnya , anak dan cukup umur yang ayah-ibunya bekerja di rantau atau TKI/TKW.
Dalam waktu yang bersamaan , fungsi sosial perkauman tak lagi bisa diandalkan akhir campur tangan korporasi , negara , dan globalisasi ekonomi. Fungsi proteksi orangtua dan kaum tergerus habis oleh perubahan sosial yang mengakibatkan munculnya yatim piatu gres , yaitu belum dewasa yang berayah ibu tetapi kehilangan seluruh daya dukung sosialnya.
Lihat , contohnya , di daerah-daerah di mana orangtua jadi pekerja migran , menyerupai Nusa Tenggara Barat , Jawa Timur , Jawa Barat , serta Kalimantan Barat dan Selatan. Angka perkawinan anak luar biasa tinggi. Penyebabnya sangat terang , alasannya ialah belum dewasa tumbuh tanpa orangtua pengganti yang bisa memproteksi tumbuh kembang mereka.
Perubahan struktur
Perubahan-perubahan ruang hidup telah mengubah struktur kekerabatan di desa alasannya ialah sumber ekonomi mereka musnah. Sementara sumber ekonomi pengganti menyerupai industri perkebunan kelapa sawit , tambang , minyak , dan semen tak mengenal tugas proteksi sosio-komunal. Celakanya , fungsi sopan santun tak juga sanggup menjadi penolong , bahkan menjadi kekuatan penekan demi menjaga satu-satunya benteng pertahanan mereka: harga diri perkauman.
Jadilah anak dan cukup umur menjadi yatim piatu secara sosial: tak berayah-ibu dikala mereka bolos dan tak menerima proteksi perkauman alasannya ialah kekuatan mereka juga hilang.
Kita sanggup melanjutkan pembacaan peta ini dengan membuka statistik lain. Angka putus sekolah , angka selesai hidup ibu , selesai hidup anak , semuanya terjadi pada warga di wilayah-wilayah yang secara konkret mengalami perubahan ruang hidup , dari hutan rimba menjadi perkebunan sawit , dari pertanian sawah menjadi industri pariwisata , dari pantai dan pesisir menjadi arena tambang pasir besi.
Siapa lagi yang menjadi yatim piatu sosial dalam perubahan struktur masyarakat , relasi-relasi kuasa dan ruang hidup menyerupai ini? Sangat terang , yatim piatu itu ternyata tak hanya mereka yang tak berayah ribu , tetapi juga mereka yang kehilangan sumber-sumber proteksi , penghidupan , dan dukungan sosial.
Dalam masyarakat yang mengglobal , perubahan dan pergeseran ruang hidup berlangsung dahsyat dan mengakibatkan munculnya warga yang secara pribadi mengalami yatim piatu menyerupai pada zaman Nabi; tak berdikari , bergantung pada proteksi orang lain , rentan , dan miskin.
Perubahan ruang hidup telah menghasilkan kekayaan melimpah di satu pihak dan eksploitasi raksasa dengan persebaran masif di pihak lain. Perubahan itu secara konkret juga telah mengubah hubungan-hubungan sosial ke arah korelasi eksploitatif dan menindas. Dalam struktur masyarakat yang berubah itu , tentu predikat "yatim piatu" telah pula berubah dan meluas.
Dalam perubahan menyerupai ini , proteksi yatim piatu jelas membutuhkan cara pandang gres , bukan saja pada definisi siapa itu yatim piatu , tetapi juga pada cara untuk mengatasinya.
Kita menanti lahirnya pemikiran sosial keagamaan yang sanggup menangkap tanda-tanda yatim piatu sosial dan mencari jawabannya lewat perintah menjalankan puasa dan menyantuni yatim piatu dan fakir miskin. Selamat menjalankan ibadah puasa.
Lies Marcoes; Alumnus IAIN Jakarta; Direktur Rumah Kitab
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Puasa Dan Yatim Piatu Sosial"