Garin Nugroho
Sebulan yang kemudian Presiden kita menyerukan kepada masyarakat untuk mengurangi sifat konsumtif berbangsa cukup umur ini. Seruan ini tentu saja menjadi sangat penting di tengah gaya hidup konsumtif yang terasa menjadi kultur gres dikala bangsa Indonesia dipenuhi paradoks ekonomi. Di satu sisi dipuji pertumbuhan ekonominya , di sisi lain prasyarat daya hidup ekonomi dalam kegamangan terus-menerus , dari produktivitas sampai daya tahan pangan maupun energi serta kualitas sumber daya manusianya dibandingkan negara-negara ASEAN.
Perilaku konsumtif berbangsa senantiasa berkait dengan daya hidup berbangsa di banyak sekali aspek. Pertama , budaya konsumtif berlebihan mendorong hilangnya budaya menabung untuk kehidupan masa depan sampai mencapai 30 persen. Kedua , budaya konsumtif mendorong warga bangsa menjadi pasar dari sejumlah negara serta tidak lagi menjadi produsen , simak 39 jenis hasil bumi yang diimpor (gula , tebu , beras , kedelai , garam , dan lain-lain). Ketiga , budaya konsumtif mendorong tumbuhnya abjad bangsa serba instan , melahirkan sikap korupsi sampai abjad serba vulgar memamerkan gaya hidup menumbuhkan sikap kekerasan dikala tidak bisa memenuhi gaya hidup tersebut.
Keempat , budaya konsumtif mendorong runtuhnya kecintaan pada produk dalam negeri tertelan dalam perlombaan memamerkan gaya hidup serba bertren global. Kelima , budaya konsumtif berlebihan mendorong kualitas sumber daya insan kehilangan esensi profesionalisme dan jati dirinya , keseluruhan hidup berbangsa ditujukan meraih gaya hidup kemasan.
Sebutlah , perspektif pendidikan , politik , sampai agama menjadi bab menuju gaya hidup serba pekan raya dan kemasan , tetapi tidak lagi pada esensi menuju pada memanusiakan insan itu sendiri. Keenam , budaya konsumtif melahirkan politik uang serta jabatan politik sebagai mata pencarian.
Namun , ajakan Presiden hanya menjadi ajakan semata , sekiranya syarat-syarat mengurangi budaya konsumtif tidak ditumbuhkan dalam ruang hidup sehari-hari. Salah satu yang terpenting ialah bertumbuhnya ruang publik warga bangsa sebagai seni administrasi budaya mengolah sifat produktif kritis bangsa. Celakanya , ruang publik sehari-hari telanjur menjadi ruang yang mendorong sikap konsumtif.
Simak , mal-mal besar dibangun sempurna di depan perkampungan atau kompleks hunian , ditambah lagi waralaba bertebaran masuk wilayah terpencil. Ditambah lagi , akomodasi publik di sekitar mal sangatlah memudahkan warga bangsa mengakses. Simak , tersedianya jembatan penyeberangan sampai kelokan jalan yang eksklusif efektif masuk ke mal. Mal-mal tersebut menjadi goa besar konsumtif eksklusif di depan mata penduduk. Dengan kata lain , mal-mal menjadi goa Aladin yang memberi mimpi lampu emas ajaib bagi kenikmatan hidup.
Simak pula , wilayah seputar kampus-kampus , sangatlah langka ruang produktif , yang muncul ialah mal , waralaba , toko , warung sampai sampah visual iklan-iklan yang bertebaran.
Contoh lain prasayarat memerangi budaya konsumtif ialah panduan gaya hidup elite politik. Celakanya , pada aspek panduan abjad elite politik justru menjadi masalah terbesar. Simak , akomodasi dan gaya hidup anggota dewan perwakilan rakyat yang terlalu sering dibicarakan , tetapi tidak melahirkan rasa jera.
Catatan-catatan kecil di atas mengatakan , memerangi budaya konsumtif ialah menegakkan panduan yang dibangun oleh elite politik sekaligus membangun dasar hidup warga berupa ruang publik produktif , dari ruang olahraga , ruang keterampilan , ruang relaksasi sehat sampai ruang informasi dan pelayanan publik yang terakses untuk pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat dan berkarakter.
Jika catatan kecil di atas tidak diperhatikan , jangan heran , ajakan presiden akan tergusur oleh megahnya mal menyerupai layaknya ruang produktif lainnya.
Garin Nugroho; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Presiden Vs Bangsa Konsumtif"