Umar Juoro
Nilai rupiah terdepresiasi cukup dalam , 7 ,7 persen (ytd). Secara eksternal rencana Bank Sentral Amerika Serikat , The Fed , menaikkan suku bunga , mendorong investor gila menjual obligasi Surat Utang Negara dan saham.
Indeks pasar modal turun sebesar 5 ,6 persen (ytd). Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah 10 tahun naik hampir 1 persen (ytd) menjadi 8 ,7 persen. Tambahan lagi pembayaran cicilan dan bunga utang swasta serta impor , terutama minyak , menambah tekanan terhadap rupiah. Prospek ekonomi yang menurun juga makin menekan nilai rupiah.
Pelemahan rupiah
Ketika kepercayaan terhadap penentu kebijakan ekonomi menurun , baik dalam menstabilkan nilai rupiah maupun mengatasi pelemahan ekonomi , tekanan terhadap rupiah semakin besar dengan investor menjual obligasi dan saham. Korelasi paling kuat ialah antara pelemahan nilai rupiah dengan peningkatan yield SUN 10 tahun. Akibatnya nilai rupiah semakin terdepresiasi.
Pelemahan rupiah telah meresahkan pelaku ekonomi dan mengena kepada aspek mendasar perusahaan , apalagi pada dikala kinerja perusahaan sedang melemah. Sementara itu , dengan masih lemahnya ekonomi dunia , pelemahan rupiah tidak sanggup mendorong ekspor.
Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga utama stabilitas nilai rupiah , tidak sanggup berbuat banyak menghadapi pelemahan rupiah , pada dikala defisit transaksi berjalan masih relatif tinggi sekitar 2 ,8 persen dari produk domestik bruto. Dengan cadangan devisa yang sangat terbatas sekitar 110 miliar dollar AS , BI tidak sanggup melaksanakan intervensi secara signifikan. BI juga tak sanggup membeli obligasi yang dilepas investor secara berarti , ibarat masa lalu.
Berbeda dengan bank sentral lain , ibarat India , Korea , dan Australia yang menurunkan suku bunga untuk menstimulasi ekonomi , BI tidak sanggup melakukannya alasannya ialah akan semakin menekan nilai rupiah. Bahkan kalau The Fed menaikkan suku bunga , BI kemungkinan besar juga akan menaikkan BI Rate.
Inflasi juga meningkat menjadi 7 ,1. Persen. Memasuki Ramadhan , dorongan inflasi akan lebih tinggi lagi. Kemampuan untuk mengendalikan inflasi terutama dalam menjaga stabilitas harga pangan kembali bermasalah , dengan ketidakjelasan dalam kebijakan pengendalian harga , antara impor dengan mengandalkan pasokan dalam negeri.
Keharusan memakai rupiah untuk transaksi dalam negeri ialah baik untuk mengurangi undangan dollar. Namun , implikasi negatifnya (unintended consequences) bisa justru semakin melemahkan rupiah dan mendorong inflasi paling tidak dalam jangka pendek.
Penggunaan rupiah menciptakan perusahaan melaksanakan hitungan biaya bunga dalam rupiah yang menjadi lebih besar dan antisipasi depresiasi yang menambah tekanan kepada rupiah (biaya bunga dalam rupiah ditambah asumsi depresiasi paling tidak sekitar 15 persen).
Jika depresiasi berlanjut seiring dengan pelemahan ekonomi , tidak saja akan menaikkan kredit bermasalah (NPL) , tetapi juga mendorong debitor untuk menentukan jalan "ngemplang" (default) daripada restrukturisasi memanfaatkan lemahnya perangkat hukum. Akibatnya resiko sistemik akan meningkat.
Rencana BI melonggarkan LTV (loan to value) atau menurunkan uang muka kredit rumah dan kendaraan bermotor membantu penjualan , namun kemungkinan pengaruhnya relatif terbatas. Masyarakat berpendapatan tinggi tidak terpengaruh dengan pelonggaran ini alasannya ialah tidak memakai akomodasi kredit pemilikan rumah (KPR). Namun , bermanfaat bagi pembeli rumah pertama.
Pelemahan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 4 ,7 persen pada triwulan I-2015 dari 5 ,02 persen pada triwulan IV-2015. Pertumbuhan konsumsi masyarakat yang menjadi basis utama ekonomi juga menurun. Penjualan eceran sekalipun masih tumbuh positif , tetapi turun cukup tajam. Penjualan kendaraan bermotor dan semen bahkan pertumbuhannya negatif.
Pertumbuhan investasi menurun. Belanja pemerintah turun lebih dalam lagi. Padahal , investasi yang dihadapkan sanggup mendorong pemerintah , dan belanja modal pemerintah sebagai pemberi stimulasi.
Pertumbuhan kredit perbankan juga menurun menjadi sekitar 10 persen. Sementara itu , dana pihak ketiga meningkat sekitar 14 persen. Ini memperlihatkan kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit di satu sisi dan di lain sisi menurunnya undangan kredit alasannya ialah melemahnya perekonomian.
Di sisi lain , otoritas fiskal belum melaksanakan langkah optimal untuk menstimulasi ekonomi yang melemah. Pesan untuk menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan naik sekitar 30 persen lebih keras terdengar daripada insentif pajak , ibarat deviden yang diinvestasikan , insentif pajak untuk sektor tertentu , dan pembatalan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk produk impor tertentu. Pelaku ekonomi dan masyarakat tampak sangat khawatir menjadi sasaran pajak sehingga kuat menurunkan acara ekonomi dan bisnis mereka.
Sayangnya kementerian sektoral sibuk dengan diri sendiri dengan komplikasi pelelangan jabatan tinggi dan pemberesan internal yang masih membutuhkan waktu sebelum belanja modal sanggup eksklusif menstimulasi perekonomian.
Kebijakan bertentangan
Semestinya pelemahan ekonomi ini tidak perlu terjadi cukup dalam kalau tidak terjadi kebijakan pemerintah yang saling bertentangan satu sama lain , ibarat sasaran penerimaan pajak yang tinggi di satu sisi dengan stimulasi berupa insentif pajak di sisi lain. Begitu pula dalam keterlambatan dalam proses seleksi dan pengisian pejabat tinggi yang memperlambat realisasi belanja modal. Target pembangunan infrastruktur juga terlalu ambisius , ibarat proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Upaya menarik investasi di satu sisi dan regulasi yang menghambat di sisi lain.
Kepercayaan terhadap penentu kebijakan ekonomi menurun , terutama alasannya ialah sasaran yang ambisius yang kemungkinan besar tidak akan tercapai. Target ini semestinya dikoreksi secara lebih realistis sesuai dengan kemampuan melaksanakannya.
Tentu saja menciptakan sasaran yang lebih realistis akan menciptakan menteri yang bersangkutan tampak tidak bisa di depan presiden , yang sanggup berakibat pada pergantian dirinya. Namun , terhadap pelaku ekonomi sasaran yang realistis akan menawarkan citra lebih konkret dan mendorong kerja sama.
Kepercayaan terhadap pimpinan nasional , terutama bahwa presidenlah yang menentukan pemerintahan , tidak dalam bayang-bayang ketua partai di luar pemerintahan , sangatlah penting. Terbuka juga kemungkinan untuk memperluas dan memperkuat koalisi penguasa (ruling coalition).
Rencana perombakan (reshuffle) kabinet sepertinya akan lebih banyak imbas positifnya daripada negatif , dengan keinginan kabinet yang diisi figur yang lebih berkemampuan dan berpengalaman serta sinergi yang lebih baik.
Sebaiknya BI dan Kementerian Keuangan lebih aktif dalam menjaga stabilitas harga SUN , ibarat yang pernah dilakukan sebelumnya. SUN yang dijual sanggup dibeli BI dengan derma Kemenkeu dengan kurs dollar-rupiah tertentu. Langkah ini sekaligus untuk menstabilkan nilai rupiah. Volatilitas yield obligasi dan nilai rupiah juga sanggup diminimalkan.
BI bagaimana pun harus menjaga stabilitas nilai rupiah dengan membentuk asumsi (ekspektasi) depresiasi tidak lebih dari 5 persen. Hal ini penting untuk mengembalikan kepercayaan.
Ekonomi diutamakan
Pada dikala ekonomi melemah , maka kebijakan fiskal semestinya mengutamakan stimulasi ekonomi. Peningkatan penerimaan pajak penting untuk membiayai pembangunan , namun memaksakan pada dikala ekonomi menurun menjadi semakin melemahkan ekonomi. Reformasi pajak semestinya dilakukan secara sistematis dan dalam jangka panjang bukan dengan aneka macam kejutan.
Kekurangan penerimaan pajak sanggup diatasi dengan penerbitan obligasi dan pinjaman dari forum multilateral.
Pengembangan industri manufaktur diarahkan kepada pengembangan rantai pasokan global (global supply chain).
Peningkatan kandungan lokal dan produk dalam negeri diadaptasi dengan tahapan kemampuan , konsisten , tidak berubah- ubah , dan tidak justru menghambat pertumbuhan industri itu sendiri.
Dengan kemungkinan tidak tercapainya penerimaan pajak dan ruang fiskal dari pembatalan subsidi BBM tidak sebesar asumsi semula , maka pembangunan infrastruktur haruslah selektif , terutama yang mendorong investasi dan mengatasi kendala distribusi , serta memiliki kemungkinan besar untuk terealisasi dengan baik.
Dengan rumit dan lambannya birokrasi serta akuntabilitas yang ketat , pembangunan infrastruktur akan lebih cepat dilakukan dengan PPP (public private partnership) , dengan melibatkan BUMN (dengan penambahan modal) dan swasta.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Atasi Pelemahan Rupiah Dan Ekonomi"