Sapuan Gafar
Menarik untuk menyimak ”di balik” impian Presiden Joko Widodo yang akan merombak ”fungsi” Perum Bulog (Kompas , 28/5/2015). Apakah hanya akan menambah komoditas atau sekadar mengganti direksi atau ada alasan strategis lain? Catatan ini mudah-mudahan membantu memahami kemauan Presiden itu.
Sebenarnya Presiden Megawati Soekarnoputri sudah melihat jauh ke depan nasib Bulog. Pada tahun 2003 , Presiden Megawati merombak bentuk Bulog dari yang sebelumnya forum pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi perum. Presiden Megawati melihat Bulog harus diselamatkan. Apabila tetap sebagai LPND , Bulog hanya menjadi forum di tingkat sentra , sedangkan cabangnya di provinsi dan kabupaten diserahkan kepada pemerintah kawasan , menyerupai Badan Koordinasi Keluarga Bencana Nasional (BKKBN). Perum Bulog diberi waktu lima tahun untuk menyiapkan diri menjadi perusahaan yang kegiatannya tidak tergantung dari kiprah pemerintah.
Namun , hingga detik ini , Perum Bulog kegiatannya masih menggantungkan diri pada tugas-tugas pemerintah. Di lain pihak , kompetitor Bulog bergerak dengan cepat berkembang dan kini sudah mulai ”mendikte” pasar. Buktinya , dikala Presiden Jokowi mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2015 dengan menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk gabah kering panen Rp 3.700 per kilogram , mereka memasang harga di atas Rp 4.000. Ketika pengadaan seret , pemerintah panik dan risikonya berujung pada penggantian direksi Perum Bulog yang gres bekerja tiga bulan sesudah Inpres Perberasan terlambat diteken.
Presiden Megawati mungkin masih mencicipi pahitnya pengalaman Presiden Soekarno dikala didikte oleh monopoli/oligopoli kalangan penggilingan/ pedagang besar tahun 1960-an. Bayangkan , pada Januari 1965 harga beras masih sekitar Rp 300 per kilogram. Akibat ulah kalangan penggilingan/pedagang besar , harga bergerak naik dan pada bulan Desember mencapai Rp 1.760 , sehingga memicu krisis politik yang menciptakan kedudukan Presiden Soekarno goyah.
Belajar dari pengalaman Presiden Soekarno tersebut , Presiden Soeharto memperkenalkan teknologi penggilingan padi kecil dengan sistem rubber roll (rol karet) untuk mengupas gabah dan menyosoh beras dengan jalan memasukkan ratusan penggilingan padi kecil itu untuk menyaingi penggilingan padi besar. Sementara untuk ”menandingi” kekuatan pedagang swasta dibuat Bulog yang diberi otoritas penuh untuk mengendalikan harga sehingga bisa bergerak cepat. Sekarang otoritas inilah yang ”hilang” dari Bulog , semuanya harus minta izin atau seizin pemerintah sentra atau daerah.
Bangkitnya swasta dalam investasi penggilingan dan gudang gotong royong mulai terlihat awal tahun 2000-an. Kemudian , tahun 2010 swasta besar mulai tertarik untuk terjun di perdagangan dan penggilingan gabah/beras. Selanjutnya , tahun 2012 Bulog mulai mencicipi kesulitan mendapat gabah/beras. Indikasinya ialah penggilingan padi terpadu (PPT) yang mempunyai akomodasi lengkap dan jaringan pasar sendiri mulai berebut di pasar gabah dan beras. Yang terang , PPT pasarnya bukan untuk Bulog.
Kemudian , penggilingan padi besar (PPB) yang pasarnya ialah pasar antardaerah dan antarpulau ikut ”rayahan” materi baku gabah/beras. PPB yang dulu merupakan kawan Bulog dalam pengadaan kini sudah merupakan pesaing Bulog , dan PPB yang bermitra dengan Bulog juga semakin sedikit. Bagaimana kuatnya PPB sebagai kompetitor Bulog tergambar , contohnya , menyerupai di Yogyakarta , untuk satu penggilingan besar omzetnya ada yang mencapai 75.000 ton beras setahun , melebihi perembesan Divisi Regional Bulog DIY yang hanya sekitar 40.000 ton setahun. Padahal , terdapat empat penggilingan besar di Yogyakarta.
Sekarang tinggal penggilingan padi kecil (PPK). Mereka umumnya mencari margin harga yang baik sehingga terang Bulog akan kalah. Sisanya ialah penggilingan padi kecil sederhana (PPKS) dan penggilingan padi kecil keliling (PPKL) yang menjadi andalan Bulog untuk memasok beras. PPKS dan PPKL umumnya merupakan huller yang kita kenal hasil olah berasnya mengandung butir patah tinggi. Oleh alasannya itu , banyak keluhan dari peserta raskin akan kualitas beras yang diterimanya , apalagi beras menyerupai ini juga tidak tahan disimpan lama.
Merombak fungsi
Pada dasarnya fungsi Bulog ada empat macam , yaitu (1) awalnya sebagai penyedia pangan/beras bagi pegawai pemerintah , TNI/Polri , dan buruh perkebunan semenjak zaman Belanda hingga tahun 1999; (2) sebagai stabilisator harga semenjak 1969 hingga kini; (3) ditambah lagi sebagai stok penyangga yang secara resmi diumumkan mulai tahun 1973 jumlahnya minimal tiga bulan kebutuhan dan lebih diperjelas penganggarannya tahun 1985; (4) sebagai penyedia beras untuk keluarga miskin mulai tahun 1998 hingga sekarang.
Keinginan Presiden Jokowi untuk merombak fungsi Bulog mungkin dilatari juga oleh ”aspek lain” sesudah melihat Bulog mendapat kesulitan untuk membeli beras dalam negeri dan ”dipermainkan” oleh pasar beras pada Februari 2015.
Dengan semakin kompetitifnya pasar gabah/beras di dalam negeri , gotong royong perkara jaminan harga untuk petani produsen sudah selesai. Falsafah dasar kerja Bulog the buyer of the last resort atau pembeli terakhir apabila sudah tidak ada pembeli lagi , maka kiprah pemerintah selesai. Namun , alasannya Bulog perlu menjaga stok cadangan minimum dan pemerintah telanjur mengeluarkan pendapat tidak ada impor beras , risikonya pemerintah resah sendiri. Bulog pun risikonya dipaksa membeli 4 juta ton beras walaupun harganya sudah tak cocok lagi.
Fungsi gres Bulog
Sebenarnya keadaan Bulog yang sulit membeli gabah/beras sudah dirasakan semenjak tahun 2005. Ketika itu harga beras mulai terus-menerus bergerak naik. Karena itu , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kurun 2004-2009 menaikkan HPP rata-rata 15 persen per tahun. Saat ini harga beras di Indonesia sudah dua kali harga beras di Bangkok dan 2 ,5 kali harga beras di Vietnam , sedangkan subsidi sektor pertanian per hektar juga sudah melebihi negara maju. Tragisnya lagi , semua itu tidak dirasakan oleh petani.
Bagaimana keluar dari karut-marut keadaan ini? Pertama , fungsi Bulog untuk menjaga harga di tingkat petani sudah tidak relevan lagi , dan juga harga berasnya sendiri di dalam negeri sudah demikian tinggi. Daripada membatasi gerak Perum Bulog untuk membeli gabah/beras , maka mulai kini diumumkan tidak ada inpres perberasan lagi. Bulog dibiarkan bertarung di pasar sehingga akan diketahui harga pokok secara riil. Misalnya nanti harga pokok Bulog Rp 10.000 per kilogram dan kemampuan pemerintah memperlihatkan subsidi untuk raskin dan operasi pasar hanya Rp 5.000 , maka harga jual Bulog ialah selisihnya. Oleh alasannya Bulog merupakan pembeli terbesar , biar tak terjadi eskalasi kenaikan harga , maka diberikan panduan kapan Bulog berhenti membeli gabah/beras , contohnya kenaikan harga eceran dihentikan lebih dari 20 persen dari rata-rata harga yang lalu.
Kedua , Bulog diberi otoritas penuh untuk memilih besaran impor dan kapan harus impor , di mana ini sudah barang tentu atas keputusan presiden. Penentuan kebutuhan impor tidak perlu melibatkan kementerian pertanian yang sudah niscaya pendapatnya bias. Termasuk penentuan impor beras kualitas khusus hanya melalui Bulog , walaupun nanti izinnya dari menteri perdagangan. Yang diperbolehkan berbicara soal impor beras hanya Presiden. Masalah menyerupai ini niscaya banyak yang tidak setuju , tetapi kalau mau efektif mengendalikan beras , sistemnya harus menyerupai itu.
Ketiga , Bulog diberi kewenangan penuh untuk melaksanakan operasi pasar beras , tidak harus melibatkan kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sistem menyerupai yang ada selama ini tidak efektif menekan harga , terlalu banyak birokrasi dan wacana. Cara ini pun niscaya tidak disenangi oleh kementerian perdagangan dan pemerintah daerah. Sekali lagi yang dihadapi ialah pasar dengan sikap yang selalu mengambil laba di antara keruwetan. Untuk itu pemerintah harus mempunyai kriteria yang terang kapan Bulog harus melaksanakan operasi pasar , contohnya kalau harga sudah naik 20 persen.
Keempat , biar kiprah Perum Bulog efektif dan tidak terlalu menabrak janji antara regulator dan operator , jabatan administrator Perum Bulog dirangkap tubuh yang mengurus cadangan pangan. Sebenarnya , sesuai dengan UU Pangan No 18 Tahun 2102 , belum terdapat forum yang menangani perkara cadangan pangan , diversifikasi pangan , dan training contoh kebiasaan makan. Oleh alasannya itu , biar lebih fokus , disarankan dibuat Badan Koordinasi Cadangan Pangan yang tugasnya mengoordinasikan cadangan pangan pemerintah dan membina cadangan pangan masyarakat , termasuk memantau cadangan pangan masyarakat.
Apabila Kepala Badan Koordinasi Cadangan Pangan merangkap jabatan sebagai Dirut Perum Bulog (dua tangan satu kepala) , maka fungsinya menyerupai Bulog pada zaman Soeharto yang berpengaruh dan sanggup bertindak cepat. Sesuai dengan UU Pangan yang gres , diamanatkan untuk membentuk forum pangan. Namun , menurut pengalaman , tubuh gres pangan selalu mengakibatkan friksi dengan Bulog , belum lagi friksi dengan kementerian yang lain. Sesuatu yang ideal belum tentu sanggup berjalan dengan baik.
Fungsi ”baru” Bulog yang kelima ialah sebagai ”penyeimbang” swasta , menyerupai dilakukan Conasupo (Bulog-nya Meksiko) tahun 1980-an , yaitu sebagai countervailing agent menghadapi kuatnya swasta.
Kalau hanya menambah komoditas atau mengganti direksi tanpa otoritas , dipastikan tidak akan efektif. Fungsi gres Perum Bulog memerlukan penguasaan stok yang lebih besar , dan mendapat prioritas dalam impor.
Sapuan Gafar; Mantan Wakil Kepala Bulog
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Merombak Perum Bulog"