Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Stabilisasi Harga Pangan

Dwi Andreas Santosa

New England Complex Systems Institute , Cambridge , Amerika Serikat , melaksanakan studi menarik berkaitan dengan krisis pangan dengan ketidakstabilan politik di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara teori , kerusuhan sosial merupakan refleksi dari banyak sekali faktor utama , di antaranya kemiskinan , pengangguran , dan ketidakadilan sosial.

Ketiga faktor tersebut merupakan buah dari kegagalan sistem politik pemerintah dalam jangka panjang. Berbeda dengan teori tersebut , New England Complex Systems Institute (NECSI) menemukan bahwa kerusuhan sosial terjadi alasannya yaitu kegagalan pemerintah dalam jangka pendek untuk menawarkan jaminan keamanan bagi penduduknya , yang sanggup berupa perlindungan terhadap ancaman dari luar hingga jaminan kecukupan pangan.

Pada tahun 2008 dunia mengalami krisis pangan yang ditandai dengan kenaikan harga jagung , kedelai , beras , dan gandum. Harga pangan meningkat rata-rata 75 persen dibandingkan dengan tahun 2000 , beberapa bahkan 200-300 persen. Krisis pangan 2008 menimpa 37 negara berkembang di dunia , termasuk Indonesia. Indonesia kemudian dikeluarkan dari daftar itu alasannya yaitu iklim kemarau berair yang menyelamatkan produksi padi tahun tersebut. Tercatat 60 kerusuhan sosial terjadi di 30 negara di dunia dan 84 orang meninggal.

Pada tahun 2009 kondisi stok pangan dunia pulih dan indeks harga pangan turun drastis dari 220 menjadi 140. Masa bulan madu tersebut tidak berlangsung usang , pada tahun 2010 indeks harga pangan sudah berada di posisi ke-170. Pada tahun tersebut NESCI menciptakan laporan perihal ancaman krisis pangan dan keterkaitan akrab antara harga pangan , kerusuhan sosial , dan instabilitas politik (Lagi dan Bar-Yam , 2010). Dunia membiarkan harga tetap liar dan indeks harga pangan tahun 2011 menorehkan rekor tertinggi sepanjang sejarah , yaitu 230 , melampaui titik kritis sebesar 210.

Indeks harga pangan yang tinggi tersebut dengan segera melibas banyak negara berkembang terutama yang sangat tergantung pada impor pangan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Banyak rezim dan pemerintahan di wilayah tersebut runtuh. Kejadian itu dikenal dengan istilah Arab Spring (Musim Semi Arab) yang dalam perjalanannya tidak lagi berupa "musim semi" , tetapi animo kehancuran politik , ekonomi , kohesi sosial , infrastruktur , dan bahkan hancurnya banyak sekali peninggalan peradaban insan yang agung.

Di tahun tersebut dalam tempo yang sangat singkat belasan ribu orang meninggal di Libya dan di negara-negara lain. Pada tahun-tahun berikutnya kekacauan tereskalasi yang menjadikan ratusan ribu orang meninggal dan jutaan terpaksa meninggalkan negaranya. Kondisi tersebut semakin memburuk dan tidak tersembuhkan hingga dikala ini.

Stabilisasi harga

Berkaitan dengan uraian di atas , sangat sempurna apa yang disampaikan Presiden Jokowi yang menaruh perhatian khusus terhadap potensi krisis/rawan pangan dan upaya stabilisasi harga pangan. Dua peraturan presiden (perpres) disusun , yaitu Perpres perihal Penetapan Harga dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting serta Perpres perihal Badan Pangan Nasional.

Pada perpres pertama yang telah ditandatangani Presiden Jokowi , pemerintah akan melaksanakan pengawasan dari produksi , distribusi , hingga di tangan konsumen jenis barang kebutuhan pokok dan barang penting. Jenis barang kebutuhan pokok yang akan diatur yaitu beras , kedelai materi baku tahu dan tempe , cabe , bawang merah , gula , minyak goreng , tepung terigu , daging sapi , daging ayam ras , telur ayam ras , ikan bandeng , ikan kembung , dan ikan tongkol/tuna/cakalang (Setkab , 18/6/2015).

Perpres kedua perihal Badan Pangan Nasional merupakan turunan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 perihal Pangan yang mengamanatkan pembentukan forum pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab pribadi kepada Presiden.

Lembaga tersebut mempunyai enam fungsi utama , yaitu fungsi perumusan kebijakan , pelaksanaan dan supervisi , pemantauan dan penilaian , pengelolaan data dan informasi pangan , serta pelatihan dan pengawasan. Badan Pangan Nasional akan mengoordinasikan acara tubuh perjuangan milik pemerintah dari produksi , pengadaan , penyimpanan , distribusi , hingga stabilisasi harga pangan pokok.

Sulit dibutuhkan bahwa kedua perpres tersebut akan efektif dalam jangka pendek untuk meredam tanda-tanda kenaikan harga yang terjadi dikala ini ataupun menjelang Idulfitri nanti. Dalam jangka panjang , kedua perpres tersebut berpotensi bertabrakan satu sama lain alasannya yaitu mengurus hal yang hampir sama sehingga memicu duduk kasus dalam koordinasi dan tumpang tindih kebijakan antar-kementerian dan forum terkait.

Intervensi sektor pangan

Selama 30 tahun terakhir ini , rekomendasi lembaga-lembaga internasional berkaitan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan hampir selalu mengacu pada tiga hal: 1) hindari intervensi pribadi terhadap pasar melalui integrasi sistem pangan nasional ke sistem pangan global dan liberalisasi pasar , 2) bantu masyarakat kurang bisa melalui jaring pengaman sosial , dan 3) promosikan instrumen administrasi risiko berbasis pasar (Gouel , 2015).

Tiga kaidah tersebut secara masif telah diadopsi pemerintah selama 15 tahun terakhir ini. Melalui adopsi tersebut , dengan cepat tugas pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan pangan diambil alih oleh kalangan swasta. Semakin usang swasta yang bergerak di sektor pangan semakin besar dan kuat. Importir juga memainkan tugas yang semakin usang semakin besar. Hal itu yang menjadikan terpuruknya sektor pertanian pangan di Indonesia , terjadi fluktuasi harga pangan yang cukup tinggi , dan peningkatan impor pangan sebesar 346 persen selama 10 tahun terakhir ini.

Berbeda dengan saran dan rekomendasi analis kebijakan dan forum pangan dunia , negara-negara yang terbukti bisa menjaga stabilitas harga pangan dan pejal terhadap krisis pangan justru yang melaksanakan intervensi sangat besar lengan berkuasa terhadap sektor pangan , stok dan perdagangan pangan , contohnya India dan Tiongkok.

Manmohan Singh awal tahun 2009 berhasil terpilih lagi menjadi perdana menteri India alasannya yaitu kesuksesannya melindungi India dari krisis pangan tahun 2007/2008. Ketika harga beras dunia meningkat 160 persen , harga beras di India hanya meningkat 7 ,9 persen (Gouel , 2013).

Sejarah kebijakan stabilisasi harga pangan antara India dan Tiongkok dengan Indonesia sangat berbeda. Kedua negara tersebut menjalankan kebijakan stabilisasi harga sudah sangat usang dan secara konsisten dijalankan. India mengawali semenjak tahun 1955 dengan mengeluarkan The Essential Commodities Act yang simpel tidak berubah kecuali amandemen kecil terkait dengan jenis dan jumlah barang yang dilindungi. Undang-undang tersebut menawarkan dasar aturan yang besar lengan berkuasa bagi pemerintah dan hukuman yang tegas bagi yang melanggarnya.

Di Tiongkok pada awalnya pangan pokok hanya boleh dibeli dan dijual oleh pemerintah. Meskipun telah berubah , sektor pangan tetap menjadi salah satu sektor yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah. Dengan demikian , dari sisi legislasi pengendalian harga melalui perpres tidak cukup besar lengan berkuasa , apalagi terjadi disharmoni antara satu peraturan dan peraturan lain. Pembentukan kelembagaan pangan yang besar lengan berkuasa dengan kewenangan besar jauh lebih penting dari sekadar penerbitan perpres pengendalian harga.

Hal lain yang sangat penting , setiap kebijakan terkait pengendalian harga pangan tidak akan pernah berjalan apabila sisi produksi tidak dibenahi. India bisa melaksanakan pengendalian harga beras melalui pelarangan ekspor beras non-Basmati sehingga terjadi peningkatan stok domestik. Di Indonesia , stok beras justru terus menurun selama tiga tahun terakhir ini , dari 7 ,4 juta ton (awal tahun 2013) , 6 ,45 juta ton (2014) , menjadi 5 ,5 juta ton (2015) , dan diperkirakan akan menurun lagi sebesar 15 persen pada final tahun 2015 (DA Santosa , "Waspada Pangan 2015" , Kompas , 10/3/2015).

Selama ini pembenahan sisi produksi selalu top-down dan bersifat charity melalui bagi-bagi pupuk , benih , traktor , pompa air , serta alat dan mesin pertanian (alsintan) lainnya. Kebijakan tersebut terbukti tidak efektif , yang dicirikan dengan stagnasi produksi dan impor yang membesar. Kebijakan perlu fokus ke peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan petani. Ketika kesejahteraan petani meningkat , kegairahan bertani dan ketertarikan di dunia pertanian meningkat sehingga produksi secara otomatis meningkat.

Apabila sisi produksi tidak berhasil dibenahi , upaya stabilisasi harga pangan akan jadi "isapan jempol belaka".

Dwi Andreas Santosa; Guru Besar IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI)

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Stabilisasi Harga Pangan"

Total Pageviews