Azyumardi Azra
“Menolak secara santun lebih baik daripada memberi kesepakatan yang panjang dan banyak.” (Sayyidina ’Ali ibn Talib RA)
”O , ia yaitu lelaki berani! Dia menulis ungkapan berani , bicara dengan kata-kata berani , bersumpah dengan sumpah berani , dan melanggarnya dengan berani.” (William Shakespeare , ”As You Like It” , 1599/1600)Pencalonan Sutiyoso sebagai Kepala Badan Intelijen Negara oleh Presiden Joko Widodo mengundang reaksi. Ada pihak yang mendukung , tetapi tidak kurang pula yang menolak , termasuk dari kalangan yang mengklaim sebagai relawan Jokowi dan juga dari lingkungan elite PDI-P.
Alasannya beragam. Misalnya , sebagai Panglima Kodam V Jaya , ia diduga bertanggung jawab atas Peristiwa 27 Juli 1996 ketika kantor PDI yang dipenuhi pendukung Megawati Soekarnoputri diambil alih tentara. Namun , alasan itu tidak lagi relevan alasannya yaitu Sutiyoso sebagai Ketua Umum PKPI telah menjadi bab integral Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang ditulangpunggungi PDI-P. Kaprikornus , sudah terjadi rekonsiliasi membisu (tacit reconciliation) antara PDI-P dan Sutiyoso.
Namun , ada pula alasan penolakan alasannya yaitu Sutiyoso yaitu Ketua Umum PKPI. Dari sisi ini , pihak yang menerima kecaman yaitu Presiden Jokowi yang dianggap ingkar kesepakatan untuk tidak mengangkat ketua umum partai sebagai menteri atau pejabat setingkat menteri. Dari pihak Sutiyoso , soal jabatan Ketua Umum PKPI kelihatan tidak menjadi masalah. Ia menyatakan berkali-kali bakal menanggalkan jabatan itu bila pencalonannya disetujui DPR.
Adanya pandangan di masyarakat bahwa Presiden Jokowi telah ”melanggar janji” perlu menerima catatan sendiri. Berkali-kali terdengar bunyi publik yang menganggap Presiden Jokowi ”melanggar” janji. Misalnya , rencana pemerintah mengimpor beras. Padahal , dalam aneka macam kesempatan , Presiden berjanji tidak mengimpor beras. Sebaliknya , sangat menekankan swasembada pangan.
Persepsi bahwa Presiden Jokowi ”melanggar” kesepakatan sepertinya terus berkembang dari waktu ke waktu. Pelanggaran kesepakatan itu juga terjadi dengan Nawacita yang merupakan platform dasar pemerintahan Jokowi. Hal ini sanggup dilihat poin per poin.
Pertama , dukungan terhadap warga negara. Jokowi dianggap melanggar kesepakatan dengan membiarkan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan menghancurkan kapal illegal fishing berbarengan dengan moratorium perizinan perjuangan perikanan tangkap telah menjadikan pengangguran massal pada tenaga kerja di sektor ini. Mereka sama sekali tidak terlindungi.
Kedua , penciptaan tata kelola pemerintahan yang higienis , efektif , demokratis , dan tepercaya. Presiden dianggap melanggar kesepakatan dengan terjadinya pelemahan KPK. Pada ketika yang sama , penataan birokrasi tak berjalan baik; terdapat indikasi terjadi proses politisasi birokrasi oleh menteri tertentu.
Ketiga , pembangunan dari pinggir dengan memperkuat tempat dan desa. Sampai ketika ini penguatan desa melalui peningkatan alokasi dana desa masih jauh dari terlaksana sehingga desa dan tempat pinggir tetap belum bergerak membangun.
Keempat , penguatan negara dengan reformasi sistem dan penegakan aturan yang bebas korupsi , bermartabat , dan tepercaya masih lemah. Janji ini terlihat menyerupai ”jauh panggang dari api” menyerupai juga terlihat pada poin kedua Nawacita alasannya yaitu pelanggaran aturan masih terjadi sehingga dapat dipercaya pegawapemerintah penegakan aturan tetap rendah.
Kelima , peningkatan kualitas hidup insan Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan. Sejauh ini belum terlihat indikasi meyakinkan pendidikan sanggup meningkatkan kualitas hidup manusia. Dunia pendidikan Indonesia justru kian terbelenggu dalam birokratisasi dan ”kementerianisasi”.
Keenam , peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Belum terlihat kebijakan dan langkah aktual meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di tingkat internasional.
Ketujuh , perwujudan kemandirian ekonomi. Janji ini masih berputar pada retorika. Belum terlihat indikasi atau tanda-tanda di mana Indonesia sanggup berdikari secara ekonomi.
Kedelapan , perwujudan revolusi aksara bangsa melalui kebijakan penataan kurikulum pendidikan nasional. Revolusi aksara atau revolusi mental gres sekadar retorik. Belum terlihat penataan kurikulum nasional yang mendorong revolusi aksara bangsa.
Kesembilan , peneguhan kebinekaan dan penguatan restorasi sosial Indonesia. Di tengah kecemasan masyarakat perihal tanda-tanda peningkatan intoleransi yang menginginkan keseragaman , belum terlihat langkah aktual tidak hanya untuk penguatan kembali kebinekaan , tetapi juga Pancasila yang merupakan peneguh utama tenunan sosial negara-bangsa Indonesia.
Belum berhasilnya Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla memenuhi janji-janji mereka , menyerupai terumuskan dalam Nawacita , secara apologetis alasannya yaitu keduanya gres menjalankan pemerintahan sekitar delapan bulan. Dalam rentang waktu itu , perhatian dan energi Presiden terseret ke dalam aneka macam pergaduhan politik.
Apa pun alasan belum terpenuhinya janji-janji itu membuat popularitas dan dapat dipercaya Jokowi merosot. Waktu tersisa bagi Jokowi sekitar empat tahun lebih , bahwasanya tidak terlalu lama. Karena itu , Presiden Jokowi sepatutnya segera membuat momentum yang sanggup mendorong realisasi aneka macam kesepakatan , terutama termaktub dalam Nawacita-nya.
Azyumardi Azra; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Awards 2014 Kategori Pemerhati Pemerintahan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Komitmen Politik"