Robert Endi Jaweng
Terbitnya arahan wali kota Banda Aceh belum usang ini , yang membatasi jam malam bagi wanita berada di luar rumah , kembali "mengonfirmasi" soal serius dalam kehidupan publik kita. Selain esensinya yang sulit dicerna kebijaksanaan dan tak urgen dari sisi kebutuhan aturan setempat , kebijakan semacam ini selalu berulang muncul di bumi Tanah Rencong , ibarat halnya pula terjadi di kabupaten/kota lain di Jawa Barat , Sumatera Barat , Sulawesi Selatan , dan lain-lain tempat , tanpa respons tegas dari pemerintah pusat.
Bias tafsir otonomi , di antara aneka faktor lain , sepertinya jadi karena utama. Terlebih dalam konteks Aceh di mana berlaku status otonomi khusus dalam kadar yang melampaui bagan desentralisasi asimetris yang lazim. Di sini , agenda setting tidak saja disusun untuk meresonansi kondisi spesifik dan keragaman lokal , juga menyiratkan pengutamaan yang tegas untuk berlainan dari daerah-daerah berotonomi biasa/jamak dan bahkan ingin berbeda dari kebijakan pusat. Dalam orientasi dan bobot setara , munculnya Peraturan Daerah bernuansa agama , regulasi pengaturan sikap dan tata busana , sampai pilih kasih politik alokasi fiskal mencerminkan upaya restriksi ke dalam (internal daerah) dan diferensiasi ke luar sebagai penegasan identitas pembeda dari daerah-daerah lain.
Ambiguitas pemda
Desentralisasi/otonomi di Indonesia memang didesain sebagai kerangka administratif guna mewadahi pengaturan-pengelolaan keragaman lokal. Otonomi menjadi struktur kesempatan gres bagi munculnya narasi dan lisan lokal yang pernah usang tiarap atau tersembunyi di bawah karpet kekuasaan otokrasi-sentralistik sebelumnya. Bahkan , dalam praktiknya yang eksesif , otonomi tak jarang bagai kotak pandora: berhamburannya identitas-identitas lokal secara arbitrer yang dalam interrelasinya melibatkan kontestasi tak bebas nilai dan hasrat saling mengalahkan.
Pada perkembangan lanjut , atas nama otonomi , tempat tampak begitu getol menegaskan perbedaannya secara eksternal dari tempat lain atau dengan pakem kebijakan nasional , tetapi cenderung lemah atau abai merekognisi keragaman internal tempat itu sendiri sebagai entitas lokal yang hakikatnya memang tak tunggal. Ambiguitas demikian menciptakan pemda sulit bersikap asertif atas munculnya upaya dominasi sampai kriminalisasi oleh suatu kekuatan sosial di aras masyarakat. Tidak saja membiarkan (crime by omission) , pemda justru turut menyulut (crime by commission) munculnya konflik komunal yang berkelindan dengan praktik eksploitasi/politisasi identitas.
Celakanya , ambiguitas itu bergerak jauh merasuk ruang formil negara-lewat regulasi atau instrumen fiskal-yang melembagakan praktik diskriminasi dalam aras kebijakan resmi pemerintah. Otonomi tidak dikerjakan dalam mandat sejatinya untuk mengafirmasi lapisan sosial ibarat kaum marjinal , minoritas , wanita , dan anak yang memerlukan keberpihakan dan hadirnya negara.
Alih-alih , jamak terjadi justru otonomi itu digunakan pemda untuk memproteksi dan memfavoritkan lebih banyak didominasi dan kelompok besar lengan berkuasa yang bergotong-royong tak perlu "dibela" khusus/berlebihan untuk dapat meraih susukan ke keadilan , perlindungan , dan seterusnya. Absennya afirmasi di satu sisi dan menonjolnya favoritisme pada sisi lain menciptakan raut otonomi kita tampak sangar , mencemaskan , menghadirkan lingkungan problem gres bagi kelompok warga rentan. Praktik pelembagaan diskriminasi ini terang menggerus otonomi sebagai ruang gres bagi hidup bersama dan peluang mengusahakan kebaikan umum.
Dalam pengerjaannya , diskriminasi dilembagakan lewat manipulasi kelemahan demokrasi prosedural yang digiring sebagai demokrasi numerik dan politik legislasi menang-menangan. Logika penyusunan kebijakan dilakukan berdasarkan hitungan numerik lebih banyak didominasi , padahal sejatinya bunyi terbanyak itu menjadi berbahaya ketika urusannya sudah berkaitan dengan kepentingan minoritas dalam kerangka kepentingan kolektif warga. Inilah sindrom desentralisasi tanpa nation-menyitir Mochtar Pabottingi-yakni suatu purwarupa otonomi yang gersang imajinasi kebangsaan , meski kita hidup dalam satu teritori negara , bahkan tempat yang sama. Otonomi berpotensi gagal dalam membangun korelasi kongruen antara sikap kedaerahan dan keindonesiaan , menciptakan tempat sebagai ruang hidup bersama justru terasa menyesakkan secara sosial.
Malafungsi otonomi tersebut berkelindan dengan penyakit akut dalam sektor publik kita yang masih besar lengan berkuasa mewarisi mental model dan kultur birokrasi kolonial. Dalam kasus Aceh , kebijakan dibentuk bukan untuk mengatur tanggung jawab pemda menjamin keamanan warga (memastikan petugas satpol PP ada di tiap titik rawan , misalnya) , tetapi justru membatasi sikap warga. Hak dasar warga untuk bergerak tanpa batasan waktu dan tempat guna mencari sumber penghidupan terpaksa tunduk di depan watak birokrasi yang malas menunaikan kiprah wajibnya , atau bahkan hanya pencitraan politik atau menyalin perhatian warga dari kinerja jelek pemda kepada pesona tempat agamais , pemimpin religius , dan seterusnya. Stereotip "perempuan keluar malam" dan aksara diskriminasi (bahkan terhadap pria sumber ancaman) juga inheren dalam alam pikir kebijakan itu , alih-alih mengambil tindakan afirmasi kalau memang benar keamanan wanita sungguh rentan dalam kondisi rawan ketika ini.
Pusat hadir
Pelembagaan diskriminasi , beserta segala kerusakan fatal yang timbul , ialah problem pada aras kebijakan , dan pelakunya negara itu sendiri. Sebaran kasus (beresensi sama , bermacam-macam modus) yang terjadi di ratusan tempat ketika ini menjadi bukti faktual bahwa skala masalahnya ialah nasional. Semua itu bermuara pada satu imperasi: pemerintah pusat harus memberi respons jelas! Bahkan jikalau diskriminasi itu bernuansa (apalagi bersubstansi) agama , urusannya tentu bukan lagi soal otonomi , meski jikalau otonomi itu ditafsir secara sangat elastis ibarat hidden-autonomy , tetapi sudah merupakan sebentuk subversi kebijakan atas otoritas pusat yang-menurut UU No 22/1999 sampai UU No 23/2014-berwenang mutlak dalam urusan agama.
Adakah bukti , setidaknya sinyal , yang mengarah ke sana? Tidak! Pusat hanya berlagak hadir , lewat respons normatif di pemberitaan media. Instrumen otoritatif berupa abolisi kebijakan dan pengenaan hukuman manajemen atas kepala tempat hanya terkesan berangasan ketika dinormakan dalam beleid otonomi.
Kecuali ribuan Peraturan Daerah pajak , retribusi , dan investasi , sampai hari ini belum satu pun kebijakan lokal yang melembagakan diskriminasi dibatalkan. Tidak ada terapi kejut bagi tempat bersangkutan , serentak mencegah pengaruh tular ke tempat lain guna menirunya karena politik pembiaran pusat. Mantra Nawacita "menghadirkan kembali negara" , "menolak negara lemah" , "restorasi sosial guna memperteguh kebinekaan" , entah apa lagi , hari ini diuji secara faktual untuk mengambarkan tuahnya. Aceh , juga 150 tempat lain , menjadi ajang pembuktian. Mari kita tunggu!
Robert Endi Jaweng; Direktur Eksekutif KPPOD , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Otonomi Dan Diskriminasi"