Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Memulai Lagi Reformasi Kepolisian

Adrianus Meliala

Hari-hari ini menghangat lagi perdebatan perihal perlunya kepolisian direformasi (kembali). Hal ini terkait dengan langkah kepolisian menyelidiki mantan penyidiknya sendiri , Novel Baswedan.

Publik tak percaya bahwa langkah itu yaitu langkah aturan , yang perlu segera dilakukan menjelang kedaluwarsanya laporan polisi yang dibentuk masyarakat perihal masalah itu. Sebaliknya , berpengaruh persepsi bahwa itu yaitu langkah Polisi Republik Indonesia untuk , lagi-lagi , menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi melalui proses aturan yang secara terkenal disebut dengan "kriminalisasi."

Menarik bahwa masyarakat menyerupai mengabaikan begitu banyak permasalahan yang dihadapi kepolisian , plus banyak sekali kesalahan kepolisian ketika bertugas , dan "memilih" masalah Novel guna dijadikan pengungkit bagi perlunya reformasi. Menurut penulis , itu menunjukan masih kuatnya persepsi bahwa KPK yaitu forum superbody yang tak sanggup salah dan tak sanggup disentuh aturan sekalipun.

Terlepas dari proporsional atau tidaknya tuntutan itu , penulis menganggap selalu bermanfaat untuk sesekali mengangkat informasi reformasi dalam kepolisian. Ini seiring anggapan penulis bahwa kepolisian mulai terbiasa dalam iramanya sendiri , business as usual. Hampir tidak ada lagi personel kepolisian yang sekarang masih bicara reformasi , sebagaimana menjadi substansi gerakan Reformasi 17 tahun lalu.

Tiga cara

Terdapat tiga cara pandang melihat reformasi dalam suatu organisasi menyerupai kepolisian. Pertama , dengan pendekatan kontinum atau sekuensial. Perubahan dalam organisasi dibagi tahap demi tahap dan dilihat dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik , ada kemungkinan pula sebaliknya.

Kedua , pendekatan komprehensif. Walau hanya melihat dalam kurun waktu singkat (biasa disebut moment opname) , namun obyek dikaji secara menyeluruh. Berbagai kiprah pokok dan fungsi dipertimbangkan , demikian pula asupan sumber daya berikut banyak sekali variabel yang sering kali menjadi pengganggu eksternal kepolisian. Melalui metode ini , konklusi yang dicapai kiranya lebih adil dan berimbang.

Ketiga , pendekatan snapshot. Seperti halnya dunia fotografi , maka sebagian kecil dari suatu obyek besar diabadikan dan dihadirkan seakan-akan obyek yang utuh. Dengan metode zoom (di mana sosok obyek seolah dibesarkan) dan metode cropping (di mana penggalan tak penting menyangkut obyek sanggup dipotong) , maka terjadi suatu penonjolan yang tak proporsional dari suatu hal. Hal ini pada waktu bersamaan menenggelamkan banyak sekali hal di seputar obyek itu.

Kiranya , yang terjadi di seputar tuntutan reformasi kepolisian hari-hari ini intinya berangkat dari pendekatan snapshot ini. Sebaliknya , kalau dipergunakan pendekatan kontinum atau pendekatan komprehensif , situasi kepolisian remaja ini tidaklah sejelek yang dibayangkan. Banyak hal bergotong-royong sudah berubah menyangkut pelayanan kepolisian , jauh lebih baik dibandingkan waktu yang lalu.

Reformasi intinya yaitu konsep pergerakan , yang dalam konteks Indonesia , berangkat dari apa yang dicetuskan Amien Rais ketika terjadi gerakan massa yang menggulingkan pemerintahan Soeharto tahun 1998. Pelepasan Polisi Republik Indonesia dari ABRI yaitu salah satu tuntutan yang digulirkan massa ketika itu melalui Lima Tuntutan Reformasi.

Begitu Polisi Republik Indonesia berhasil keluar dari ABRI , menurut TAP MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000 , Polisi Republik Indonesia pula yang kemudian menjadi forum negara pertama yang menangkap informasi reformasi guna melaksanakan perubahan dalam dirinya. Ada tiga hal yang kemudian menjadi jadwal reformasi kepolisian , yakni perubahan menyangkut aspek struktural , aspek kultural , dan aspek instrumental.

Menarik kalau mengamati kecepatan Polisi Republik Indonesia mengklaim bahwa perubahan terkait aspek struktural dan instrumental sudah selesai tahun 2002-an. Aspek struktural , konon ditandai dengan keluarnya Polisi Republik Indonesia dari ABRI dan ditempatkannya Polisi Republik Indonesia di bawah Presiden. Polisi Republik Indonesia sepertinya amat besar hati dengan situasi itu dan melihatnya sebagai struktur yang sudah final. Sementara , menyangkut aspek instrumental , juga dengan cepat dicapai melalui pembatalan hal-hal yang berbau militer dari banyak sekali peraturan , petunjuk teknis bahkan juga dari buku pelajaran para calon polisi. Bisa dikatakan , perubahan pada dua aspek itulah yang banyak menyumbang perbaikan Polisi Republik Indonesia kalau reformasi dilihat secara kontinum ataupun secara komprehensif.

Adapun aspek kultural , sampai sekarang tak satu orang pun di lingkungan Polisi Republik Indonesia mengakui aspek ini sudah berhasil diubah. Dengan kata lain , kultur Polisi Republik Indonesia masih begitu-begitu saja: feodal dan patrimonial. Ketidakberhasilan mengubah kultur ini bergotong-royong sanggup dimengerti sebagai berikut: Reformasi di Polisi Republik Indonesia simpel dijalankan oleh orang dalam. Maka , cukup masuk akal apabila orang dalam itu hanya mereformasi hal-hal yang tak menyenangkan bagi dirinya (dalam hal ini banyak meliputi aspek struktural dan instrumental). Sementara hal yang menyenangkan (sebagaimana terdapat dalam aspek kultural) , dibiarkan saja. Itulah kelemahan contoh self driven-reform atau reformasi yang digerakkan sendiri.

Reformasi teknokratis

Pada 2005 , sehabis kepolisian mengeluarkan dokumen yang dikenal luas dengan nama Grand Strategy Polisi Republik Indonesia 2005-2025 , maka simpel reformasi kepolisian sebagai sebuah gerakan berhenti. Selanjutnya digantikan dengan suatu contoh gres , yang oleh penulis disebut reformasi teknokratis. Grand Strategy dimulai dari tahapan trust building , disusul tahapan kedua partnership building , dan diakhiri dengan tahap tamat strive for excellence. Sebagai reformasi teknokratis , Grand Strategy sepenuhnya mengandalkan pendekatan khas negara , yakni berubah , namun dalam koridor tata laksana kelembagaan , tata aturan dan kewenangan , SDM dan anggaran.

Sebagai turunan dari Grand Strategy , terdapat planning strategis lima tahunan dan dirinci lagi menjadi acara tahunan yang , sekali lagi , sepenuhnya mengikuti contoh perencanaan , contoh penganggaran dan pembiayaan negara.

Sebagai reformasi teknokratis , perubahan bukan lagi sesuatu yang berangkat dari passion atau getaran hati dari orang-orang yang menginginkan terjadinya suatu situasi yang lebih baik. Melainkan , berangkat dari telah digunakannya sejumlah dana negara dan harus tercapainya kinerja sebagaimana direncanakan. Sesuai julukannya , yakni Reformasi Birokrasi Polisi (RBP) , yang terjadi pada era ini yaitu reformasi di badan birokrasi , yang berjalan seiring dengan kebijakan pemerintah. Apabila ada yang menyimpang , maka sebagaimana telah dialami beberapa petinggi Polisi Republik Indonesia , label sebagai koruptor akan mereka sandang. Kaprikornus , amat salah kalau dikatakan kepolisian tidak mereformasi diri. Yang berbeda yaitu , pasca 2005 , reformasi lebih banyak berlangsung internal dan tidak banyak hura-hura.

Namun , reformasi teknokratis ini bukannya tanpa kelemahan. Seperti halnya birokrasi pada umumnya yang sering kali mengidap penyakit "seolah-olah bekerja" , itu pula yang terjadi di kepolisian. Indikasi "ada yang berubah , padahal tidak" , mudah ditemui di beberapa satuan kerja. Apalagi sehabis acara terkait RBP diberikan struktur tersendiri , dengan pengendali berpangkat brigjen pula , maka passion reformasi sebagaimana terlihat 17 tahun kemudian tak terlihat lagi. Reformasi sekarang menyerupai acara catat-mencatat rutin dan mungkin sanggup dipoles sana-sini.

Banyak sekali gaya bekerja di lingkungan Polisi Republik Indonesia yang tak berubah walau ilmu administrasi modern telah sanggup membantu. Banyak pula cara bekerja yang seharusnya sudah kian mudah terkait keberadaan teknologi informasi , namun tetap dibentuk sulit sebab satu dan lain hal. Apakah untuk mengubah itu semua tak terdapat item jadwal berikut sejumlah acara yang didukung anggaran? Tentu saja ada. Namun , pada tamat tahun anggaran , tetap saja tak ada yang berubah. Kalaupun ada , itu lebih sebab faktor pemimpin yang mempunyai visi. Saat pemimpin berganti , situasi berubah kembali.

Salah satu yang disinyalir tak berubah yaitu acara penyidikan. Pola kerja yang terlalu personal alias yang menempatkan penyidik sebagai yang kuasa di mata tersangka , tak kunjung berubah. Padahal , sudah banyak diakui , situasi itulah yang menjadikan mulai dari korupsi sampai kekerasan. Cara bekerja yang masih manual di kalangan penyidik , juga menjadikan banyak hal sanggup kedodoran. Ini contohnya terlihat ketika penyidik menangani masalah Novel. Jika masalah yang memperoleh perhatian menyerupai ini saja penyidiknya kedodoran , sanggup dibayangkan apa yang terjadi pada 20.000-an masalah lainnya yang ditangani Polisi Republik Indonesia per tahunnya.

Menyadari itu , maka menyuarakan kritik masyarakat kepada Polisi Republik Indonesia semoga berubah , tentu saja tetap perlu dan baik adanya. Reformasi intinya soal kemauan diri sendiri untuk berubah ke arah yang lebih baik. Misalnya , kemauan untuk tak berlindung di balik formalisme aturan dan mengabaikan keadilan substansial. Atau , kemauan memaksimalkan dampak dari program-program pembelian barang dan peralatan yang mahal.

Adrianus Meliala; Kriminolog FISIP UI; Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Memulai Lagi Reformasi Kepolisian"

Total Pageviews