Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Zhou Enlai

Trias Kuncahyono

Rabu , 10 Juni 2015 , kami meninggalkan Beijing , pukul 08.33. Tiga puluh menit kemudian , kereta cepat yang membawa kami sudah berhenti di Stasiun Tianjin , Tiongkok timur laut. Padahal , jarak antara Beijing dan Tianjin ialah 113 ,8 kilometer (km). Yang juga menarik ialah kereta berangkat sesuai agenda keberangkatan yang tertera dalam tiket dan hingga tujuan sesuai pula dengan jadwal.

Walau kereta berlari demikian cepat , perjalanannya nyaman. Kereta higienis , berpendingin ruangan 25 derajat celsius , dan toiletnya pun higienis , tidak basah. Harga tiketnya juga terhitung tidak mahal: 65 ,50 renminbi atau sekitar Rp 131.000.

Tianjin ialah kota metropolis terbesar ketiga di Tiongkok , berpenduduk 14 ,5 juta jiwa dengan luas wilayah 11.760 km persegi. Kota yang sering disebut sebagai ”permata di Teluk Bohai” ini ialah kota industri dan jasa. Banyak bangunan tinggi menjulang ke angkasa—gedung-gedung perkantoran , apartemen , dan pabrik. Kotanya tertata rapi dan higienis , hijau.

Tujuan pertama kami Museum Zhou Enlai dan Deng Yingchao. Zhou (1898-1976) dan Deng Yingchao (1904-1992) ialah pasangan suami-istri. Zhou Enlai ialah tokoh besar Tiongkok komunis , tentu selain Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Kalau orang mengenang Mao Zedong sebagai ”Kaisar Merah” sebab di bawah kekuasaannya begitu banyak orang tewas. Tidak demikian dengan Zhou Enlai. Saking kejamnya , Mao kerap disandingkan dengan Joseph Stalin dan Hitler. Jean-Louis Margolin dan kawan-kawannya (Andrzej Paczkowski , Jean-Louis Panné , Karel Bartosek , Mart Laar , Nicolas Werth , dan Stéphane Courtois) dalam The Black Book of Communism (1997) antara lain menulis , korban tewas selama kebijakan Lompatan Jauh ke Depan (1959-1961) diperkirakan 20 juta orang hingga 42 juta orang. Jumlah tersebut belum dihitung korbannya di awal pergerakan. Ia juga tega menyingkirkan para pesaing politiknya , bahkan calon pengganti yang ditunjuknya , Liu Shaoqi.

Nah , sebaliknya , Zhou Enlai ialah wajah Tiongkok yang menghadap ke dunia luar. Wajah yang baik. Ia perdana menteri pertama Tiongkok , yang dikatakan sebagai pemimpin Tiongkok paling berilmu , ramah , dan hangat , walaupun penuh teka-teki. Misalnya , mengapa ia tidak pernah menduduki posisi paling puncak dalam hierarki partai meski mengendalikan pemerintahan Komunis selama 27 tahun?

Mao dan Zhou , dua wajah yang berbeda. Mao seorang pemimpi dan idealis yang menyebabkan revolusi sebagai passion- nya dan membabat habis yang tidak sepaham dengan visinya. Sebaliknya , Zhou—yang pernah sekolah di kolese misionaris di Tianjin , kemudian ke Jepang dan Perancis—seorang pragmatis yang bisa menciptakan mesin pemerintah tetap berjalan meski Mao menciptakan kebijakan yang menghancurkan rakyatnya. Tanpa Zhou , berdasarkan Presiden Richard Nixon , revolusi sudah terbakar habis dan hanya akan menyisakan bubuk belaka.

Zhou juga yang berperan besar memperbaiki korelasi antara Beijing dan Washington , yang dipuncaki dengan kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok pada tahun 1972. Karena kemampuan diplomasinya—kata-katanya yang sangat populer , ”diplomasi ialah kelanjutan perang dengan sarana lain”—yang telah memungkinkan pintu Tiongkok tetap terbuka bagi dunia luar meski rezim Mao sangat kejam dan dikecam dunia.

Bagi masyarakat Indonesia , nama Zhao Enlai tidaklah asing. Bersama Bung Karno , Jawaharlal Nehru , antara lain , Zhou Enlai tokoh penting dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Bahkan , pemandu wisata yang mendampingi kami selama mengunjungi museum menyampaikan , Zhou ialah penyelamat KAA dari kebuntuan dan hasilnya menghasilkan Dasasila Bandung. Benarkah? Perempuan pemandu wisata itu hanya tersenyum saat mendengar pertanyaan itu.

Barangkali yang penting bagi si pemandu wisata ialah ia berhasil memperkenalkan Zhou Enlai kepada orang-orang yang mengunjungi museum itu. Setelah mengunjungi museum , orang pun akan menyampaikan , impian modernisasi Tiongkok yang dianjurkan Zhou Enlai pada Kongres Rakyat Nasional Keempat 1975 sekarang telah terwujud. Tiongkok telah maju , dan kita harus mencar ilmu hingga ke negeri Tiongkok.

Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Zhou Enlai"

Total Pageviews