Daoed Joesoef
Pemerintah perlu mewujudkan inspirasi "membentuk negara yakni membangun jiwa". Realisasi keharusan ini memang tidak gampang sebab ia bukan hanya merupakan dilema politik , melainkan juga menyangkut kinerja kabinet: mutu keprofesionalan individual para menteri , keterpaduan kerja mereka dalam term team-work , serta kekompakan visi kondisional presiden dan wakilnya.
Populis Amerika , Andrew Jackson , menyatakan , "Any American could fill any office". Populis Rusia , Nikolai Lenin , berujar , "Any cook can run the state." Ujaran ini kiranya lebih realistis.
Lenin kelihatan ingat peringatan Schumpeter , pendiri mazhab ekonomi Austria , betapa pentingnya inovasi "kombinasi baru" dalam mengatasi siklus bisnis. Sementara "koki" yakni julukan terhadap pemasak ahli yang bisa membuat hidangan lain melalui perbedaan kombinasi dari materi makanan yang tersedia. Setiap menteri di kementeriannya masing-masing pasti berurusan kerja dengan para birokrat yang kebanyakan sudah berdinas relatif usang sebelum sang menteri tiba dan berencana akan masih usang berkarya di situ sehabis beliau pergi. Le gouvernement passe , l'administration reste—pemerintah (menteri) silih berganti , manajemen negara tetap.
Maka , walaupun kedemokrasian negara-bangsa memberi kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk menjadi menteri , bahkan presiden dan wakil presiden , beliau masih dituntut menyiapkan diri sepatutnya untuk bisa bertugas selaku pejabat-pejabat tersebut. Tidak cukup hanya dengan menjadi anggota parpol , kader-petugas parpol yang setia. Dengan kata lain , beliau dituntut masuk kabinet "tidak dengan kepala kosong". Kekosongan itu perlu diisi dengan nilai-nilai teknis dan etis yang mumpuni melalui proses pendidikan , tidak cukup dengan obsesi spiritual by the Grace of God sebab keturunan pejuang besar.
Moralitas aspirasi
Berhubung pemerintah , dalam hal ini kabinet , dituntut melegislasi moral demi mewujudkan inspirasi "pembentukan negara yakni pembangunan jiwa" , pendidikan nasional dalam proses pembelajarannya perlu pula "mengultivasi" "moralitas tugas" dalam jiwa warga negara kita.
Moralitas aspirasi yakni moralitas dari kehidupan yang baik , terpuji , unggul , dan mencerminkan realisasi sepenuhnya dari kemampuan-kemampuan human. Jika seseorang tidak sanggup meraih semua yang beliau aspirasikan , bisa saja dianggap tidak berhasil , tetapi bukan berarti warga negara apkiran untuk penugasan apa pun. Dia "bersalah" sebab kurang mencukupi , bukan sebab berbuat jahat. Moralitas aspirasi selaku standar keunggulan , mengelola aspirasi-aspirasi dengan mempertanyakan apakah setiap aktivitas merupakan suatu "kegiatan yang bernilai"?
Lalu , ada moralitas tugas. Ia mengatur orang selaku warga negara , sementara moralitas aspirasi mengatur orang ketika beliau berusaha menangani sebaik-baiknya "tanggung jawab yang terkait kemungkinan besar dari kehidupan yang melampaui perimeter sphere politik. Dengan kata lain , moralitas aspirasi mengatur kegiatan-kegiatan orang melampaui tugas-tugas sosial yang beliau tanggung bersama dengan lain-lain warga negara. Moralitas kiprah memang kurang menuntut , tetapi lebih streng dalam pertimbangan keputusannya.
Jika moralitas aspirasi berawal di puncak kinerja human , moralitas kiprah dimulai di bawah. Ia menyiapkan aturan-aturan dasar. Sebab , tanpa aturan tersebut , mustahil ada suatu masyarakat yang tertata rapi dan bila diarahkan ke suatu tujuan tertentu pasti gagal. Ia yakni teladan moralitas dari "Perjanjian Lama" dan dari The Ten Commandments. Ia lebih sering berujar dalam term thou shalt not ketimbang thou salt. Ia tidak mengutuk insan sebab gagal memanfaatkan kesempatan demi realisasi yang tepat dari kekuatan-kekuatannya. Ia mengutuk insan berhubung gagal memenuhi tuntutan-tuntutan dasar dari kehidupan insan yang adil dan beradab.
Perbedaan antara moralitas kiprah dan moralitas aspirasi menyatakan ketidakmungkinan atau ketidakarifan (unwisdom) dari perjuangan mewujudkan suatu fusi , secara teoretis atau faktual , antara "penduduk yang baik" dan "warga negara yang baik". Hukum sekalipun kelihatan tidak berdaya untuk memaksa seseorang meraih keunggulan yang bekerjsama beliau bisa lakukan. Maka , demi adanya suatu workable standard of judgment , aturan berpaling ke moralitas tugas. Apa yang raib di moralitas aspirasi dalam relevansinya yang eksklusif dengan aturan , ditemukannya dalam pandangan yang mendalam dari implikasinya.
Dari pertarungan berabad-abad mengurangi kiprah irasional dalam urusan-urusan human , sanggup kiranya disimpulkan bahwa tak ada jalan tersedia bagi kita untuk memaksa insan hidup sesuai kehidupan bernalar. Padahal , dalam Kitab Suci Al Alquran kata budi ('aqala) disebut sebanyak 44 kali , sedangkan kata kerja (berpikir , merenung , absraksi , dan lain-lain) dan kata benda ('ilm) yang terkait dengan kata budi tadi bertebaran dalam aneka ayat dan surah. Kita hanya bisa berusaha memisahkan kehidupan insan dari manifestasi besar-besaran faktor kebetulan , irasionalitas , dan takhayul.
Pendidikan visioner
Di antara paksaan dan ketidakpedulian terbentang suatu area luas dari imbauan , insentif , dan lain-lain dorongan halus ke kehidupan yang lebih baik. Kita sanggup membuat kondisi yang esensial bagi suatu eksistensi human yang serba rasional. Pendidikan , contohnya , sanggup berbuat demikian melalui pematangan berpikir. Jika segala sesuatu dimulai dalam pikiran , di dalam pikiran itu kita bangkit kemampuan to judge properly. Namun , pikiran (judgment) itu masih perlu diluruskan melalui kesucian jiwa.
Aksi-aksi pendidikan visioner mencakup usaha-usaha melokalisasi bidang-bidang yang memungkinkan sukses dalam mengarahkan warga negara , melalui aturan , ke kehidupan yang layak. Sudah tentu kiprah serta pemerintah dalam aktivitas ini sangat diharapkan sebab bisa sekali memilih sukses atau kegagalan perjuangan itu. Jika kita amati keseluruhan gosip moral , kita mungkin sanggup membayangkan sejenis skala atau ukuran yang berawal dari bawah , dan bersamaan dengan impian kehidupan sosial kemudian meluas ke atas , ke capaian tertinggi dari aspirasi manusia.
Di salah satu titik dari skala itu ada petunjuk tersembunyi yang mengambarkan garis pemisah , di mana tekanan kiprah berakhir dan tantangan dari keunggulan berawal. Keseluruhan medan dari argumen moral didominasi oleh pertarungan besar wacana lokasi petunjuk itu. Dan , di medan pertarungan itulah bawah umur insan justru lahir dan dibesarkan. Maka , anak didik sedini mungkin perlu dibiasakan , sesuai daya tangkap intelek pembawaan umurnya , untuk selalu menjaga keseimbangan antara kesehatan tubuh (body) , pikiran (mind) , dan jiwa (soul). Demi kesehatannya masing-masing unsur itu perlu asupan (feeding) yang khas.
Badan cenderung dilayani lebih dahulu , diutamakan , sebab sangat menuntut. Ia tidak membiarkan kita melupakannya walau sesaat. Kalau kita lupa , ia menyebabkan kita lemah secara fisik dan merasa tidak yummy secara mental.
Pikiran juga menuntut asupan sebab ia menjadi gelisah bila dibiarkan tidak efektif. Manusia bisa haus pengetahuan , literatur , fine arts , terutama bila beliau pernah menempuh pendidikan formal memadai. Dibandingkan dengan makhluk binatang , anak makhluk insan bisa tumbuh lebih tepat dan mendewasakan diri secara ekstra-genetik dan pemberian pengetahuan ekstra-somatik , yaitu pengetahuan yang disimpan di luar tubuh insan berupa goresan pena , buku , perpustakaan , dan museum.
Jiwa yang sering terabaikan. Ia memang pendiam , sabar , dan tak mengajukan pertanyaan yang istimewa. Jika diabaikan , jiwa menangis dalam hati , tak bersuara. Namun , kalau sudah sejauh itu insan menjadi gelisah tanpa tahu mengapa. Ada rasa kekurangan dan kehilangan. Jika jiwa tak pernah diberi feeding khas yang ia perlukan , ia akan menjauh dan rontok menjadi serbuk halus yang sulit diamati. Pantas disesalkan bila jiwa yang seharusnya hidup , garang , dan cemerlang , lambat laun pudar , lenyap into nothingness. Padahal , himne nasional kita , "Indonesia Raya" , sudah menegaskan kita perlu membangun jiwa lebih dulu , gres membangun tubuh , demi Indonesia Raya.
Maka , pemerintah ditantang untuk mewujudkan inspirasi "membentuk negara yakni membangun jiwa" , dan terkait dengan respons yang tepat terhadap tantangan itu , diniscayakan menempatkan warga negara yang enlightened dalam komposisi kabinet , bukan sekadar politikus-petugas partai. Bukankah Bung Karno sendiri sering mengulang ucapan Nehru , "When my loyalty to my country begins , my loyalty to my party ends." Sementara para anggota kabinet menjalankan kiprah kenegaraan , masuk akal kalau mereka harus setia pada negara yang melambangkan negerinya.
Daoed Joesoef; Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Susila Dan Pembangunan Jiwa"