Laporan Diskusi Kompas-NU (1)
Pengantar Redaksi: Harian ”Kompas” bersama Panitia Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama menggelar diskusi bertema ”Meneguhkan Islam Nusantara” di Redaksi ”Kompas” , Jakarta , Rabu (27/5). Hadir sebagai pembicara Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; peneliti studi keislaman Universitas Vienna , Austria , Rudiger Lohlker; dan Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa Internasional Al-Azhar , Mesir , Abdel-Moneem Fouad. Katib Syuriyah PBNU KH Yahya C Staquf bertindak sebagai moderator. Laporan disajikan mulai hari ini.
Lahirnya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 tak lepas dari napas untuk membuat sebuah negara yang memadukan nasionalisme dengan semangat keagamaan. Hingga sekarang , NU terus aktif mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sejak awal kemerdekaan , perilaku NU amat terperinci dalam mendukung pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini , antara lain , sanggup dilihat dari Muktamar Ke-20 NU di Surabaya , 8-13 September 1954 , yang memutuskan Presiden Soekarno sebagai waliy al-amri al-dlaruri bi al-syawkah atau pemegang pemerintahan dengan kekuasaan penuh.
Dalam buku Soekarno dan NU: Titik Temu Nasionalisme dijelaskan bahwa keputusan itu diambil sebagai antisipasi terhadap bahaya pemberontakan yang ingin menggulingkan Soekarno dan mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu juga dilakukan untuk menyatukan para nahdliyin terkait perilaku NU dalam mendukung pemerintahan Indonesia.
Di sisi lain , dalam penutupan Muktamar Ke-23 NU di Solo , Jawa Tengah , pada 1962 , Soekarno memberikan pidato berjudul ”Saya Cinta Sekali pada NU”. Dalam pidato itu , Soekarno menegaskan , NU punya bantuan besar dalam keberhasilan Indonesia merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda.
Pernyataan Soekarno itu tak berlebihan. Pasalnya , Rais Aam PBNU ketika itu , KH Wahab Hasbullah , pernah menyarankan perebutan Irian Barat dilakukan dengan Diplomasi Cancut Tali Wondo. Saran itu diterjemahkan oleh Presiden Soekarno dengan Operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora.
Saat itu , KH Wahab juga pernah berujar , Soekarno tanpa NU akan kesulitan menjalankan program-program pemerintahannya. NU memandang pemimpin negara juga menjalankan kepentingan umat Islam sehingga para ulama menawarkan keabsahan atas kepemimpinan Soekarno.
Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Soekarno , efek NU secara eksklusif dalam pemerintahan juga cenderung turun. Apabila pada dekade 1950-an Partai NU sempat menyumbangkan sejumlah ulama di jabatan strategis kabinet , ibarat wakil perdana menteri , menteri pertanian , dan menteri agama , pada masa Orde Baru , Partai NU diharuskan melebur dengan partai lain dengan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meski efek NU secara eksklusif dalam kekuasaan terlihat menurun ketika Orde Baru , tugas ormas keagamaan itu dalam menegaskan nilai kebangsaan tak pernah berkurang. Dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo , Jawa Timur , NU memutuskan kembali ke khitah (semangat) yang didengungkan pada 1926 dengan keluar dari keterlibatan politik simpel dan mendapatkan sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara.
NU menyatakan , Islam dan Pancasila saling menguatkan dan mendukung. Dalam ratifikasi terhadap Pancasila , NU menyebabkan pengamalan nilai-nilai yang benar dalam Pancasila sebagai salah satu cara menjalankan syariat agama.
Keputusan NU ini merupakan langkah monumental bagi kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. NU yang menjadi ormas keagamaan terbesar di Indonesia menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang menginspirasi pihak lain untuk menjalankannya , terutama dalam ratifikasi terhadap Pancasila.
Radikalisme
Saat ini , Indonesia tidak lagi menghadapi duduk perkara penanaman nilai-nilai kebangsaan. Tantangan lain juga muncul , antara lain radikalisme.
Terkait bahaya radikalisme , ulama NU juga mengambil peranan penting untuk menangkalnya. Muktamar Ke-32 NU di Makassar , Sulawesi Selatan , pada 2010 , bahkan bertema ”Khidmah Nahdliyah Untuk Indonesia Bermartabat”. Tema itu disusun menurut keprihatinan merebaknya paham-paham radikal sehingga dikhawatirkan meredupkan perilaku moderat yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia.
Namun , tekad berpengaruh NU untuk menangkal paham radikal ditengarai belum didukung atau dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Hal itu , antara lain , ditandai dengan keterlibatan NU dalam kegiatan kontraterorisme umumnya hanya pada penyelenggaraan sebuah acara. Ruang yang lebih lebar perlu diberikan pemerintah kepada NU dalam mendukung upaya melawan radikalisme.
Pemerintah perlu makin menyadari bahwa wajah Islam yang ditawarkan NU ialah Islam yang diperlukan dan cocok untuk Indonesia.
Dalam muktamar ke-33 di Jombang , Jatim , Agustus mendatang , NU akan kembali menggoreskan langkah penting membawa paham Islam di Indonesia menjadi populer diseluruh dunia , Islam yang moderat dan menanggalkan kekerasan. Tiga upaya akan terus dilakukan NU untuk mengantisipasi paham radikal , yaitu memperkuat dakwah , meningkatkan pelayanan sosial , dan memberdayakan ekonomi umat.
Zaman berubah , tantangan bangsa pun berganti. Namun , NU tetap mengambil tugas penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. ● (Muhammad Ikhsan Mahar)
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menjaga Pilar Kebangsaan"