Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Sekolah Nu

Asmadji As Muchtar

“Masukkan saja di sekolah NU!" kata seorang kiai Nahdlatul Ulama. Hal itu ia kemukakan saat sejumlah tetangganya meminta saran wacana menentukan sekolah untuk anak mereka supaya beradab dan tidak terpengaruh radikalisme atau paham NIIS yang jadi momok dunia.

Yang disebut sekolah NU ialah madrasah diniyah (madin) yang dibuka siang , sore , dan malam di lingkungan masjid dan mushala. Kalau anak sudah telanjur masuk sekolah negeri atau sekolah lain pada pagi hingga siang , mereka bisa masuk madin yang buka sore atau malam.

Saran tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Madin mengajarkan pendidikan kebijaksanaan pekerti atau budpekerti , yang esensinya untuk menghargai kehidupan dan memuliakan kematian. Terbukti , sejauh ini belum ada murid atau alumni madin yang terlibat gerakan radikalisme atau terorisme yang lazimnya menghalalkan kekerasan atau membantai sesama (tidak menghargai kehidupan dan tidak memuliakan kematian) atas nama agama dan Tuhan.

Kalau madin mengajarkan jihad , yang dimaksud ialah jihad humanisasi (upaya memuliakan kehidupan dan janjkematian dengan menyejahterakan bangsa dalam arti seluas-luasnya) dan bukan  jihad dehumanisasi (melecehkan kehidupan dan janjkematian dengan cara membunuh supaya terbunuh dengan impian bisa menjadi syuhada).

Menghargai kehidupan

Dengan kata lain , belum dewasa yang mencar ilmu di madin tidak akan tega melaksanakan kekerasan atas nama agama dan Tuhan. Jangankan membantai sesama , kalau ada sesama yang wafat saja akan ditahlilkan dan didoakan berkali-kali supaya sejahtera di alam baka , sedangkan terhadap semua keluarga yang ditinggalkan didoakan selalu tabah dan sabar.

Begitulah , generasi yang tumbuh di lingkungan NU ialah insan yang sangat menghargai kehidupan dan memuliakan kematian. Menghargai kehidupan berarti berperilaku sopan santun dan tidak akan tega menyakiti atau membunuh sesama. Sementara memuliakan janjkematian berarti berusaha membantu sesama yang sekarat hingga wafat supaya khusnul khotimah dengan tradisi tahlilan dan yasinan.

Tradisi tahlilan dan yasinan di lingkungan warga NU yang berlangsung di rumah murung atau di atas pusara , yang berlangsung hingga hari keseribu dan kemudian dilanjutkan dengan peringatan tahunan dengan sebutan "khoul" , merupakan formula ampuh untuk membendung gerakan radikalisme atas nama apa pun yang identik dengan kekerasan hingga pembantaian terhadap sesama yang dianggap sesat.

Bagi warga NU , justru kalau ada warga yang dianggap sesat , mereka itu perlu dituntun saat masih hidup hingga sesudah wafat dengan sebaik-baiknya. Ketika masih hidup mereka akan dituntun dengan pengajian-pengajian dan sesudah wafat akan dituntun dan dibantu dengan tahlilan dan yasinan.

Boleh saja orang lain menganggap tradisi tersebut ialah bidah. Akan tetapi , bagi warga NU tradisi itu ialah bid'ah khasanah (hal gres yang baik). Sementara bagi tokoh-tokoh NU , mereka justru sering besar hati dianggap mahir bidah alasannya ialah bidahnya ialah bid'ah khasanah. Misalnya , di sejumlah kawasan , Gus Mus sering berseloroh di depan warga NU dalam acara-acara pengajian umum. "Katanya kita ini mahir bidah , ha-ha-ha." Lantas semuanya ikut tertawa riang.

Semakin populer

Untuk masa sekarang dan mendatang , madin yang mengajarkan tradisi tahlilan dan yasinan yang anti radikalisme semakin populer. Bukan saja di wilayah pedesaan , melainkan juga di wilayah perkotaan. Hal ini logis alasannya ialah banyak orangtua yang berharap anak-anaknya bisa tumbuh jadi insan yang menghargai kehidupan dan memuliakan janjkematian alias tidak terlibat radikalisme.

Yang menarik , tradisi tahlilan dan yasinan , dengan label istigasah , semenjak ada ujian nasional juga makin terkenal di sekolah-sekolah negeri yang notabene bukan madin. Misalnya , semakin banyak sekolah negeri yang menggelar program istigasah yang diwarnai tahlilan dan yasinan menjelang ujian nasional dengan impian supaya semua murid lulus dengan nilai tinggi.

Bahkan , semua makam leluhur menyerupai makam Walisongo dan makam ulama NU semakin ramai dikunjungi peziarah yang terdiri atas belum dewasa sekolah untuk mengisi liburan sehingga semakin memopulerkan tradisi tahlilan dan yasinan. Hal ini tentu menggembirakan semua pihak yang berharap radikalisme tidak berkembang di negeri ini alasannya ialah semakin terkenal tradisi tahlilan dan yasinan akan identik dengan semakin tercampaknya embrio radikalisme.

Begitu pula di kampung-kampung , semakin banyak ibu dan bapak yang menggelar program pertemuan rutin dengan label jamiyah tahlilan dan yasinan dengan biaya swadaya dan suka rela , yang tujuannya untuk menghargai kehidupan dan memuliakan kematian. Dalam hal ini , hidup tenang terkesan mengemuka dalam kesederhanaan yang otomatis akan menangkal radikalisme.

Selain itu , tradisi tahlilan dan yasinan juga terbukti bisa menghapus sikap dan sikap egoisme di lingkungan masyarakat luas. Selama di lingkungan perkampungan masih ada tradisi jamiyah tahlilan dan yasinan , maka warganya akan relatif saling mengenal dengan baik sehingga kekerabatan antartetangga sudah tidak absurd lagi.  Hal ini sangat aktual bagi pembangunan bangsa supaya semakin beradab dalam arti luas.

Kurang maju

Jika sekarang muncul kecemasan bahwa generasi muda di negeri ini menjadi sasaran perekrutan kelompok radikal , respons termudah bagi orangtua ialah menyekolahkan anak-anaknya di madin. Sementara itu , respons terpenting bagi pemerintah ialah menunjukkan santunan kepada semua madin supaya lebih maju dalam arti luas. Terkait hal ini , sekolah-sekolah negeri perlu juga mengajar muridnya menghargai kehidupan dan memuliakan kematian.

Harus diakui , banyak madin yang layak dianggap kurang maju. Misalnya , honor guru madin yang jauh lebih kecil dibandingkan honor guru negeri yang bersertifikasi. Bahkan , masih banyak guru madin yang tidak mendapatkan honor dan tunjangan. Oleh alasannya ialah itu , kesenjangan penghasilan guru seharusnya segera diperhatikan pemerintah. Dalam hal ini , pemerintah perlu mengalokasikan anggaran memadai untuk meningkatkan kualitas pendidikan di madin supaya semakin maju atau sejajar dengan sekolah negeri.

Keterlaluan kalau pemerintah hingga membiarkan madin bercitra kurang maju , mengingat kontribusinya terhadap deradikalisme sudah jelas-jelas tak terbantahkan. Sementara deradikalisme sama dengan upaya menjaga integritas dan integrasi bangsa sesuai spirit mempertahankan keutuhan NKRI.

Asmadji As Muchtar; Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo , Jawa Tengah

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sekolah Nu"

Total Pageviews