Budiawan
Barangkali hanya di Indonesia setiap dosen wajib memikul tiga kiprah sekaligus , yakni mengajar , meneliti , dan melaksanakan kegiatan dedikasi kepada masyarakat. Tiga kiprah yang dirumuskan dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi ini wajib dijadikan napas setiap perguruan tinggi tinggi (PT) , baik negeri maupun swasta. Kinerja seorang dosen dan reputasi sebuah PT pun diukur dari seberapa jauh ketiga dharma ini dilaksanakan secara konsisten , terintegrasi , dan proporsional.
Bagi seorang dosen , tidak ada yang salah dengan konsep Tri Dharma PT. Sebagai pengajar , bagaimanapun , kiprah pertamanya yakni mengajar. Dalam dharma inilah ia mendampingi mahasiswa dalam proses menjadi individu yang bukan hanya berkecakapan , sekaligus juga berwawasan dan berintegritas. Agar ilmu yang ia ajarkan senantiasa terbarui dan semakin kaya , maka melaksanakan penelitian pun menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Kemudian semoga apa yang ia teliti dan ajarkan di hadapan mahasiswa itu juga terlihat manfaat praktisnya bagi masyarakat luas , maka kegiatan dedikasi kepada masyarakat menjadi dharma yang bukan hanya tak dapat dikesampingkan , juga bentuk pertanggungjawaban etika kepada salah satu pemangku kepentingan utama forum PT.
Persoalannya , dalam kondisi di mana PT yang kian terindustrialisasikan , apakah seorang dosen dimungkinkan menjalankan tiga dharma itu secara semestinya? Yang saya maksud dengan PT yang kian terindustrialisasikan yakni pengelolaan PT yang semakin digerakkan kebijaksanaan bisnis , yakni "cost and benefit analysis" secara finansial. Artinya , meski PT tak boleh menjadi forum yang berorientasi mencari keuntungan , tetapi mendapat keuntungan materiil bukanlah hal yang dilarang.
Hal itu bukan hanya berlaku bagi PT swasta , yang pendanaannya memang hampir 100 persen bergantung pada uang dari mahasiswa , juga bagi PT negeri. Sebagaimana diketahui , seiring arus liberalisasi dunia pendidikan tinggi , sebagian Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia ada yang telah terlebih dahulu ter-"semiswasta"-kan , dan disusul banyak Perguruan Tinggi Negeri lain dalam beberapa tahun belakangan ini. Artinya , jumlah Perguruan Tinggi Negeri murni , dalam arti yang pendanaan untuk segala jenis biaya rutin operasional dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikannya sepenuhnya bergantung kepada pemerintah , pun kian berkurang.
Digerakkan kebijaksanaan bisnis
Salah satu wujud kasatmata dari pengelolaan PT yang digerakkan kebijaksanaan bisnis yakni kebijakan pembukaan atau penutupan suatu aktivitas studi. Berbeda daripada negara-negara yang kebijakan resmi pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi kebutuhan jangka sekian puluh tahun ke depan , kebijakan pembukaan dan penutupan suatu aktivitas studi yang terjadi di sebagian besar PT di Indonesia , baik negeri maupun/apalagi swasta , bergantung pada situasi pasar tenaga kerja.
Maksudnya , jikalau pasar tenaga kerja tengah terjadi undangan yang tinggi akan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan tertentu , maka PT pun berlomba membuka aktivitas studi dengan keilmuan-keilmuan itu. Sebaliknya , jikalau undangan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan yang lain merosot , maka program-program studi dengan keilmuan-keilmuan itu pun cenderung ditutup , atau di-merger-kan dengan aktivitas studi lain yang secara formal dianggap berdekatan. Dengan kata lain , suatu aktivitas studi dibuka dan dimekarkan , atau ditutup/merger nyaris semata-mata bergantung kepada laku-tidaknya aktivitas studi tersebut. Hampir-hampir tidak ada pertimbangan strategis keilmuan sekian puluh tahun ke depan.
Apa konsekuensinya bagi dosen jikalau PT dikelola dengan kebijaksanaan bisnis dan mentalitas "aji mumpung" itu? Di sinilah konsep mulia Tri Dharma PT menjadi sesuatu yang nyaris tak mungkin dilaksanakan dengan semestinya.
Satu hal yang hampir selalu terjadi pada program-program studi yang tengah laris keras yakni tidak memadainya perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya , banyak dosen yang beban mengajarnya serta jumlah bimbingan penulisan kiprah ilmiahnya makin tak masuk akal. Bisa dibayangkan jikalau seorang dosen harus mengampu 7-9 mata kuliah per semester dalam belasan kelas paralel , plus jumlah bimbingan penulisan kiprah ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) yang mencapai puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melaksanakan penelitian dengan semestinya?
Jangankan penelitian , mengajar dengan semestinya pun belum tentu sanggup. Mengajar pun menjadi mekanistis , tak ubahnya putar ulang bahan yang telah ia susun sekian tahun sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah bimbingannya pun jelas tak mungkin dapat cermat dan mendalam. Kegiatan dedikasi kepada masyarakat mungkin masih mampu ia lakukan , tetapi barangkali hanya formalitas sekaligus tak lebih dari sekadar variasi dari rutinitas kegiatan di kampus.
Artinya , Tri Dharma PT memang dapat berjalan , tetapi tak lebih dari formalitas belaka. Ini bukan alasannya para dosen enggan melaksanakannya , tetapi lebih alasannya jawaban kondisi struktural PT yang semakin digerakkan kebijaksanaan bisnis.
Hal-hal yang ideal sering sulit diwujudkan bukan alasannya hal- hal itu terlalu ideal , tetapi lebih alasannya kondisi yang ada tidak mendukung untuk mewujudkannya. Akibatnya , yang terjadi tak lebih formalitas belaka.
Solusinya ada dua pilihan: tuntutan yang ideal itu disederhanakan , atau kondisi riil yang ada dibentuk aman bagi terwujudnya tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua hanya mungkin jikalau kebijakan yang cenderung melepas PT ke dalam prosedur pasar direm , dan pemerintah kembali menjadi penanggungjawab utama penyelenggaraan PT.
Yang terjadi kini ini yakni pemerintah menempatkan diri sebagai regulator segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi , sembari mengurangi tanggung jawabnya. Tidaklah mengherankan jikalau banyak edaran atau surat keputusan atau arahan pejabat tinggi dari kementerian yang mengurusi duduk perkara pendidikan tinggi mentah dalam pelaksanaan di lapangan. Terlalu banyak misalnya untuk disebutkan di sini.
Budiawan; Dosen Kajian Budaya dan Media , Sekolah Pascasarjana UGM
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sekolah Tinggi Tinggi Kian Terindustrialisasi"