Bahrul Ilmi Yakup
Churchill Mining PLc dan Planet Mining Pty Ltd sedang menuntut kompensasi berjumlah lebih dari 1 miliar dollar AS atau setara Rp 1 ,3 triliun terhadap Pemerintah Indonesia. Mereka mengajukan tuntutan melalui tubuh arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes terkait dengan tindakan Pemerintah Indonesia yang mencabut izin pertambangan.
Saat ini , kasus tersebut menjelang putusan final yang menciptakan Pemerintah Indonesia patut merasa cemas. Sebab dalam putusan pendahuluan , Majelis Arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) mengalahkan Indonesia dalam soal yurisdiksi ICSID.
Ancaman serupa pernah pula muncul dari perusahaan internasional lain yang beroperasi di Indonesia. Di antaranya ialah pertambangan Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan Freeport Indonesia (FI) terkait pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 ihwal Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang mewajibkan perusahaan pertambangan membangun smelter , yang berujung dengan pembebanan biaya embel-embel terhadap ekspor materi hasil tambang.
FI dan NNT berkeberatan dengan kewajiban tersebut , sehingga mengancam akan membawa masalah tersebut ke tubuh arbitrase internasional , menurut ketentuan perjanjian investasi bilateral (PIB). Belakangan keduanya membatalkan bahaya tersebut sesudah pemerintah menganulir kewajibannya. Apakah setiap ketika Indonesia harus mengambil keputusan demikian?
Terperangkap perjanjian
Tak pelak , rangkaian bahaya tersebut membuat Pemerintah Indonesia terperanjat. Pemerintah gres menyadari bahwa Indonesia telah masuk dalam perangkap PIB atau bilateral investment treaty (BIT) yang telah ditandatanganinya dengan beberapa negara asing.
Selama ini pemerintah alfa menelisik bahwa PIB telah menggerogoti kedaulatan negara. Tanpa sadar , sesungguhnya pemerintah telah menggadaikan kedaulatan negara secara obral kepada asing.
Padahal , kedaulatan itulah yang telah diperjuangkan segenap rakyat Indonesia dengan mengorbankan nyawa dan harta benda guna meraih kemerdekaan. Kedaulatan negara yang oleh Soekarno dikemas dalam semboyan Trisakti , yaitu berdaulat secara politik , mandiri secara ekonomi , dan berkepribadian secara sosial budaya , tersublimasi ketentuan PIB yang menindas kepentingan rakyat.
Secara historis , PIB sebetulnya bukan merupakan instrumen aturan gres dalam bidang ekonomi internasional. PIB pertama kali dibentuk antara Jerman (Barat) dan Pakistan tahun 1959 , kemudian disusul negara-negara lain. Jumlah PIB kian meroket sesudah runtuhnya Uni Soviet: mengakibatkan pada final 2007 PIB telah mencapai jumlah 2.608 yang mengikat aneka macam negara (World Investment Report , 2008).
PIB bahwasanya merupakan sarana aturan yang lazim dipakai untuk menarik dan mengatur investasi antara negara pemberi (home state) dengan negara peserta (host state). Oleh alasannya itu , secara umum PIB mengatur soal penerimaan investasi , perlakuan , pertolongan , pengambilalihan , perpajakan , masa peralihan (sunset clause) , dan lembaga penyelesaian sengketa yang menyangkut investasi yang seharusnya baik untuk semua pihak.
PIB protektif
Sebagai instrumen aturan , sebetulnya PIB merupakan suatu bentuk perjanjian yang konstruktif dan protektif yang sejatinya bisa mengatur dan melindungi kepentingan negara pemberi berikut negara peserta investasi secara fair and equitable , asalkan PIB disusun secara baik sesuai standar penyusunan perjanjian (agreement drafting) , yaitu lengkap , obyektif , terperinci , dan prediktif.
Persoalannya adakah 67 PIB yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia , telah disusun secara serius dengan memenuhi standar agreement drafting yang baik? Itulah yang dialami Indonesia ketika ini. Pemerintah Indonesia gres sadar telah terperangkap dalam PIB yang telah ditandatanganinya.
Oleh alasannya itu , semenjak Maret 2014 Indonesia telah berupaya mengkaji ulang 67 PIB yang ada , bahkan muncul wacana bahwa Indonesia akan mengakhiri PIB dengan Belanda mulai 1 Juli 2015. Wacana tersebut telah memperoleh pembahasan bermacam-macam dan meluas dari aneka macam negara investor di aneka macam fora.
Pemerintah yang diwakili Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah pula berupaya mengakibatkan UU No 25/2007 ihwal Investasi sebagai rujukan dalam upaya merevisi PIB yang fokus pada 6 gosip PIB , yaitu definisi investasi , perusahaan mailbox (virtual address) , perlakuan yang adil dan berimbang (fair and equitable treatment) , ketentuan pengakhiran (sunset clause) , mekanisme perpanjangan dan penghentian , serta prosedur ihwal penyelesaian sengketa.
Kaji ulang obyektif
Kehendak pemerintah mendesakkan UU No 25/2007 sebagai rujukan dalam mengkaji ulang PIB perlu dikaji ulang secara baik dan obyektif , semoga tidak mempermalukan pemerintah dalam lembaga negosiasi. Sebab , sedari awal home state atau investor memang telah mengenyampingkan perubahan UU sebagai faktor pengubah ketentuan PIB , yang umumnya diatur dalam stabilization clause.
Sebaiknya pemerintah berguru dari pengalaman pahit ketika mendesakkan pemberlakuan UU No 4/2009 ihwal Minerba khususnya soal kewajiban membangun smelter kepada FI dan NNT , yang berakhir sia-sia. Sebab , ternyata pada hasilnya FI dan NNT tetap melenggang melaksanakan ekspor materi mentah tanpa harus membangun smelter yang diwajibkan UU Minerba.
Upaya mengkaji ulang PIB sanggup ditempuh dengan mengadopsi metode perubahan ketentuan ihwal prosedur penyelesaian sengketa yang diperkenalkan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) , yang mencakup empat cara , yaitu mempertahankan status quo , mengingkari kesepakatan (disengagement) , melaksanakan adaptasi terbatas (selective adjustments) , dan reformasi sistematis (systematic reform) (World Investment Report , 2014).
Namun , apabila diteliti secara mendalam , metode perubahan perjanjian yang diperkenalkan UNCTAD tetap bertolak dari dua standing. Pertama , bertolak dari ketentuan PIB , kedua , tetap menghadapkan home state dengan host state secara viz a viz. Padahal , pada kedua hal tersebut , posisi host state selalu lebih lemah yang hampir niscaya akan gagal mendesakkan perubahan PIB semoga menjadi lebih fair and equitable.
Strategi alternatif
Upaya merevisi PIB sanggup menempuh taktik alternatif lain , yaitu dengan cara keluar dari sistematika dan prosedur PIB. Strategi alternatif sanggup ditempuh dengan beranjak dari konvenan ihwal hak asasi insan yang mencakup the United Nations Universal Declaration on Human Rights (UNDHAM) , The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) , the International Covenant on Economic , Social and Cultural Rights (ICESCR) , kepercayaan hak asasi insan , serta konvensi ihwal Sustainable Development Goals (SDGs) yang mulai berlaku pada 2015 ini.
Dengan bertolak dari kovenan dan kepercayaan tersebut , pemerintah sanggup meminta komponen masyarakat sipil untuk menjadi pihak inisiator yang berperan dalam mendesakkan perubahan dan mengkaji ulang terhadap PIB semoga menjadi lebih fair and equitable bagi semua pihak.
Bahrul Ilmi Yakup; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Perangkap Perjanjian Investasi"