Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Jejak Penerimaan Pajak

Irwan Wisanggeni

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan , penerimaan pajak per 30 April 2015 mencapai Rp 310 triliun. Target penerimaan pajak yang dipatok sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yaitu sebesar Rp 1.294 triliun. Dengan demikian , realisasi penerimaan pajak sampai 30 April mencapai 23 ,96 persen. Dibandingkan periode sama tahun 2014 , realisasi penerimaan pajak 2015 mengalami pertumbuhan di sektor tertentu , sebaliknya mengalami penurunan di sektor lainnya.

Pertumbuhan antara lain terjadi pada Pajak Penghasilan (PPh) Final , yaitu 21 ,23 persen atau sebesar Rp 30 ,34 triliun. Hal ini tak terlepas dari keberhasilan kebijakan pengenaan pajak atas penghasilan dari perjuangan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang mempunyai perjuangan peredaran (omzet)  di bawah Rp 4 ,8 miliar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Sedangkan sektor pajak yang mengalami penurunan , antara lain sektor Pajak Penghasilan Impor , yakni 12 ,35 persen atau sebesar Rp 1 ,786 triliun dibandingkan periode sama 2014 sebesar Rp 1 ,917 triliun. Untuk Pajak Penghasilan Pasal 22 secara keseluruhan terjadi penurunan pertumbuhan 6 ,87 persen atau sebesar Rp 13 ,826 triliun , dari periode sama 2014 sebesar Rp 15 ,733 triliun.

Pelambatan ekonomi di kuartal pertama 2015 yang ditandai dengan melemahnya kurs mata uang dan penurunan impor Indonesia dari awal tahun sampai final April 2015 berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan PPh Pasal 22 Impor. Contoh-contoh tersebut hanya sebagian dari beberapa penurunan penerimaan pajak yang terjadi di tahun 2015.

Saat ini kondisi perekonomian memang tidak secerah yang diperlukan , antara lain akhir melemahnya nilai tukar rupiah dan peningkatan signifikan biaya tambang bawah tanah untuk mempertahankan tingkat produksi sampai berakhirnya masa tambang terbuka pada 2017.

Langkah-langkah Direktorat Jenderal Pajak untuk terus memperbaiki pelayanan pajak ke masyarakat perlu didukung. Melalui kegiatan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 , seluruh wajib pajak diimbau biar membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajaknya sampai lima tahun terakhir atas kemauan sendiri , dengan insentif pembebasan hukuman administrasi.

Direktorat Jenderal Pajak juga terus melaksanakan pengembangan kapasitas organisasi melalui penguatan sumber daya insan , penguatan teknologi informasi , penguatan organisasi , penguatan anggaran , dan penguatan proses bisnis. Pemanfaatan data perpajakan dari pihak ketiga juga lebih dioptimalkan untuk memperbaiki prosedur pengawasan wajib pajak. Sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak turun ke lapangan untuk mencari wajib pajak gres dan memperlihatkan fasilitas kepada wajib pajak yang sudah membayar pajak.

Ramah bisnis

Pemerintah perlu memperlihatkan penghargaan kepada para pembayar pajak yang baik , minimal namanya dijadikan harum sehingga menjadi pola dalam membayar pajak. Dalam kajian wacana Olimpiade Pajak Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) tahun 2015 , PDBI mengusulkan kepada pemerintah untuk menghidupkan tradisi faktual Orde Baru yang pada periode 1988-1998 selama 11 kali memperlihatkan penghargaan kepada 75 ,150 dan 200 pembayar pajak terbesar.

Nama mirip   Bambang Trihatmodjo dan Tommy Soeharto tak sungkan masuk sebagai nomor delapan dan nomor sepuluh dalam daftar pembayar pajak terbesar 1996 yang diumumkan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad didampingi Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawazier pada 13 Februari 1998.

Tujuan mengumumkan daftar pembayar pajak ini yaitu untuk menstimulus pemerintah dan masyarakat biar kembali menghargai meritokrasi. Selain itu , menciptakan konglomerat menjadi risih dan aib kalau peringkatnya berada di bawah kawan dan kolega bisnisnya , sehingga mereka akan tergerak untuk berlomba-lomba membayar pajak dengan  baik.

Pada masa Reformasi tak terdengar lagi tradisi mirip itu.

Selain itu pemerintah juga perlu melaksanakan kajian terhadap kebijakan perpajakan yang ditetapkan alasannya yaitu kadangkala kebijakan perpajakan kurang dekat terhadap para pelaku perjuangan (business friendly).

Misalnya , Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) No 19/PJ/2015 wacana Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) atas penjualan barang yang tergolong sangat glamor yang dikenakan tarif 5 persen dari harga dasar.

Dalam Pasal 2 PER Nomor 19/PJ/2015 tersebut  penentuan harga dasar untuk perhitungan pajak yaitu menurut harga tunai atau cash keras , termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).

Bedanya dengan peraturan yang sebelumnya berlaku yaitu , pada peraturan sebelumnya harga dasarnya yaitu jumlah yang dibayarkan pembeli kepada penjual tidak termasuk PPN dan PPnBM. Bukankah PER 19/PJ/2015 menimbulkan nilai yang tinggi terhadap dasar perhitungan pajak barang sangat mewah? Peraturan ini sanggup saja akan memperlesu perekonomian khususnya kepada sektor bisnis rumah , apartemen , kondominium yang harga jualnya di atas Rp 5 miliar atau luas bangunannya lebih dari 150 meter persegi.

Padahal , kalau sektor properti berjalan manis pemerintah mendapat PPh Final atas penjualan tanah dan bangunan sebesar 5 persen  dari harga jual (ditanggung penjual) , selain juga memperoleh pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan  (BPHTB) sebesar 5 persen dari harga jual (ditanggung pembeli). Dua pajak tersebut merupakan pemasukan negara yang sangat signifikan.

Perlu terus dikaji ulang semua kebijakan yang memperlambat dunia perjuangan , dan menciptakan kebijakan yang dekat dengan dunia perjuangan sehingga sanggup merangsang perekonomian secara makro. Dan , yang terpenting , masyarakat  dapat membayar pajak tanpa terbebani , mirip kata pepatah Belanda yang berbunyi; "Pajak itu menyerupai seni , mirip mencabut bulu bebek , tetapi tak menciptakan angsanya berteriak dan merasa sakit."

Irwan Wisanggeni; Dosen Trisakti School of Management

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jejak Penerimaan Pajak"

Total Pageviews