Franz Magnis-Suseno
Pidato Soekarno muda pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu salah satu pidato politik paling penting di kala ke-20. Bukan hanya sebab isinya cemerlang. Pidato itu meletakkan dasar persatuan bagi Indonesia yang meski dengan segala macam pengalaman gelap dan kegagalan , merupakan salah satu dongeng keberhasilan (success story) terbesar di antara negara-negara dunia dalam 70 tahun terakhir. Bayangkan saja akhir global andai kata negara terbesar kelima di dunia ini kacau betul. Namun , Indonesia-masih-mantap. Karena itu , sudah sepatutnya bahwa pidato historis itu diingatkan kembali dalam sekian renungan.
Tulisan ini mau mengangkat dua unsur hakiki di dalamnya: kebangsaan Indonesia dan Pancasila itu sendiri.
Kebangsaan
Dalam pidatonya , Soekarno mengingatkan sesuatu yang merupakan kunci untuk mengerti mengapa Indonesia masih berdiri kokoh. Yaitu bahwa kebangsaan Indonesia berwujud perasaan kebersamaan yang lahir dari pengalaman sejarah bersama. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan alami , ibarat kebangsaan Korea atau Jerman , yang menurut kesatuan etnik dan bahasa. Kebangsaan alami semacam itu memang besar lengan berkuasa , tetapi rawan menjadi syovinistik dan agresif.
Kebangsaan Indonesia , sebaliknya , merupakan kebangsaan etis: Artinya , perasaan kebersamaan menurut impian etis luhur yang dimiliki bersama. Pengalaman bersama akan ketertindasan dan keterhinaan sebab keadaan terjajah melahirkan solidaritas bangsa melampaui perbedaan suku , etnik , dan agama. Kesadaran kebersamaan itu semakin menguat dalam usaha bersama untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan bagi seluruh rakyat.
Namun , kebangsaan Indonesia ada segi yang khas. Di tidak sedikit negara bekas jajahan , rasa kebangsaan perlu dipompa dari atas ke dalam masyarakat oleh elite politik , ya elite yang mendapatkan kekuasaan dari penjajah , setelah negara itu mendapatkan kemerdekaan. Tak jarang lantas inti kebangsaan itu yaitu , sebetulnya , nafsu dominasi suatu mayoritas. Dengan akhir bahwa minoritas-minoritas sulit beridentifikasi dengannya. Di sekian banyak negara , situasi ini bahkan melahirkan perang saudara berkelanjutan.
Namun , di Indonesia kebangsaan sudah positif 17 tahun sebelum kelahiran negara. Sumpah Pemuda 1928 menandakan bahwa perasaan "kami ini bangsa Indonesia" sudah betul-betul merasuk ke hati rakyat Indonesia.
Kekuatan rasa kebangsaan itu menandakan diri tahun 1998. Omongan setelah runtuhnya Orde Baru perihal ancaman disintegrasi-mirip Uni Soviet dan Yugoslavia-tidak pernah punya dasar positif (dengan kekecualian dua provinsi di ujung barat dan timur Indonesia yang memang sudah usang membawa masalah). Memang , kita kemudian mengalami banyak (terlalu banyak!) konflik , tetapi konflik-konflik itu biasanya dengan tetangga dan bukan dengan Indonesia.
Kekuatan kesadaran kebangsaan kelihatan dari kenyataan bahwa mainstream agama-agama di Indonesia kokoh nasionalis. Berhadapan dengan radikalisme agama yang meremehkan kebangsaan dan semakin juga segala rasa kemanusiaan , kenyataan itu merupakan modal sosial amat penting bagi masa depan Indonesia. Lihat saja Muhammadiyah , Sarekat Islam , Nahdlatul Ulama , tetapi juga contohnya Perkumpulan Nasrani , mereka semua terbentuk dalam dinamika kebangkitan nasional. Mereka dengan sendirinya sekaligus agamis dan Indonesia.
Pancasila
Akan tetapi , rasa kebangsaan hanya akan sanggup dipertahankan jika satu syarat dipenuhi. Yaitu bahwa kita bersedia saling mendapatkan dan saling mengakui dalam kekhasan kita masing-masing.
Indonesia hanya sanggup tetap besar lengan berkuasa apabila saudara sebangsa yang Muslim tidak perlu kurang Muslim , yang Nasrani tidak perlu kurang Nasrani , yang Toraja tidak kurang Toraja , dan penganut Kejawen tidak perlu menyembunyikan penghayatannya sebab mereka semua bangsa Indonesia.
Kesediaan untuk saling mendapatkan dalam perbedaan itulah merupakan akad inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Di sini izinkan sebuah catatan. "Pemerasan Pancasila" oleh Soekarno menjadi "Ekasila" , yaitu "gotong royong" , disalahpahami seolah-olah "gotong royong" sudah cukup , kemudian tak perlu selalu menyebut lima sila.
Kiranya yang dimaksud Soekarno yaitu yang kebalikan: "Gotong royong" atau kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia sanggup justru menjadi positif sebab kita menunjukkan akad kepada lima sila Pancasila.
Akan tetapi , Pancasila kini dalam bahaya.
Kalau Ketuhanan Yang Maha Esa dikebiri berlaku hanya bagi "enam agama yang diakui"-Pancasila tidak mengenal "agama yang diakui"-dan yang berkeyakinan lain oleh negara dibiarkan diganggu , diuber-uber , dan bahkan dibunuh , jika kampanye politik memanfaatkan perbedaan antara "penduduk asli" dan "pendatang" , jika orang sebab beribadat berbeda dicap "ajaran sesat" , roh Pancasila dilanggar keras dan kesatuan Indonesia terancam.
Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut semoga kita menghormati keyakinan religius segenap tumpah darah Indonesia , entah kita sendiri baiklah dengan keyakinan itu atau tidak. Dalam hal keyakinan berhadapan dengan Yang Mutlak tak ada mayoritas-minoritas. Dan , negara wajib melindungi semua.
Aktualitas Pancasila
Pertimbangan ini sudah menunjukkan bahwa Pancasila hanya akan menjalankan fungsinya jika kita tidak memperlakukannya sebagai pusaka kuno yang disimpan dalam lemari. Aktualitas Pancasila tampak begitu kita menghadapkannya terhadap tantangan-tantangan yang dialami bangsa Indonesia sekarang. Kita harus konsisten.
Kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab , tetapi kita dikelilingi oleh kekerasan , ancaman , kebrutalan , intoleransi , oleh kesombongan yang mau memaksakan kepada saudaranya bagaimana ia harus berketuhanan dan bagaimana tidak. Tekad untuk selalu membawa diri secara beradab mesti merasuk ke dalam keyakinan , hati , dan perasaan kita.
Kita sudah memasukkan hak-hak asasi insan ke dalam undang-undang dasar supaya harkat kemanusiaan kita semua terlindung dalam hidup bersama kita , tetapi kita masih mengizinkan hak-hak kemanusiaan paling dasar dilanggar.
Sila tengah , Persatuan Indonesia , semakin terancam oleh ekstremisme keagamaan di satu pihak dan di lain pihak oleh hedonisme konsumeristik yang mendesak ke samping solidaritas dan rasa keadilan serta melupakan akad pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita telah membangun demokrasi setelah 39 tahun pemerintahan sewenang-wenang , tetapi kini kelas politik yang menguasainya semakin dipersepsi sebagai sebuah elite feodal yang , ibarat dulu , melayani diri dari milik bangsa dan hasil keringat rakyat.
Pancasila sebagaimana dicetuskan 70 tahun kemudian oleh Soekarno yaitu suatu masterpiece , tetapi masterpiece itu hanya sanggup mempersatukan bangsa Indonesia jika kita memberi akad tanpa ragu kepada tuntutan-tuntutannya.
Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Merayakan 70 Tahun Pancasila"