Kartono Mohamad
Engeline yang diduga berpengaruh dibunuh orang terdekatnya di Bali yaitu dongeng seorang anak yang tidak dikehendaki. Unwanted child. Bahkan mungkin semenjak ia dikonsepsi.
Mungkin orangtua biologis Engeline sebetulnya tidak ingin memiliki anak lagi , tetapi tidak tahu bagaimana cara mencegahnya. Mungkin tidak ada yang memberi tahu untuk memakai kontrasepsi , atau bahkan orang sekitarnya menabukan penggunaan kontrasepsi.
Ke mana petugas kesehatan atau keluarga berencana? Pemerintah memang sudah usang tidak hadir di tengah orang miskin. Bahkan selama 10 tahun pemerintahan SBY , jadwal KB nyaris tidak disentuh. Maka , saat sudah lahir , mereka tinggalkan Engeline di rumah sakit alasannya tidak bisa membayar biaya kelahiran Engeline.
Padahal , keadaan tidak bisa itu mungkin terjadi semenjak sebelum Engeline dikonsepsi , dan kehadiran janin Engeline dianggap semacam "kecelakaan" atau "takdir". Kehadiran Engeline dari semula tidak dikehendaki bahkan oleh orangtua kandungnya.
Kemudian rumah sakit menahan Engeline hanya alasannya alasan belum dibayar. Bukan alasannya sayang kepada Engeline , apalagi berkehendak untuk mengasuhnya. Mirip seorang penculik yang menyandera seseorang untuk meminta uang tebusan. Bedanya , jikalau penculik terkena hukuman aturan , sikap rumah sakit menyerupai itu dianggap masuk akal dan bebas dari tuntutan.
Karena tidak ada tebusan dan juga tidak ingin mengasuh Engeline , maka Engeline pun "dijual" kepada siapa pun yang bersedia membayar. Bagi rumah sakit yang penting uang. Soal nasib bayi itu kemudian bukan urusan mereka. Uang memang sanggup menciptakan rasa tenggang rasa kepada sesama jadi hilang.
Tidak ada ketentuan
Rumah sakit tidak menghubungi dinas sosial alasannya tidak ada ketentuannya , atau alasannya tahu bahwa dari dinas sosial mereka mungkin tidak akan memperoleh uang tebusan. Sebagai penyandera tujuannya memang hanya mencari uang tebusan.
Tidak perlu memikirkan bagaimana nasib Engeline sebagai anak manusia. Bahkan Engeline mungkin hanya dianggap sebagai komoditas biasa. Sebaliknya dinas sosial atau dinas yang berwenang melindungi anak tidak bertindak proaktif alasannya tidak ada SOP dan berdalih tidak ada dana. Kembali pemerintah tidak hadir bagi belum dewasa yang tidak dikehendaki menyerupai Engeline.
Termasuk saat terjadi proses adopsi Engeline. Di negara lain , termasuk Malaysia , seseorang yang ingin mengadopsi anak harus melalui semacam skrining bahwa keluarga itu akan bisa mengasuh dan membesarkan anak secara sungguh-sungguh , bukan hanya secara ekonomi , tetapi juga psikologis , serta dikukuhkan melalui putusan pengadilan.
Engeline kemudian ternyata juga tidak dikehendaki oleh keluarga yang "membelinya". Ia mengalami kekerasan fisik dan psikologis alasannya keluarga itu tidak lagi melihat Engeline sebagai komoditas yang sesuai dengan keinginannya. Bahkan guru yang melihat ada gejala kekerasan pada Engeline tidak mencoba mendekati orangtua angkatnya atau pejabat yang berwenang melindungi anak.
Mungkin alasannya berpikir bahwa kiprah guru hanyalah mengajar di sekolah. Atau kembali alasannya tidak ada SOP dan anggaran untuk memperhatikan hal-hal di luar kewajiban yang ditetapkan dalam kurikulum. Sekali lagi , pemerintah tidak hadir untuk melindungi anak.
Engeline hanyalah satu dari sekian banyak anak yang kehadirannya tidak diinginkan. Yang lain ada yang bernasib dibuang di daerah sampah , atau selokan , begitu dilahirkan. Atau digugurkan saat belum lahir. Bukan hanya orangtua kandungnya yang tidak menginginkan kehadiran mereka , tetapi juga masyarakat , termasuk LSM dan pemerintah.
Kartono Mohamad; Mantan Ketua PB IDI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Anak Yang Tak Dikehendaki"