Yenny Wahid
Dari pelosok yang jauh , para kepala desa dan perangkatnya pada Rabu (27/5) tiba ke Istana meminta atensi Presiden Joko Widodo perihal Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ihwal Pelaksanaan UU No 6/2014 ihwal Desa.
Mereka yang digaris depan pembuktian bahwa negara ada dengan melayani dominan rakyat Indonesia di hampir 80.000 desa itu berpandangan bahwa PP No 43/2014 telah mengecewakan dan meresahkan.
Peraturan pemerintah-produk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang pelaksanaannya dimulai pada masa Jokowi-itu menghilangkan jalan masuk kepala desa pada hak asal-usul desa , yaitu aset yang lazim disebut tanah bengkok. Kelolaannya dimasukkan ke dalam sketsa anggaran pendapatan dan belanja (APB) desa. Akibatnya , pendapatan dan derma perangkat desa maupun biaya operasional pemerintahan desa , tubuh permusyawaratan desa hingga RT serta RW berkurang dalam jumlah signifikan.
Sebelumnya , tanah bengkok memang dikelola berdikari dengan "diskresi" kepala desa dan perangkat desa. Kelaziman ini bersumber kepada hak asal-usul kelokalan dan hak tradisional desa , hak yang diakui eksistensinya dalam UU No 6/2014.
Kemudian di desa sekarang hadir pengarusutamaan prinsip-prinsip good governance. Patut diingat paradigma tata kelola gres yang baik itu mensyaratkan pula penghargaan dan legalisasi atas hak-hak tradisional asal-usul budaya masyarakat lokal dan heterogenitas.
Dua hal perlu dicatat terkait berlakunya PP tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan berbangsa serta bernegara. Pertama , fenomena penetrasi Jakarta yang menembus hingga komunitas paling bawah dengan penunggalan dan penyeragaman kebijakan mengatakan masih sentralistiknya pemerintahan nasional. Fenomena semacam ini bukan saja menghambat pertumbuhan kemampuan kreasi lokal , tetapi sekaligus mematikan daya bisa lokal dalam membuatkan karakteristik kelokalan pada semua dimensi kehidupan. Juga sanggup menjadikan perlakuan yang dirasakan tidak adil bagi pemerintahan dan masyarakat lokal.
Memberlakukan sistem "satu ukuran cocok untuk semua" yang generik dengan menafikan kebutuhan lokal yang sangat plural terperinci hanya akan menjadikan permasalahan-permasalahan baru. Kita tentu masih ingat akan kegagalan pemerintah dalam membangun relasi yang sehat dengan masyarakat Timor Timur , yang berujung pada proses pemisahan diri dari NKRI.
Jenderal Kiki Syahnakri yang usang bertugas di sana menegaskan bahwa salah satu penyebab kegagalan tersebut yaitu kebijakan Pemerintah Indonesia yang ahistoris , dengan menghapus struktur pemerintahan adat-mulai dari Regulado (raja besar) hingga tingkat paling bawah , Uma Fukun-yang telah eksis selama beratus tahun. Struktur itu kemudian diganti dengan sistem yang telah seragam ada di segenap penjuru Tanah Air: RT , RW , kelurahan , dan lain sebagainya.
Suprastruktur dan infrastruktur politik lokal yang teralienasi dari budaya lokal tersebut , ditambah dengan resistensi dari para tokoh lokal , melahirkan kepemimpinan politik yang lemah dan tidak efektif.
Kedua , dalam langgam ilmu kepemimpinan yang efektif , sebuah kebijakan akan lebih gampang diterima apabila dilakukan secara gradual dengan mengindahkan norma kearifan lokal dari para akseptor kebijakan. Mengintrodusir sebuah sistem gres tanpa melaksanakan proses obrolan untuk mengawalnya , mempunyai risiko ditolaknya sistem gres tersebut , apalagi kebijakan yang berdampak pribadi kepada hilangnya atau berkurangnya secara drastis livelihood (mata pencaharian) dari para akseptor kebijakan.
Acap kali inspirasi dan nilai gres yang ditransfer dari pusat kekuasaan pemerintah kemudian dirasakan sebagai intervensi terhadap banyak sekali dimensi kehidupan yang sah di daerah-daerah. Lantas digantikan dengan nilai-nilai gres yang bersifat seragam. Jakarta bagai masinis kereta , sekali tekan tombol semua pintu gerbong dari Aceh hingga Papua kontan tertutup. Penyeragaman tanpa ruang yang cukup bagi perkembangan ciri dan sifat khas kawasan dan desa ini tak lain yaitu bentuk dari peluluhlantakan sendi-sendi loyalitas tradisional dan pengingkaran pluralitas budaya bangsa Indonesia.
Pemerintahan lokal yang modern demokratis sejatinya penting menimbang aspek sosial dan heterogenitas kultural. Tuntutan yang berbasis warta dan nilai kultural marak menggejala dari seantero negeri. Mengabaikan budaya lokal akan melahirkan pemerintahan lokal yang tidak efektif untuk kepentingan nasional dan tidak pula berbasis kepada aspirasi lokal.
Yenny Wahid; Aktivis Sosial dan Direktur Wahid Institute
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kelokalan Dan Keindonesiaan"