Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Politik Pembaruan Hukum

Albert Hasibuan

Keluhan dan kerisauan saya terhadap perkembangan aturan ketika ini rupanya juga dirasakan oleh Radhar Panca Dahana dalam "Kriminalisasikan Bangsa Ini" yang tersua di halaman Opini Kompas edisi 29 Mei.

Radhar dalam karangannya mengemukakan , "Kitab hukum-juga politik-itu bukan untuk mencipta keadilan , ketenteraman , dan kesejahteraan , melainkan sekadar mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan dari 0 ,1 permil bangsa ini saja."

Dari goresan pena itu saya menerima kesan bahwa beliau sudah berada dalam tahap keprihatinan dan kecewa terhadap perkembangan aturan akhir-akhir ini. Radhar kecewa sebab aturan tidak lagi membuat keadilan , ketenteraman , dan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu , Komisi Yudisial (KY) juga beropini sama ketika  menyatakan , "Dalam situasi keterpurukan aturan ibarat ini , upaya pembenahan dan perbaikan di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya pasti merupakan yang tidak mungkin dilakukan."

Sebelumnya KY mengemukakan , "Institusi penegak aturan yang dijadikan referensi pembebasan dan pencerahan justru menjadi kurang dipercaya oleh masyarakat. Dampaknya kehidupan aturan menjadi tidak terarah dan terpuruk."

Seperti diketahui , evaluasi KY ini merupakan undangan kepada saya sebagai anggota Wantimpres untuk menulis artikel di buku Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia yang diterbitkan pada 2012.

Timbul pertanyaan: mengapa kini ini aturan , yang seharusnya bertindak sebagai pembebas dan pencerah masyarakat , masih dijadikan alat mempertahankan kekuasaan ibarat dikemukakan Radhar Panca Dahana? Lalu , mengapa aturan dan penegak aturan yang seyogianya  melaksanakan keadilan berdasarkan keadilan aturan justru mempraktikkan hal-hal kebalikannya yang bersifat antitesis?

Menurut saya , salah satu jawabannya yakni kita harus terlebih dulu melihat dari perspektif sejarah , yaitu Orde Baru , yang berkaitan secara berkesinambungan dengan reformasi , khususnya reformasi hukum.

Perspektif sejarah

Dari perspektif sejarah ini , kita telah mengalami selama Orde Baru  kekuasaan yang amat berperan menimbulkan aturan sebagai alatnya. Tidak salah bila kita sebut bahwa pada masa itu aturan telah dijadikan sebagai alat kekuasaan yang menghalalkan segala cara demi menghasilkan kepentingan-kepentingan tertentu.

Sosiolog Jerman , Maximilian Weber (1864-1920) , menyebut fenomena ini sebagai Politisches Rechts atau politik aturan yang memastikan penerapan aturan yang dipengaruhi aneka kekuasaan dan kepentingan. Apa yang disebut Weber dengan Recht der Machthaber atau aturan dari yang punya kekuasaan merupakan legitimasi secara bebas memakai aturan untuk mencapai kepentingan tertentu.

Kemudian , sesudah Orde Baru berakhir dan berlangsung Era Reformasi yang bersifat korektif terhadap hal-hal yang ademokratis , dengan sendirinya aturan mengalami pembaruan dan reformasi. Namun , apa lacur , sesudah pembaruan aturan berlangsung 17 tahun ,  masyarakat merasa bahwa perkembangan aturan tak ibarat yang diharapkan. Masyarakat merasa pada ketika ini perkembangan aturan ibarat dengan situasi pra-Reformasi 1998.

Kalau boleh saya katakan , aturan kini hampir-hampir melakukan proses pengulangan sejarah dengan masa Orde Baru. Yang terang , akhirnya , timbul tendensi masyarakat yang menganggap wibawa dan otoritas aturan merosot. Masyarakat ragu terhadap tujuan ideal dan penegakan aturan itu.

Dengan wibawa aturan ibarat ini , dengan sendirinya masyarakat skeptis bahwa aturan akan memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama tanpa diskriminasi. Ketentuan equality before the law and equal protection of law atau kesamaan di muka aturan dan dukungan yang sama sanggup dianggap oleh masyarakat sebagai sebutan yang tidak berarti apa-apa alias kosong.

Juga mereka kurang percaya terhadap aturan yang ramah kepada yang lemah , miskin , dan terpinggirkan sebab dari pengalaman mudah sehari-hari , aturan cenderung berpihak kepada yang punya kekuasaan , baik kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi.  Kita kenal sebutan "hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas".

Selanjutnya masyarakat juga ragu bahwa aturan akan memperlakukan setiap anggota masyarakat secara adil sebab sering kali aturan cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki privilese atau kelebihan tertentu. Menurut saya , semua ini akan memengaruhi kesadaran dan perasaan aturan masyarakat terhadap kepatuhan hukum. Padahal , kesadaran aturan memainkan tugas penting dan memilih pelaksanaan prinsip konstitusional negara aturan atau rechtsstaat.

Sikap kita

Pertanyaannya , bagaimana kita menyikapi keadaan ini? Bagaimana kita mengadakan koreksi untuk menjalankan pembaruan hukum?

Pertama , berdasarkan pendapat saya , harus ada politik pembaruan aturan dari pemerintah yang mendorong aneka macam jadwal pembaruan aturan berdasarkan sembilan jadwal Nawacita. Seperti diketahui , jadwal ke-4 Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla berbunyi , "Melakukan reformasi sistem dan penegakan aturan yang bebas korupsi , bermartabat dan terpercaya".

Kedua , harus ada pandangan gres dan konsep-konsep gres di bidang aturan dan penegakan aturan sesuai dengan Era Reformasi. Dalam hal ini , sebab kini ini sangat sedikit pandangan gres dan konsep aturan yang gres , saya menyayangkan tidak boleh dan pembubaran Komisi Hukum Nasional yang dipimpin Prof Sahetapy dan Prof Mardjono Reksodiputro yang telah ulet dan produktif menyusun konsep-konsep aturan yang baru.

Ketiga , pengawasan dengan intensif secara eksternal masyarakat dan internal penegak aturan terhadap perkembangan aturan semoga sesuai dengan pembaruan hukum.

Albert Hasibuan; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Politik Pembaruan Hukum"

Total Pageviews