Herdi Sahrasad
Selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2014 , Joko Widodo acap kali melontarkan pernyataan bahwa pemerintahannya tidak akan berutang untuk membiayai belanja negara. Jokowi menyatakan , belanja negara didanai dengan uang yang ada tanpa harus mengandalkan utang. Dalam kampanyenya itu , Jokowi menyatakan hendak mewujudkan kemandirian ekonomi sesuai Trisakti Soekarno dan Nawacita.
Ironisnya , utang luar negeri justru mengalami peningkatan selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan kenaikan utang luar negeri pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan utang swasta. Selama lima bulan Jokowi-JK memimpin negara , utang luar negeri pemerintah melonjak tajam. Para menteri perekonomian di Kabinet Kerja terbukti relatif mandul dan inkompeten untuk mencari terobosan supaya Indonesia tidak mengutang lagi. Akibatnya , ketergantungan kepada gila untuk mengutang semakin besar.
Posisi utang luar negeri pemerintah pada abad pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada November 2014 tercatat 127 ,3 miliar dollar AS atau setara Rp 1.676 triliun. Posisi terakhir utang luar negeri pemerintah era Jokowi , tepatnya per Januari 2015 , sebesar 129 ,7 miliar dollar AS atau setara Rp 1.710 triliun. Terjadi kenaikan sekitar 2 ,4 miliar dollar AS atau setara Rp 31 ,6 triliun.
Per Januari 2015 , utang luar negeri Indonesia tercatat 298 ,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.940 triliun. Angka ini meroket jikalau dibandingkan dengan posisi per Desember 2014 sebesar 292 ,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.860 miliar. Rinciannya , utang luar negeri pemerintah bersama Bank Indonesia 135 ,7 miliar dollar AS dan utang luar negeri swasta 162 ,9 miliar dollar AS.
Menambah utang bukanlah tindakan terkenal dan bakal jadi beban rakyat di masa datang. Presiden Jokowi menyatakan tidak khawatir popularitasnya turun jawaban kebijakan menaikkan harga BBM (sebagian untuk bayar utang) , yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Jokowi sadar , dikala pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM , banyak kalangan murka , kecewa , frustrasi , dan tidak simpati terhadap pemerintahannya.
Sebagai dampak kenaikan harga BBM ini , penjualan bermacam-macam komoditas pada kuartal pertama 2015 mengalami penurunan. Semen turun 3 ,3 persen , kendaraan beroda empat 15 persen , motor 19 persen , dan properti bahkan turun 50 persen. Nilai ekspor juga turun 11 ,67 persen.
Perusahaan publik pun melaporkan penurunan pendapatan bersihnya. Adhi Karya turun 34 ,5 persen , Agung Podomoro Land 65 persen , Astra International 15 ,64 persen , Bank Danamon 21 ,47 persen , Holcim bahkan merosot sebesar 89 ,78 persen. Menurut Guru Besar FEUI Rhenald Kasali , beras dan gula mulai banyak dijadikan permainan mafioso , apalagi sehabis Presiden mengumumkan supaya jangan lagi impor. Belum lagi pupuk yang harusnya sanggup dipakai untuk memicu produktivitas sektor pertanian dan subsidinya masih menjadi permainan para elite.
Dan puncaknya , harga-harga saham merosot. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun di bawah level 5.000. Konon yang naik yaitu penjualan narkoba (naik 28 persen) , miras (naik 63 persen) , bisnis prostitusi (naik 200 persen) , dan watu akik (konon sanggup naik 300 persen). Bank Indonesia juga sudah mengumumkan indeks kepercayaan konsumen dalam sebulan terakhir merosot 9 ,5 poin. Proses penurunan itu sudah terjadi semenjak awal tahun. Dari sekitar 120 ,2 (Januari 2015) menjadi 116 ,9 (Maret) , kemudian turun lagi menjadi 107 ,4 (April 2015). Fakta ekonomi/bisnis di atas bahwasanya disadari oleh Kabinet Kerja pimpinan Jokowi karena itu realitas yang muram dan urgen untuk dipecahkan. Namun , pemerintah seakan buntu untuk mencari terobosan.
Dampak beban utang
Di tengah melemahnya rupiah yang menembus Rp 13.000 per dollar AS dengan beban utang luar negeri 298 ,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.940 triliun , Presiden Jokowi tentu tak ingin Indonesia kemudian dilanda krisis ibarat Yunani. Jokowi juga tak mau Indonesia mengulangi krisis ekonomi 1997/1998. Namun , Jokowi memang kurang beruntung. Dalam bulan-bulan ke depan , warisan Presiden SBY berupa "quatro defisit" (defisit perdagangan , neraca berjalan dan pembayaran , serta defisit anggaran) masih akan terus menekan rupiah. Kurs akan tertekan lantaran dollar AS terus menguat , kewajiban utang kian besar , serta tak ada kebijakan terang dan berangasan untuk menciptakan surplus perdagangan dan neraca berjalan.
Harus dicatat , semenjak abad Presiden SBY sebesar 15-20 persen APBN harus disisihkan untuk membayar pokok dan cicilan utang. Untuk APBN 2014 , porsi pembayaran cicilan utang dan bunganya Rp 368 ,981 triliun. Selama 10 tahun pemerintahan SBY , utang luar negeri meningkat dari Rp 1.299 triliun menjadi dua kali lipat. Lonjakan utang ini juga dibarengi meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio) , sempat mencapai 52 persen , jauh di atas level kondusif untuk negara berkembang sekitar 35 persen. Rasio utang mungkin bukan problem seandainya kapasitas kita untuk membiayai utang juga mendukung. Benar bahwa PDB mencapai lebih dari Rp 9.400 triliun dan volume APBN sekitar Rp 2.000 triliun , tetapi APBN sudah terkapling-kapling untuk belanja mengikat , bayar utang dan anggaran rutin.
Bagaimanapun , utang pemerintah tidak hanya berkaitan dengan korelasi antarnegara , tetapi berkaitan pula dengan kekerabatan antara Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral , dan dengan para investor mancanegara. Sebab itu , alih-alih mereduksinya sebagai problem keuangan dan administrasi , problem utang pemerintah terutama harus didekati berdasarkan konsekuensi ekonomi-politiknya. Akibat jerat utang , kekerabatan antara Indonesia dengan IMF , Bank Dunia , dan ADB terang menjadi timpang , sementara hak bunyi AS , Jepang , dan Inggris pada lembaga-lembaga itu jauh lebih besar daripada Indonesia (Revrisond Baswir , 2009). Dampak selanjutnya , mereka gampang mendikte Indonesia , dan Jakarta hampir niscaya tidak sanggup bilang "tidak" kepada Bank Dunia , IMF , serta AS dan sekutunya.
Kenyataan ini pada gilirannya menciptakan kemandirian ekonomi Indonesia di abad globalisasi makin ringkih , sulit , dan menjauh. Kemandirian ekonomi seolah hanya slogan belaka , kosong tanpa substansi. Langkah amandemen konstitusi yang deformatif , perubahan undang-undang dan kebijakan pemerintah kita curigai merupakan "dikte" dari gila , di mana liberalisasi ekonomi makin deras dan hanya menciptakan ketergantungan ekonomi Indonesia kepada gila makin menguat. Hal itu juga menciptakan rakyat merasa roh konstitusi mengering dan ikatan batin antara masyarakat warga dan konstitusinya , antara masyarakat dan negara , kian melemah hampa makna. Dampak selanjutnya , kohesi nasional dan kohesi sosial merapuh , seolah terus-menerus dalam bahaya.
Kegagalan genjot pajak
Sudah menjadi pelajaran pahit bahwa bertahun-tahun kita gagal mendongkrak penerimaan pajak dan mencegah kebocoran pajak yang berdasarkan IMF mencapai 40 persen. Rasio pajak tak bergerak dari 11-12 persen terhadap PDB. Padahal , pajak menyumbang sekitar 68 persen dari penerimaan negara. Kegagalan menggenjot pajak menciptakan defisit APBN harus kembali ditutup dengan utang. Di abad Jokowi , lagi-lagi pemerintah gagal menggenjot penerimaan dari pajak dan mengutang lagi ke Bank Dunia dan forum semacamnya. Kondisi ini menjadikan gali lubang tutup lubang. Itulah konsekuensi jelek dari beban utang.
Yang harus diwaspadai , masyarakat makin cemas dan pesimistis dengan melemahnya nilai rupiah. Rupiah sudah menembus Rp 13.000 dan sangat dikhawatirkan rakyat kalau mencapai Rp 15.000 per dollar AS. Dewasa ini , harga kebutuhan pokok (pangan dan energi) terus membubung , dan kepanikan sosial mulai menyebar. Kondisi ini harus dihentikan. Para menteri perekonomian yang secara intelektual sudah buntu , impase , dalam mencari terobosan ekonomi lantaran cenderung hanya mengandalkan utang untuk mengatasi bolongnya APBN mesti diganti.
Dalam hal ini , intelektual , akademisi , pelopor , dan media harus terus melaksanakan desakan untuk menghentikan kecanduan akan utang. Kalau perlu , pemerintahan Jokowi melaksanakan penjadwalan utang atau meminta pembatalan utang ke lembaga-lembaga kreditor alasannya yaitu banyak derma yang mengalami kebocoran dan korupsi. Joseph E Stiglitz , peserta Nobel Ekonomi 2001 yang juga Guru Besar Columbia University , New York , pernah mengingatkan pentingnya mengurangi utang lantaran aneka macam risiko , apalagi efek tetesan ke bawah sering kali tak bekerja.
Herdi Sahrasad; Peneliti Senior PSIK Universitas Paramadina; Pengajar Paramadina Graduate School
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kemandirian Dan Utang"