Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Membisu Kita Ikut Membunuhnya

Rahkman Ardi

Kita turut berduka ketika mayat gadis kecil , Engeline , ditemukan sesudah sebulan dinyatakan hilang. Ia dikubur dengan boneka di tangan , akrab sangkar ayam di rumahnya.

Engeline ternyata tak hilang. Ia sengaja ”dihilangkan” di rumah yang seharusnya menjadi daerah ia berlindung. Beberapa tanda kekerasan ada pada jenazahnya.

Rasa kemanusiaan kita mendadak dibangunkan. Apa salah dan dosa gadis kecil itu sehingga diperlakukan demikian brutal?

Gadis kecil yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam keceriaan dan rasa cinta , justru hidup kesepian dan ketakutan.

Beberapa hari sesudah hilangnya Engeline menyebar di media Mei kemudian , terkuak isu bahwa Engeline sebetulnya sering mendapat perlakuan tidak layak dari orang-orang terdekatnya. Kesaksian masyarakat di sekitar membuhul ke kesimpulan , bahwa Engeline tidak diperlakukan dengan wajar. Namun , tak ada laporan bahwa masyarakat yang tahu itu kemudian bertindak.

Fenomena membisu dan menjadi pengamat tidak hanya terjadi dalam perkara ini saja. Orang kebanyakan hanya menjadi pengamat justru ketika ia seharusnya sanggup melaksanakan sesuatu untuk menolong atau menyelamatkan nyawa orang lain. Manusia sepertinya hanya hirau dengan dirinya atau tak berani keluar dari diamnya meski terkait nyawa orang lain.

Fenomena diam

Dalam psikologi sosial , fenomena ini disebut bystander effect (Darley dan Latane , 1968). Istilah bystander mengacu kepada peristiwa tragis yang menimpa Kitty Genovese. Genovese berusia 28 tahun diserang , diperkosa , dan ditikam sampai mati oleh sekelompok orang pada malam tahun 1965 di New York , Amerika Serikat. Ia berteriak-teriak meminta tolong , namun tak seorang pun keluar dari apartemen , sekalipun mereka mendengar teriakan Genovese.

Fenomena bystander effect jamak terjadi. Secara psikologis hal ini berlangsung lantaran beberapa sebab. Sebagian orang barangkali tidak mau terlibat konflik dengan pihak lain , lantaran sekali saja seseorang membantu si anak , menyerupai pada perkara Engeline , maka mereka akan dianggap penyerang oleh pihak keluarga. Belum lagi ketakutan kalau terjadi kesalahan evaluasi terlepas dari tanda-tanda tak masuk akal yang seharusnya sudah memicu kecurigaan.

Orang juga sering tak bertindak lantaran takut mengambil risiko. Mereka tak mau dianggap mencampuri urusan orang lain. Di Polandia , ada idiom populer , ”not my circus , not my monkey”. Itu bukan urusan saya.

Orang juga cenderung bersikap pasif lantaran berharap orang lain yang melakukan. Darley dan Latane (1968) menyebutnya sebagai difusi tanggung jawab. Sehingga , walau tahu bahwa bertindak yakni hal yang benar , namun mereka terjebak dalam perilaku saling menunggu.Semakin banyak pengamat di sekitar ,semakin besar peluang setiap orang untuk belakang layar melempar tanggung jawab kepada pihak lain.

Hal-hal tersebut sering menciptakan orang menghadapi pilihan dilematis: melaksanakan sesuatu yang bisa menyelamatkan anak atau hanya menjadi pengamat bisu , sungguhpun mereka mengetahui bahwa ada yang salah.

Tidak ada yang berpikir bahwa semua orang sanggup menjadi inisiator tanpa harus menunggu orang lain bila sesuatu yang tak masuk akal terjadi.

Sedikit yang bertindak

Survei Safe Horizon (2008) , forum di AS yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga , mengatakan bahwa 78 persen orang memiliki cukup alasan untuk melaporkan kekerasan terhadap anak , namun hanya 19 persen dari mereka yang menghubungi layanan dukungan anak , dan 6 persen yang memberitahu polisi.

Pencegahan perkara kekerasan domestik dalam keluarga yakni tanggung jawab semua orang , namun pada kenyataannya hanya sebagian kecil yang berani bertindak konkret dan keluar dari sekadar pengamat bisu.

Sebenarnya , tanpa disadari masyarakat sudah bisa mengenali tanda-tanda ketidakwajaran anak yang mengalami abuse , menyerupai anak terlihat lusuh , kurus , kurang gizi , penyendiri. Masyarakat juga sering melihat pribadi anak yang dibentak dan dipukul , namun kenyataannya tak banyak dari kita yang berani berinisiatif bertindak , bahkan untuk sekadar mencari tahu apakah yang sesungguhnya terjadi. Sadar atau tidak , kita telah terlibat dalam agresi pembiaran kekerasan di sekitar kita.

Siapa pun kita , punya tugas penting untuk bisa menghentikan kekerasan domestik di lingkungan sekitar. Jangan hanya menjadi bystander , yang hanya menjadi penggalan difusi tanggung jawab dengan melempar insiatif bertindak kepada orang lain.

Kasus Engeline terjadi lantaran semua orang diam. Kebisuan kita secara tak pribadi ikut berperan terhadap kepergiannya.

Jangan lagi ada bencana ini. Mari bersama berjanji bahwa kita tidak akan pernah lagi membisu dan membiarkan kekerasan terjadi di sekitar kita.

Rahkman Ardi; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga; Kandidat Ph.D di Universitas Warsawa

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Membisu Kita Ikut Membunuhnya"

Total Pageviews