Agus Sudibyo
Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyatakan , "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan".
Banyak media telah mengabaikan pasal ini dalam memberitakan anak wanita yang menjadi korban pembunuhan dan pelecehan seksual di Pulau Dewata sebagaimana ramai diperbincangkan publik belakangan. Hampir semua media secara eksplisit menyebutkan nama si anak , tidak sedikit media dengan gamblang menayangkan fotonya.
Jika etika jurnalistik di atas dilaksanakan secara konsekuen , bahkan penyebutan inisial pun harus dihindari , demikian juga dengan penyebutan nama orangtua atau sekolah. Namun , demikianlah faktanya. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik itu dalam praktiknya begitu sering diabaikan pers Indonesia. Bahkan , beberapa pihak mengusulkan semoga pasal ini direvisi saja alasannya ialah kenyataannya tidak efektif untuk melindungi identitas korban kejahatan susila dan anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Banyak media atau wartawan sepertinya berpikir , jikalau identitas si korban sudah telanjur terungkap dan diketahui khalayak , untuk apalagi ditutup-tutupi? Jika media lain telanjur menyebut identitas korban , mengapa suatu media tidak melaksanakan hal yang sama? Jika korban sudah meninggal dan tidak punya masa depan lagi , masih perlukah disembunyikan identitasnya?
Moralitas jurnalistik
Pertama-tama perlu ditegaskan , etika jurnalistik sesungguhnya berurusan dengan perilaku moral individu wartawan atau institusi media. Obyek penegakan etika jurnalistik bukan pers secara umum , melainkan setiap wartawan dan setiap institusi media. Etika jurnalistik mengandaikan proses personalisasi dan internalisasi norma-norma moral pada diri setiap wartawan atau setiap media sehingga bertindak secara etis kemudian jadi urusan personal wartawan atau media masing-masing. Diandaikan seorang wartawan akan berusaha menaati Kode Etik Jurnalistik tanpa peduli apakah wartawan lain melaksanakan hal yang sama atau tidak. Setiap media juga akan berusaha menjaga moralitasnya sendiri tanpa terlalu memperhatikan moralitas media lain.
Dengan kata lain , moralitas jurnalistik tidak ditentukan oleh seberapa banyak wartawan atau media yang menerapkan moralitas itu atau sebaliknya. Moralitas jurnalistik ditentukan oleh kriteria-kriteria wacana kerja jurnalistik yang layak dan baik sebagaimana tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik yang bersifat universal dan berlaku sama di semua tempat.
Memang ada beberapa etika jurnalistik yang bersifat kondisional , penerapannya sanggup diadaptasi perkembangan situasi. Namun , kewajiban melindungi perasaan traumatik korban atau meringankan beban penderitaan korban ialah jenis etika jurnalistik yang harus didahulukan wartawan atau media dalam kondisi apa pun.
Solidaritas , tenggang rasa , dan kepekaan sosial harus mendasari setiap bentuk ruang publik , tanpa terkecuali ruang publik media. Perlu digarisbawahi , pengertian korban di sini bukan hanya mereka yang jadi obyek eksklusif kekerasan , tetapi juga keluarga , orang-orang sekitar , juga masyarakat yang mengalami stress berat atas kekerasan yang terjadi. Oleh alasannya ialah itu , fakta bahwa korban telah meninggal bukanlah alasan yang memadai bagi media untuk membuka identitas korban atau keluarganya.
Etika jurnalisme atau etika media dalam praktiknya memang berjalan dinamis. Banyak standar etis yang dulu dipegang teguh pelaku media , belakangan semakin longgar penerapannya. Di masa kemudian , pemuatan "iklan jaket" di halaman muka media cetak dianggap sebagai sesuatu yang kurang etis dan kurang menghargai hak-hak pembaca. Namun , ketika ini , banyak media melaksanakan pemuatan "iklan jaket" ini. Praktik semacam ini menyerupai menemukan pembenarannya alasannya ialah kenyataannya tidak ada reaksi kritis yang signifikan sebagaimana lazim terjadi pada masa lalu.
Elastisitas etika media
Di suatu kala , banyak media dengan ketat menolak kemudahan untuk wartawan yang mengikuti kunjungan ke luar negeri atau ke lokasi perusahaan yang disediakan instansi pemerintah atau perusahaan. Namun , pada kala lain , lebih banyak didominasi media mengizinkan wartawannya mendapatkan kemudahan tersebut dengan batasan atau syarat yang semakin longgar. Semakin jarang terdengar perusahaan media membiayai sendiri wartawannya yang mengikuti muhibah Presiden ke luar negeri atau media visit perusahaan-perusahaan pertambangan.
Kembali pada masalah di atas , pers Indonesia sekarang juga dihadapkan pada perkembangan gres yang mengondisikan praktik jurnalistik yang mengabaikan tunjangan atas identitas korban kejahatan susila dan pelaku kekerasan di bawah umur.
Perkembangan yang dimaksud ialah terpaan jurnalisme media online dan diskusi media umum dengan beberapa cirinya: hiperaktualitas , interaktivitas serta kemustahilan menghapus apa yang sudah telanjur tersebar dan kesulitan untuk meramalkan arah suatu diskusi.
Jika identitas korban kejahatan susila telanjur dibuka di ruang diskusi media umum , media online pun segera terpancing untuk membuka identitas tersebut. Jika media umum dan media online sudah membuka identitas tersebut , media cetak atau media televisi menyerupai kehilangan alasan untuk tidak melaksanakan hal yang sama. Maka , sulit sekali untuk menahan atau menghapus informasi dan data yang telanjur tersebar di media umum dan media online.
Di satu sisi , hal ini bermakna positif alasannya ialah informasi begitu gampang diakses masyarakat. Masyarakat mendapatkan informasi yang melimpah dan kasatmata wacana suatu masalah sekaligus sanggup memberikan pendapatnya. Namun , di sisi lain , keterbukaan yang berlebihan juga sanggup menggerus rasa kemanusiaan dan tenggang rasa kita terhadap mereka yang sedang kesusahan. Kita menjadi lebih mementingkan rasa ingin tau publik , tanpa memperhatikan betul perasaan dan nasib sedikit orang yang menjadi obyek rasa ingin tau itu. Kita menjadi lebih mementingkan bantuan positif pemberitaan terhadap hak masyarakat atas informasi tanpa memperhatikan benar apakah pemberitaan itu telah dilaksanakan secara etis dan proporsional.
Etika media dalam perjalanannya memang tidak pernah terwujud sepenuhnya. Penghormatan praktisi media terhadap etika media selalu mengalami pasang surut. Namun , pasang surut ini bekerjsama justru memberikan ada yang perlu senantiasa dievaluasi dalam praktik bermedia kita terkait dengan duduk masalah profesionalisme dan tanggung jawab sosial. Fungsi media tidak sekadar menyebarluaskan informasi , tetapi juga mencerdaskan dan memberadabkan masyarakat. Oleh alasannya ialah itu , standar-standar etis sesungguhnya menjadi kebutuhan yang tak lekang oleh perubahan zaman.
Agus Sudibyo; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tenggang Rasa Media Atas Korban Kejahatan"