Yasraf Amir Piliang
Akan tetapi , setiap perubahan menuntut "kekuasaan nyata" , yaitu pemimpin yang dituruti , diikuti , dan dipatuhi secara faktual , bukan sekadar simbolik. Kekuasaan semacam ini dibutuhkan bisa membuat kedisiplinan , kepatuhan , dan loyalitas terhadap otoritas kekuasaan sebagai syarat mutlak perubahan. Bila kekuasaan faktual ini tak bekerja , perubahan akan bergerak menyerupai bola liar , yang sanggup membawa kepada situasi ketakpastian dan kaos.
Sayangnya kekuasaan faktual itu tak bisa ditunjukkan Jokowi. Berbagai ketakpatuhan , ketakdisiplinan , dan ketaktaatan diperlihatkan bawahannya , yang mengatakan degradasi kekuasaan tertinggi negara. Di pihak lain , ada semacam "kekuasaan tak tampak" , yang meski tak terlihat , tetapi bisa mengatakan imbas kekuasaannya dalam "mengendalikan" dan "mengarahkan" perubahan.
Anomali kekuasaan
Kekuasaan sangat sentral dalam setiap perubahan alasannya ialah perubahan perlu kekuatan pendorong , energi dan mesin penggerak. Makna kekuasaan paling luas ialah "potensi bagi perubahan" , yaitu kemampuan mencapai tujuan bersama , baik pada tingkat keluarga , kelompok , organisasi , forum keagamaan , perusahaan , partai politik , dan negara-bangsa. Kekuasaan ialah "kapasitas' untuk mengubah potensi menjadi kenyataan. (Boulding 1989)
Kekuasaan "normal" dalam sistem demokrasi ditunjukkan oleh kemampuan otoritas kekuasaan merealisasikan segala potensi bagi perubahan , yang ditampakkan pula oleh kedisiplinan , kepatuhan , dan ketaatan aparat-aparat negara yang terlibat di dalamnya , serta berfungsinya aparatus negara yang ada. Dalam hal ini , "kapasitas" bagi perubahan ditunjukkan efektivitas korelasi tiga unsur perubahan: pemimpin tertinggi , pegawanegeri , dan aparatus.
"Aparatus" ialah segala sesuatu yang mempunyai kapasitas mengarahkan , memilih , memodelkan , mengendalikan atau mengamankan gestur , sikap , opini atau perihal yang berkaitan dengan perubahan. Di antara aparatus ini ialah sekolah , ruang pengadilan , penjara , daerah ibadah , ruang rehabilitasi , istana presiden , persenjataan , UU , bahkan goresan pena , filsafat , karya seni , media , dan bahasa. Aparatus ialah "kendaraan" di mana kekuasaan dimanifestasikan. (Agamben 2009).
"Anomali kekuasaan" ialah penyimpangan dari korelasi kekuasaan yang "normal" , ke arah yang "abnormal". Di sini ada distorsi kepada otoritas kekuasaan , saat fungsi kekuasaan faktual diambil alih kekuatan-kekuataan tak tampak , di mana , ironisnya , para pegawanegeri negara justru patuh kepada kekuatan tak tampak ini. Kondisi ini menjadikan aparatus negara tak berfungsi normal alasannya ialah digerogoti kekuatan-kekuatan tak tampak itu.
Fungsi "normal" pegawanegeri aturan menyerupai kepolisian ialah menegakkan aturan aturan demi kebenaran. Anomali aturan ialah penyimpangan fungsi pegawanegeri aturan , yang alih-alih menegakkan aturan , justru melindungi kepentingan korps mereka , khususnya atas tuduhan keterlibatan korupsi. Anomali tingkat pegawanegeri ini menggiring pula kepada anomali di tingkat aparatus aturan , yang kini tak lagi mengarahkan sikap , opini atau perihal ke arah pengungkapan kebenaran , tetapi malah menjiplak kebenaran.
Di dalam sistem pemerintahan demokratis , sistem kekuasaan tak hanya terbagi secara horizontal sebagai manifestasi prinsip check and balance (legislatif , administrator , dan yudikatif) , juga secara vertikal bersifat hierarkis. Fungsi pegawanegeri ialah menjalankan tugasnya sebatas otoritasnya , dengan mematuhi otoritas kekuasaan lebih tinggi. Anomali kekuasaan ialah saat otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada otoritas di atasnya , menyerupai yang ditunjukkan pegawanegeri kepolisian.
Anomali kekuasaan pada rezim pemerintahan Jokowi ditandai anomali kekuasaan horizontal dan vertikal sekaligus. Di satu sisi , otoritas kekuasaan lebih rendah tak patuh kepada kekuasaan lebih tinggi , menyerupai ditunjukkan pegawanegeri kepolisian. Di sini lain , ada intervensi sistem kekuasaan yang setara , menyerupai yang ditunjukkan Menteri Hukum dan HAM terhadap forum yudikatif.
Skeptisisme politik
Relasi kekuasaan demokratis yang ditunjukkan melalui acara kepemerintahan memilih kualitas demokrasi. Otoritas kekuasaan tak saja harus ditunjukkan secara penuh , utuh , berkesatuan , konsisten , dan berkelanjutan , tetapi juga tak mengandung unsur ambiguitas , ambivalensi , dan kontradiksi. Kekuasaan tak mungkin mengandung dua sifat kontradiktif sekaligus: berkuasa sekaligus tak berkuasa , memerintah sekaligus diperintah , melarang sekaligus menyuruh.
Ambiguitas ialah kekacauan makna dalam bahasa. Padanannya dalam sikap ialah ambivalensi , yaitu keadaan mengambang di antara dua tindakan. Kata-kata ambigu biasanya ialah turunan dari sikap ambivalen. Ironisnya , ambiguitas ucapan dan ambivalensi tingkah laris ini yang menandai rezim kini ini: ucapan ambigu ("tidak akan impor beras" , tetapi "boleh impor beras') dan tindakan ambivalen (meminjam ke Bank Dunia , tetapi meminta dihapuskan Bank Dunia).
Ambiguitas dan ambivalensi sangat memengaruhi tingkat "keterpercayaan" kepada elite kekuasaan. Keterpercayaan ialah ekspektasi masyarakat akan sikap yang konsisten dan benar berlandaskan norma-norma bersama. Sebaliknya , ambiguitas mengatakan inkonsistensi , yang sanggup melunturkan kepercayaan. Ambiguitas ucapan dan ambivalensi tindakan ialah dua aspek yang berpotensi menumpuk akumulasi ketakpercayaan kepada rezim pemerintah sekarang.
Keterpercayaan ialah fondasi politik demokratis alasannya ialah ia merupakan akar dari keyakinan akan kapasitas , kompetensi , dan kemampuan seorang elite politik. Karena itu , di dalam politik ada semacam "politik keyakinan" , yaitu semacam vitalitas yang memberi masyarakat politik semacam optimisme kolektif akan kapabilitas dan kapasitas sebuah rezim kekuasaan dalam mencapai tujuan atau impian bersama masyarakat-bangsa , melalui otoritas kekuasaan yang dimiliki.
Sebaliknya , "politik skeptisisme" menumbuhkan ekspektasi bahwa tujuan bersama tak mungkin tercapai alasannya ialah aneka prasangka , benturan , konflik , ketakharmonisan di antara pegawanegeri dan institusi- insitusi politik tak bisa diselesaikan pemegang kekuasaan tertinggi.
Tak berfungsinya otoritas tertinggi kekuasaan tampak dalam pembiaran "kriminalisasi" kepada forum negara , menyerupai KPK oleh kekuatan-kekuatan "tak tampak" , yang tetap terjadi sampai kini. Anomali kekuasaan dan ketakmampuan mengatakan kekuasaan faktual oleh pemimpin tertinggi , dikhawatirkan akan menjadikan eskalasi dan meluasnya sikap skeptisisme dan menumpuknya ketakpercayaan rakyat kepada otoritas kekuasaan , yang pada gilirannya sanggup mengancam kelanjutan rezim pemerintah.
Untuk menghentikan eskalasi skeptisisme dan akumulasi ketakpercayaan , Jokowi dituntut berpikir keras dan serius untuk menemukan cara memulihkan kekuasaannya , khususnya untuk menghentikan mesin-mesin kekuatan tak tampak yang merongrong otoritasnya. Hanya dengan cara itu sanggup ditunjukkan kharisma kekuasaannya dalam memimpin , mengarahkan , memandu , menuntaskan , memberi solusi , dan memutuskan banyak sekali dilema negara-bangsa di atas kekuatan diri sendiri sebagai pemimpin tertinggi.
Yasraf Amir Piliang; Pemikir Sosial dan Kebudayaan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Anomali Demokrasi"