Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Krisis Bahari Dunia

Arif Satria

Peringatan Hari Kelautan Sedunia 8 Juni bertema "Healthy Oceans , Healthy Planet". Tema ini menarik seiring dengan paradoks kelautan yang ketika ini terjadi.

Menurut WWF , The Global Change Institute and The Boston Consulting Group (2015) , nilai aset kelautan dunia mencapai 24 triliun dollar AS yang terdiri dari potensi yang diambil pribadi dari perikanan , mangrove , terumbu karang , dan padang lamun sekitar 6 ,9 triliun dollar AS , transportasi bahari 5 ,2 triliun dollar AS , perembesan karbon 4 ,3 triliun dollar AS , dan jasa lain 7 ,8 triliun dollar AS. Hampir dua pertiga produk kelautan tersebut bergantung pada bahari yang sehat.

Meski demikian , berdasarkan FAO , 90 persen stok perikanan dunia dalam kondisi mengkhawatirkan: 61 persen sudah mengalami tangkap penuh (fully exploited) dan 29 persen sisanya tangkap lebih (over exploited).Begitu pula tingkat kerusakan mangrove 3-5 kali dari laju deforestasi. Sekitar 29 persen padang lamun juga telah rusak. Begitu pula kerusakan terumbu karang dunia mencapai 50 persen; dan pada 2050 , dengan kenaikan suhu menyerupai ketika ini , terumbu karang akan musnah. Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang harus dilakukan untuk membuat lingkungan bahari yang sehat?

Memahami kerusakan

Pendekatan ekologi insan selalu melihat fenomena kerusakan alam , termasuk bahari , dari perspektif interaksi insan dengan alam. Hal ini sebab kerusakan alam cenderung bersifat antropogenik , atau jawaban ulah manusia. Kondisi stok ikan dunia yang menyerupai itu juga bukan terjadi secara tiba-tiba , tetapi sebab ketidakmauan atau ketidakmampuan kita mengendalikan eksploitasi sumber daya dan  laju kerusakan ekosistem.

Tentu ini terjadi sebab basis adat antroposentrisme cukup mengakar. Etika antroposentrisme terlalu mengagungkan bahwa adat hanya berlaku untuk insan , tidak untuk alam biotik dan abiotik. Etika ini kemudian membuat kekerabatan dominasi insan terhadap alam , yang berujung pada eksploitasi besar-besaran alam untuk kepentingan insan dalam jangka pendek. Apabila ini menjadi sumber nilai bagi tindakan kolektif , tentu berbahaya. Lebih berbahaya lagi jikalau instrumen aturan dan kebijakan ternyata tak bisa mengatasi bahkan malah melindungi praktik tersebut. Atau , bahkan pembangunan itu sendiri merupakan pemicu kerusakan.

Hal ini sejalan dengan apa yang dipikirkan Bryant dan Bailey (2001) bahwa perkara kerusakan alam merupakan politicized environment. Artinya , perkara lingkungan tak sanggup dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi di mana perkara itu muncul. Makara , kerusakan alam bukanlah perkara teknis semata yang biasanya hanya diselesaikan dengan teknologi , melainkan merupakan problem tata kelola yang harus diselesaikan secara ekonomi-politik.

Menurut Bryant dan Bailey (2001) , biaya dari kerusakan tersebut dirasakan secara tidak merata oleh para aktor. Pada risikonya tentu rakyat miskinlah yang paling dirugikan sebab hidupnya sangat bergantung pada lingkungan sekitarnya. Sebagai pola , pengusaha perikanan bisa secara gampang mengalihkan wilayah tangkapnya , sementara nelayan kecil dengan modal yang terbatas tidak bisa berbuat apa-apa ketika sumber daya ikannya sudah habis.

Apalagi menyerupai kata Goodwin (1990) , bahwa nelayan kecil tidak bisa memengaruhi pasar dan kebijakan sehingga mereka terus akan menjadi korban dari kerusakan laut. Tentu nelayan-nelayan kecil kita tidak kuasa menghadapi tekanan kapal-kapal aneh , baik di Natuna maupun Arafura , sebab kehadiran mereka merupakan kepentingan para pihak sehingga menjadi perkara ekonomi-politik yang rumit. Untung saja sekarang pemberantasan perikanan ilegal sudah semakin masif.

Konteks di atas bisa ditarik pada level global , bahwa dominasi negara maju terhadap negara sedang berkembang pun terjadi di laut. Dominasi kapal-kapal Amerika di wilayah Pasifik Selatan dan kapal-kapal Eropa yang beroperasi di negara-negara ACP (African , Caribbean , and Pacific) juga memperlihatkan tekanan pada sumber daya di wilayah tersebut. Dalam jangka pendek , negara-negara sedang berkembang itu menikmati laba ekonomi , tetapi dalam jangka panjang ada perkara sumber daya yang serius. Jika kondisi ini terjadi , ke mana nelayan-nelayan ACP dan Pasifik Selatan akan bisa menangkap ikan lagi?


Perlu tindakan global

Masalah di atas perlu tindakan bersama secara global. Memang tidak gampang mengendalikan motif ekonomi para pelaku yang cenderung antroposentris dan utilitarian. Di sinilah perlunya institusi yang memang fungsinya mengatur sikap para pelaku supaya sesuai dengan nilai dan norma yang pro lingkungan. Ada tiga institusi yang penting untuk itu.

Pertama , institusi negara dan forum multilateral (FAO , UNEP , IUCN) yang sekarang sudah berkomitmen menjaga laut. Komitmen FAO untuk pemberantasan illegal , unregulated , unreported (IUU) fishing sudah mulai membawa hasil. Begitu pula janji Rio+20 yang menargetkan setiap negara mengonservasi 10 persen wilayah lautnya.

Bagi Indonesia , berarti harus mengonservasi 31 juta hektar. Tentu tidak gampang , untuk mengefektifkan 15 juta hektar yang ada ketika ini saja masih sulit. Namun , hal terpenting ialah bagaimana  Indonesia harus bisa punya andil penting dalam aneka macam janji global tersebut. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar , mestinya kita menjadi subyek penentu. Semangat poros maritim dunia harus hingga pada penguatan posisi politik internasional kelautan kita ini.

Kedua , institusi pasar juga mesti menjamin praktik perikanan ramah lingkungan. Cara kerja konkretnya ialah dengan mengaitkan kepatuhan atau pelanggaran dengan instrumen perdagangan. Sebenarnya ini sangat efektif seiring dengan kesadaran konsumen wacana produk ramah lingkungan. Negara-negara importir punya tugas besar , menyerupai tuna sirip biru kita yang pernah diembargo Jepang tahun 2005 gara-gara tangkapan yang melebihi kuota.

Hongkong juga bisa jadi penentu untuk ikan-ikan karang. Instrumen pasar yang ketika ini dipakai ialah ekolabel. Industri tuna Indonesia sudah mulai menerapkan ini sebab tuntutan pasar ekspor. Namun , ekolabel masih bersifat sukarela dan memang memerlukan biaya mahal sehingga membebani produsen , khususnya pelaku perjuangan kecil.

Ketiga , institusi masyarakat punya kekuatan nilai-nilai lokal yang berperan untuk menjamin praktik perikanan berkelanjutan

Arif Satria; Anggota Dewan Kelautan Indonesia (Dekin)

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Krisis Bahari Dunia"

Total Pageviews