Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Dongeng Tragis Angeline

Bagong Suyanto

Setiap ada kabar perihal anak yang menjadi korban tindak kekerasan , miris hati ini. Seperti kisah Angeline (8) ,  bocah malang yang pekan ini ditemukan tewas dan dikubur di bawah sangkar ayam.

Siapa yang tak trenyuh membayangkan korban ialah anak kita yang seharusnya berlimpah kasih sayang , tetapi ternyata menjadi korban tindak kekerasan orang-orang terdekatnya.

Setelah dinyatakan hilang semenjak 16 Mei 2015 , balasannya terkuak fakta bahwa sebelum tewas , hari-hari Angeline penuh dengan murung lara. Kasus Angeline ialah salah satu di antara banyak sekali kasus penganiayaan dan pelecehan seksual anak yang terjadi di Tanah Air. Jumlah kasus tindak kekerasan terhadap anak terus meningkat dengan derajat tingkat kejahatan dan kekerasan yang semakin mencemaskan.

Tahun 2011 , tercatat ada 2.637 kasus kekerasan anak yang masuk ke Komnas Perlindungan Anak. Dari jumlah itu , 62 persen ialah kasus kejahatan seksual. Tahun 2013 , Komnas PA mencatat ada 3.339 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan , 52 persen di antaranya kejahatan seksual. Tahun 2014 , periode Januari-September , ada 2.626 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan.  Tahun 2015 diprediksi kasus penelantaran dan tindak kekerasan terus naik.

Memilih diam

Kekerasan terhadap anak (child abuse) didefinisikan sebagai kejadian pelukaan fisik , mental , atau seksual-umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat korban-dan menjadi bahaya terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

Kisah Angeline ialah pola tindak kekerasan terhadap anak , bukan hanya dalam bentuk ekspresi abuse , melainkan juga penyerangan secara fisik dan seksual. Seperti kita ketahui , yang dimaksud child abuse tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan fisik , tetapi juga banyak sekali bentuk eksploitasi , contohnya pornografi , dukungan makanan yang tidak layak atau tidak bergizi , pengabaian pendidikan  dan kesehatan , serta kekerasan terkait medis (Gelles , 1985).

Di sejumlah negara , menyerupai Amerika Serikat , Malaysia , dan Filipina , banyak sekali kasus child abuse sanggup terdeteksi cukup baik sebab aturan mereka mewajibkan dokter dan guru melaporkan kasus child abuse kepada aparat.

Di Malaysia semenjak tahun 1991 , dokter yang lalai akan dikenai denda seribu ringgit. Tetangga dan guru juga dianjurkan melaporkan adanya kasus child abuse yang mereka ketahui (Julianto , Juni 1999). Filipina semenjak tahun 1992 telah menandatangani Undang-Undang Nomor 7610 perihal Perlindungan Khusus untuk Anak dari Perlakuan Salah , Eksploitasi , dan Diskriminasi terhadap Anak. Ini terutama untuk mencegah semoga para pelaku tindak kekerasan terhadap anak tidak sanggup lolos dari jerat hukum.

Di Indonesia , meski semenjak tahun 2002 telah mempunyai Undang-Undang Perlindungan Anak , upaya untuk menerjemahkan ke dalam aktivitas agresi yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam upaya pencatatan dan penanganan anak korban child abuse masih jauh dari memadai. Banyak kasus tindak penelantaran dan kekerasan pada anak tidak tertangani semenjak dini dan biasanya masyarakat gres terlibat dikala belum dewasa itu sudah telanjur menjadi korban.

Dalam kasus Angeline , contohnya , sekalipun gurunya setiap hari melihat penampilan fisik korban yang lesu , juga orang-orang di sekitar yang mendengar tangisan korban ,  tidak pernah ada yang melapor sebab dianggap sebagai dilema intern keluarga. Sebelum korban terluka atau tewas , masyarakat lebih menentukan diam.

Perlu keberanian

Sepanjang tidak ada pihak lain yang berani mengingatkan , apalagi melaporkan kepada yang berwenang , sepanjang itu pula kisah-kisah tragis menyerupai yang dialami Angeline akan terus terjadi. Kasus penganiayaan anak biasanya terjadi di dalam rumah dan tersembunyi dari amatan publik serta dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya memperlihatkan proteksi dan kasih sayang kepada anak.

Henry Kempe dan Helper (1972) telah menciptakan suatu daftar tanda-tanda kondisi yang biasanya muncul dan ditemui pada keluarga yang kemungkinan terlibat dalam kasus penganiayaan anak (child abuse).

Orangtua yang sering memperlihatkan dongeng tidak terang perihal asal muasal luka pada anak , terlalu penuntut dan pengatur , menolak bekerja sama dengan petugas , serta belum dewasa yang tampak ketakutan dikala berada di sekitar orang-orang terdekat , termasuk orangtuanya , ialah hal-hal yang perlu dicermati sebelum jatuh korban. Sebaliknya , kondisi anak yang sering memar , luka , dengan kepribadian amat tertutup , juga perlu diwaspadai.

Mencegah semoga anak tidak menjadi korban tindak kekerasan tidak mungkin sanggup dilakukan bila tidak didukung kepekaan dan keterlibatan warga masyarakat. Jadilah watchdog untuk ikut mengawasi kemungkinan terjadinya kasus neglect dan child abuse.

Bagong Suyanto; Dosen FISIP Universitas Airlangga; Peneliti Kasus-kasus Pelanggaran Hak Anak

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dongeng Tragis Angeline"

Total Pageviews