Rizal Mallarangeng
Barangkali kini ialah ketika yang sempurna untuk mengingatkan Joko Widodo bahwa podium dan persuasi ialah instrumen kekuasaan yang penting , apalagi jikalau dilakukan seorang presiden.
Teddy Roosevelt , presiden Amerika Serikat di awal era ke-20 , pernah berkata bahwa podium bagi pimpinan tertinggi administrator ialah the bully pulpit. Dalam menciptakan kebijakan , tangan presiden terikat dengan banyak sekali kewenangan yang menempel di forum lainnya. Walau duduk di bangku tertinggi pemerintahan , kekuasaan seorang presiden selalu terbagi. Tetapi , di podium , dengan simbol kebesaran negara , ia berdiri sendiri , bebas mengutarakan ide , opini , dan bujukan yang bisa mengubah pikiran begitu banyak orang.
Memang , untuk bisa memanfaatkan podium secara maksimal , diharapkan talenta alamiah. Obama , contohnya , semenjak awal telah menemukan gaya retorika yang memukau alasannya ia mempunyai talenta besar untuk berbicara di depan publik. Kemampuan berpidato ialah sebuah seni. Ia sanggup dipelajari , namun faktor talenta dan kepribadian mempunyai dampak yang tidak kecil.
Dalam hal ini barangkali harus diakui bahwa Jokowi , sebagai seorang pribadi , tidak termasuk a natural public speaker. Tetapi , tidak berarti bahwa ia tidak perlu atau tidak bisa tampil sebagai pembicara yang menarik serta membangkitkan inspirasi. Pembicara yang baik tidak harus menjadi singa podium.
Sejauh ini , dalam berpidato sebagai presiden , Jokowi sebetulnya beberapa kali tampil dengan sangat mengesankan. Contoh terbaik dalam hal ini ialah pidatonya pada peringatan Hari Pers Nasional di Jakarta , pada tamat April.
Di hadapan ratusan tokoh pers yang menghadiri aktivitas tersebut , dengan naskah pidato di tangan , tetapi hanya sesekali diliriknya , Jokowi seolah menemukan dirinya , comfortable in his own skin , berbicara sebagai pemimpin dengan pesan yang berbobot. Ia menjelaskan banyak sekali aktivitas pemerintah , meminta kesabaran sambil menekankan bahwa di ujung jalan yang berliku niscaya terbentang horizon gres yang lebih baik buat semua.
Dengan pidato semacam ini , kita melihat pada diri Jokowi seorang pemimpin yang sungguh-sungguh serta mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia juga memperlihatkan ketegasan , tanpa meninggalkan gambaran kesederhanaan yang selama ini menempel padanya.
Pidato semacam ini , dengan durasi sekitar 15 menit , patut menerima acungan dua jempol serta tepuk tangan yang meriah. Kalau diberi nilai , ia layak menerima A plus.
Sayang , beberapa pidato Jokowi lainnya tidak mencapai nilai sebaik itu , bahkan mungkin jauh di bawahnya.
Di Blitar pada 1 Juni , contohnya , pidato Jokowi sebetulnya mengandung banyak persoalan. Faux pas perihal kota kelahiran Bung Karno , yang kemudian ramai menjadi materi olok-olok di dunia maya , hanya salah satu di antaranya.
Kalimat pembuka pidato ini agak lebay , berlebihan , lantaran mengungkapkan perasaan yang mungkin sulit dipercaya ("Setiap kali saya berada di Blitar , kota kelahiran proklamator kita. hati saya tergetar."). Isinya juga terlalu normatif dengan logika yang melingkar , tautologis ("Pancasila harus kita wujudkan dengan memperkuat persatuan nasional.").
Menjadi diri sendiri
Namun , kelemahan terbesar di sini: Jokowi tidak menjadi dirinya sendiri. Mungkin ia dan tim penulis pidatonya larut dalam momen besar peringatan kelahiran Pancasila serta tugas Bung Karno , dan lantaran itu teks yang dibacanya pun bertebaran dengan kalimat-kalimat besar yang sebetulnya absurd bagi kepribadiannya. Aura Jokowi cocok dengan kata "kerja ," bukan kata "perjuangan ," apalagi kata "revolusi." Kalau ia terlalu memaksakan ungkapan yang sesuai dengan cita-rasa Bung Karno , maka Jokowi justru mengecilkan kekuatannya sendiri.
Jadinya , selama delapan menit Presiden Ke-7 RI ini berpidato di Blitar , suasana yang tercipta datar-datar saja , tanpa antusiasme , tanpa kehangatan. Mungkin itu sebabnya , sebagaimana yang tampak di layar televisi , pada ketika pidato tersebut disampaikan beberapa kali Ibu Megawati Soekarnoputri berbisik-bisik dengan Boediono , mantan Wakil Presiden , yang duduk persis di sebelahnya.
Semua itu barangkali patut menjadi pelajaran berharga , bagi Jokowi dan bagi tim inti di bulat kepresidenan. Dua pola pidato di atas memperlihatkan bahwa sehabis hampir setahun , Jokowi masih mencari bentuk yang baku. Terkadang kekuatannya muncul bersinar , menyerupai dalam beberapa momen terbaik masa kampanye tahun kemudian , namun terkadang pula kekuatan ini meredup hampir tak bersisa.
Saran saya , jangan kecil hati. Perjalanan ke depan masih panjang. Pemimpin harus terus belajar-bahkan Obama hingga kini , kalau menghadapi kejadian penting , mempersiapkan dan melatih dirinya dua atau tiga jam sebelum memberikan pidato di depan publik.
Tidak ada pemimpin yang pribadi jadi. Justru yang jago ialah pemimpin yang tidak terbebani , tetapi tumbuh dalam kekuasaan. Yang penting ialah kemauan untuk belajar. Kembangkan kelebihan yang sudah ada , sambil menyadari dan terus memperbaiki kelemahan yang masih tersisa.
Kita semua berharap Jokowi akan menjadi pemimpin yang sukses. Kita tahu , sebagai presiden , tangannya tidak begitu saja bebas bergerak dalam melahirkan kebijakan alasannya ia harus mengarungi banyak kepentingan , terutama dari kelompok pendukungnya sendiri.
Justru lantaran itulah , pada ketika berdiri di podium dan menjadi satu-satunya sentra perhatian orang , Jokowi harus menjadi dirinya sendiri serta berbicara sebagai pemimpin tertinggi. Hanya dengan cara ini ia sanggup memelihara modal politiknya yang terbesar , yaitu simpati dan opini publik.
God speed , Mr President.
Rizal Mallarangeng; Direktur Eksekutif Freedom Institute , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pidato Joko Widodo Mencari Bentuk"