Toto Subandriyo
Presiden Joko Widodo dalam waktu bersahabat bermaksud merevitalisasi kiprah dan fungsi Badan Urusan Logistik. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 perihal Pangan , guna mewujudkan kedaulatan , kemandirian , dan ketahanan pangan nasional , perlu dibuat forum pemerintah yang menangani bidang pangan yang bertanggung jawab eksklusif kepada presiden.
Lembaga tersebut sanggup mengusulkan kepada presiden untuk memperlihatkan penugasan khusus kepada tubuh perjuangan milik negara (BUMN) di bidang pangan. BUMN di bidang pangan bertugas melakukan produksi , pengadaan , penyimpanan , dan/ atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah.
Batas waktu pelaksanaan amanat itu paling lambat tiga tahun sehabis peraturan tersebut diundangkan atau November 2015. BUMN di bidang pangan yang paling realistis untuk mengemban kiprah tersebut yaitu Bulog. Lembaga ini punya pengalaman panjang mengelola pangan bangsa.
Bukan hanya itu , dalam hal kepemilikan dan kesiapan sarana infrastruktur penyimpanan maupun distribusi pangan tak ada satu pun forum pangan di negeri ini yang sanggup menandingi Bulog. Tidak kurang dari 1.755 gudang berkapasitas besar dimiliki Bulog dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Tidak mengherankan alasannya yaitu semangat awal dibentuknya Bulog yaitu untuk stabilisasi harga pangan. Sebagai stabilisator harga pangan , di pundaknya dibebankan dua misi heroik. Pertama , melindungi konsumen , utamanya warga miskin dan kaum marjinal perkotaan dari melambungnya harga pangan.
Kedua , melindungi petani dari keterpurukan harga jual komoditas pangan hasil panen , utamanya dikala panen raya.
Diamputasi
Dalam perjalanan waktu , pada 1998 atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) kiprah dan fungsi Bulog diamputasi pemerintah. Sejak itulah Bulog tidak leluasa lagi menjalankan fungsi sebagai stabilisator harga pangan. Misi heroik Bulog semakin pudar ketika forum ini hanya diberi kiprah mengurusi duduk masalah beras. Pembatasan kiprah tersebut seiring dengan perubahan status Bulog menjadi perusahaan umum (perum) , menyerupai diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7/2003.
Berubah menjadi perum , sama artinya Bulog disuruh memerankan diri layaknya mesin ekonomi liberal. Jika suatu acara menjanjikan laba secara ekonomi , maka mesin ini akan bergerak. Sebaliknya , kalau acara tersebut tidak menjanjikan laba ekonomi , Bulog akan menentukan duduk manis.
Komoditas pangan karenanya lebih diposisikan layaknya produk manufaktur. Kehadiran pemerintah/negara nyaris tidak terlihat dalam setiap permasalahan pangan yang membelit rakyat , alasannya yaitu semua diserahkan kepada prosedur pasar.
Kita masih teringat lonjakan harga beberapa komoditas pangan , menyerupai cabe rawit , beras , sampai daging sapi. Pada 2014 para petani tebu juga terpuruk alasannya yaitu gula mereka terpaksa menumpuk di gudang , tidak laris di pasaran.
Penulis yakin , permasalahan pangan ke depan akan semakin kompleks. Apalagi hanya tinggal beberapa hari kita akan memasuki bulan puasa. Pengalaman empiris memperlihatkan , setiap menghadapi Ramadan pemerintah selalu kedodoran mengelola pangan. Padahal , Ramadhan merupakan rutinitas tahunan.
Kita menyambut baik prakarsa Joko Widodo yang mengembalikan kiprah dan fungsi Bulog sebagai stabilisator harga pangan. Menyerahkan pengelolaan pangan bangsa hanya kepada prosedur pasar bukan saja menyengsarakan rakyat , tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran negara terhadap kewajibannya memenuhi hak rakyat atas pangan.
Hak istimewa
Sebagai forum stabilisator harga pangan yang eksklusif di bawah presiden , Bulog harus mengelola pangan bangsa dengan memakai administrasi modern dan tetap memegang teguh prinsip good governance.
Bulog harus memayungi semua unsur , baik produsen (baca: petani) maupun konsumen. Untuk memberi insentif kepada petani dalam meningkatkan produksi perlu ditetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) komoditas strategis , menyerupai beras , gula , daging sapi , jagung , dan kedelai. Sedangkan untuk melindungi konsumen perlu ditetapkan harga maksimumnya.
Pemerintah Indonesia sanggup menggandakan apa yang dilakukan pemerintah Thailand. Semua beras yang diproduksi petani dibeli dengan harga sangat tinggi dan kemudian disalurkan kepada rakyat dengan harga murah. Kinerja jelek Bulog dalam memenuhi prognosa pengadaan gabah/beras tahun ini di antaranya alasannya yaitu forum ini tidak diberi keleluasaan membeli gabah/beras petani. Bulog dihentikan membeli beras melampaui HPP sebagaimana ditetapkan dalam Instruksi Presiden No 5/2015 perihal Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Beri keleluasaan
Harusnya pemerintah memberi keleluasaan kepada Bulog untuk membeli semua beras yang dihasilkan petani apa pun kualitasnya dan berapa pun harganya. Untuk itu dibutuhkan tabel rafaksi sebagai patokan Bulog dalam membeli gabah/beras petani pada tingkat harga dan kualitas tertentu. Hasil pembelian beras oleh Bulog sanggup dipakai pemerintah untuk banyak sekali keperluan menyejahterakan rakyat.
Selain acara beras untuk rakyat miskin yang sudah usang berjalan , beras tersebut sanggup disalurkan lewat golongan anggaran/program , menyerupai kepada para PNS/TNI/Polri sebagai komponen gaji. Dapat juga dipakai untuk acara derma tragedi atau acara padat karya pangan.
Para petani dan buruh tani sanggup bekerja memperbaiki terusan irigasi atau jalan perjuangan tani di lingkungan mereka dengan mendapat upah beras pada animo paceklik.
Agar sanggup lebih merangsang acara perdagangan oleh swasta , maka harus ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Tanpa selisih yang memadai acara perdagangan komoditas pangan oleh swasta tidak akan menggeliat.
Bukan hanya itu , perlu diupayakan korelasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar. Hal itu dimaksudkan semoga turbulensi harga pangan di pasar dunia tidak akan eksklusif berimbas pada harga pangan domestik.
Untuk sanggup memerankan diri sebagai stabilisator harga pangan yang profesional , maka Bulog harus diberikan hak-hak istimewa , termasuk di dalamnya menyangkut importasi untuk penguatan stok. Bulog harus mempunyai stok penyangga dalam jumlah yang cukup. Tanpa stok penyangga yang cukup tidak mungkin pemerintah sanggup mengintervensi pasar guna stabilisasi harga dikala terjadi gejolak harga pangan.
Toto Subandriyo; Pengamat Ekonomi; Lulusan IPB dan Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Revitalisasi Tugas Bulog"