Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Praperadilan Dan Permasalahannya

Indriyanto Seno Adji

Pernah Holmes , seorang pakar aturan , menyampaikan bahwa aturan yang baik tidak terletak pada apa yang tertulis secara indah , tetapi apa yang telah diimplementasikan dengan baik oleh aparatur penegak hukum. Dalam sistem peradilan pidana , kekerabatan aturan dengan hakim mempunyai irama searah , baik itu untuk kepastian aturan maupun tuntutan keadilan bagi masyarakat.

Hukum dan hakim itu mirip kekerabatan antara orangtua dan anaknya , terikat suatu kekerabatan yang dinamis , alasannya itu perkembangan segala permasalahan aturan akan senantiasa terlihat pada tugas aktif dari hakim. Namun , tugas aktif hakim sebagai freedom of judges itu selayaknya tidak dimaknai dengan tanpa batas alasannya kebebasan itu mempunyai batas-batas yang tidak menjadikan suatu kebebasan yang mencerminkan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) ataupun abus de droit (sewenang-wenang) , khususnya dalam kerangka pelaksanaan upaya paksa (coercieve force atau dwang middelen) terhadap tersangka.

Upaya paksa

International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) telah menegaskan bahwa forum kontrol terhadap pelaksanaan upaya paksa ialah tubuh peradilan , yang antara lain pada negara dengan sistem common law , yaitu forum Magistrate Court dan forum Rechter Commissaris (Belanda) pada sistem civil law. Pasal 9 ICCPR ialah landas dukungan hak asasi tersangka terhadap pelaksanaan upaya paksa , khususnya terhadap tindakan penangkapan (arrested) dan penahanan (detained) , khususnya prinsip "promptly and speedy trial" bagi tersangka yang dikenai upaya paksa tersebut.

Dalam KUHAP , memang sudah diatur mengenai kontrol atas pelaksanaan upaya paksa dari aparatur penegak aturan , yaitu melalui forum praperadilan , khususnya , dan terbatas pada Pasal 77 KUHAP , yaitu kewenangan hakim menilik dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang perihal sah atau tidaknya penangkapan , penahanan , penghentian penyidikan , atau penghentian penuntutan.

Dalam pemahaman yang demikian , hakim praperadilan ini hanya mempunyai kewenangan menguji (examinating judge) terhadap pelaksanaan beberapa upaya paksa sehingga hakim tidak diberikan suatu kewenangan yang lebih luas dan meliputi investigating judge.

Dengan pemahaman demikian , hakim praperadilan dengan kewenangan examinating (pengujian) , dalam hal ini haruslah diartikan bahwa pengujiannnya ialah secara formal administratif dan sama sekali tidak dalam pemahaman kewenangan investigating luas terhadap keabsahan tidaknya suatu alat bukti dari sangkaan atas unsur-unsur delik , yang tentunya justru menjadi kewenangan dari hakim pengadilan yang melaksanakan investigasi (penyidikan) atas kasus pokoknya.

Pemahaman kewenangan investigating ialah memilih keabsahan tidaknya alat bukti , yang dalam sistem peradilan pidana Indonesia , tidak menjadi otoritas hakim praperadilan melaksanakan penilaiannya. Ini merupakan basis aturan yang memperlihatkan perbedaan faktual dengan forum pre trial pada sistem common law. Amerika Serikat mengenal forum pre trial dengan tiga program proses yang meliputi arraignment (sangkaan dibacakan di depan hakim dan ditanyakan perilaku , bersalah atau tidak (guilty atau not guilty) , preliminary hearing (ada tidaknya probable cause atau alasan berpengaruh tersangka telah melaksanakan tindak pidana) , dan pre trial conference (perencanaan sidang pengadilan , termasuk hak-hak berperkara dan pembuktian).

Perlu dipahami bahwa pada proses pre trial conference , magistrate court sama sekali tidak melaksanakan pengujian dan penyidikan terhadap alat bukti berkaitan dengan sangkaan terhadap tersangka alasannya kontrol keabsahan perolehan alat bukti dari penegak aturan diselaraskan dari exclusionary rules pada dikala investigasi sangkaan di persidangan pokok , yaitu court trial dan bukan pada pre trial. Permasalahan inilah yang berkembang sebagai masalah aturan dalam praktik forum praperadilan terhadap penegakan aturan , termasuk kasus korupsi , manakala penetapan tersangka , adanya pendapat berkembang untuk menerangkan adanya dua alat bukti di hadapan persidangan hakim praperadilan.

Dua alat bukti

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 selain memperluas obyek somasi praperadilan pada Pasal 77 KUHAP yang meliputi pula penetapan tersangka dan pemahaman "bukti permulaan yang cukup" (Pasal 1 angka 14 , Pasal 17 , dan Pasal 21 ayat 1 KUHAP).

Hulu pertimbangan putusan ini ialah teladan pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti atau illegal secured evidence yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules , yaitu dari kasus Dominique Khan yang disangkakan melaksanakan pelecehan seksual terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di Magistrates Court New York alasannya perolehan alat bukti penegak aturan dianggap melanggar rights of protection by the state , disciplining the police , dan the legitimacy of the verdict.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kedua forum ini (pre trial dan praperadilan) mempunyai kesamaan , yaitu hakim sama-sama berperan aktif pada proses sebelum persidangan (materi/pokok) perkaranya , sedangkan perbedaannya terletak pada wewenang hakim yang menempel dari forum tersebut.

Pada pre trial , hakim mempunyai kewenangan tidak saja sebagai examinating judge , tetapi juga meliputi wewenang investigating judge. Sementara pada hakim praperadilan hanya mempunyai wewenang terbatas pada examinating judge dan itu pun tidak terhadap wewenang pengujian seluruh upaya paksa yang dilaknsanakan oleh penyidik , khususnya tidak melaksanakan pengujian terhadap alat bukti , bahkan keabsahan alat bukti yang dikaitkan dengan sangkaan atas unsur-unsur delik.

Penegak aturan , bukan KPK saja , tetapi juga Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan , harus mempersiapkan arus praperadilan dengan wajah gres berdua sisi ini , yaitu sebagai ganjal hak dukungan dan penghargaan hak asasi tersangka , tetapi di sisi lain juga sanggup memperlihatkan risiko besar atas pemberatasan kejahatan (korupsi).

Pertama , Pasal 9 ICCPR sama sekali tak memperlihatkan suatu tindakan bahwa bukti permulaan yang cukup , dengan dua alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka ialah imperatif ditunjukkan di hadapan hakim pra peradilan , apalagi apabila dua alat bukti ini dikaitkan dengan unsur-unsur delik.

Kedua , kewajiban memperlihatkan dua alat bukti di hadapan sidang hakim praperadilan merupakan suatu "reversal of evidence processing" , yang tegas dan terperinci bertentangan dengan prosesual pidana yang hanya sanggup dilakukan pengujian maupun penyidikan alat bukti di hadapan hakim pada investigasi kasus pokok/materi.

Ketiga , kewajiban memperlihatkan dua alat bukti di hadapan hakim praperadilan justru riskan dan membahayakan penegakan aturan terhadap pemberantasan korupsi sehingga membuka peluang besar pihak terkait (tersangka/saksi) untuk menyamarkan alat bukti , baik dengan cara menghilangkan , mengaburkan , maupun merusak alat bukti.

Keempat , dalam proses pra-ajudikasi (penyelidikan , penyidikan , atau penuntutan) , pengujian dua alat bukti di hadapan hakim praperadilan bertentangan dengan dasar dan filosofi tertutup dan bersifat rahasia. Menentukan "bukti permulaan yang cukup" (dua alat bukti) merupakan diskresi penuh penyidik , dengan filosofi tertutup dan diam-diam ialah sebagai alasan adanya niat jelek pihak terkait untuk menyamarkan alat bukti. Karena itu , pengujian alat bukti secara terbuka menjadi otoritas penuh dari hakim bagi investigasi pokok/materi (Pasal 184 KUHAP) , bukan wewenang hakim praperadilan.

Akhirnya , perbuatan yang menjadikan potensi kerugian negara yang sangat signifikan , dalam kasus per kasus , tidak seharusnya diabaikan dengan alasan prosesual keabsahan tidaknya dua alat bukti yang bahkan bukan domain hakim praperadilan. Karena itu , putusan Mahkamah Konstitusi tersebut (halaman 106) menegaskan bahwa dukungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana sehingga tetap sanggup dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah aturan yang berlaku secara ideal dan benar!

Indriyanto Seno Adji; Guru Besar Hukum Pidana; Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum

You Might Like :

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Praperadilan Dan Permasalahannya"

Total Pageviews

1059