Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Melampaui Dana Aspirasi

Paulinus Yan Olla

Wacana perihal dana aspirasi kembali menjadi buah bibir masyarakat. Usulan agenda pembangunan tempat pemilihan Rp 15 miliar-Rp 20 miliar per anggota DPR dipertanyakan efektivitas dan keuntungannya bagi rakyat. Alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat , banyak kalangan melihatnya sebagai pemicu korupsi gres wakil rakyat (Kompas , 16/6/2015).

Menyerap aspirasi sejatinya merupakan kerja batin. Para wakil rakyat seharusnya lebih banyak menjalin batin dengan rakyat untuk memahami kenyataan hidup rakyat.

Meminjam pandangan gres teolog dan pembela rakyat miskin , Jon Sobrino , langkah awal yang harus ditempuh dalam memperjuangkan mereka yang terlupakan (baca: rakyat miskin) ialah "kejujuran terhadap kenyataan" (Jon Sobrino , 1988). Maksudnya ialah perjumpaan para pembela kaum kecil dengan penderitaan , keputusasaan , dan "kematian" positif yang dialami rakyat.

Maka , titik tolak usaha para wakil rakyat dalam menyerap kebutuhan dasar rakyat bukanlah dana , melainkan suatu kerja rohani untuk mencerna segala yang membelenggu hidup rakyat dan memperjuangkan solusinya lewat forum eksekutif.

Sebelum sebuah aspirasi menjadi keputusan publik , akar aspirasi dibangun dari tenggang rasa wakil rakyat pada penderitaan , kegelapan , dan kegelisahan hidup keseharian rakyat biasa. Empati itu selanjutnya mendorong pertobatan intelektual dan kesepakatan untuk membela kepentingan rakyat (Todd Walatka , 2013).

Maka , transformasi realitas rakyat pertama-tama lahir dari pertobatan intelektual wakil rakyat alasannya ialah dari dalam batinnya mereka memperjuangkan apa yang mereka alami bersama rakyat. Di sana ada solidaritas sosial- religius. Pertobatan intelektual itu berbasis pengalaman ikut merasa tersakiti oleh realitas yang mendesak rakyat kecil ke tepi kemiskinan. Mereka tersentuh kesalahan putusan-putusan yang tidak memihak rakyat.

Aspirasi rakyat yang alhasil diusung para wakil rakyat jauh melampaui sekadar urusan dana dan lebih merupakan usaha "kemartiran": mengadakan transformasi melalui fungsi- fungsi pokok parlemen. Aspirasi itu diperjuangkan menjadi keputusan publik tanpa menyebabkan wakil rakyat sinterklas (baca: tukang bagi hadiah). Ia mengalir dari dalam batin wakil rakyat sebagai sebuah pengambilan posisi politik radikal berpihak pada rakyat yang menjadi korban.

Para wakil rakyat seharusnya mengambil jalan transformasi kenyataan melalui pengawasan biar anggaran pembangunan memihak seluruh rakyat di negeri ini , bukan hanya kepentingan sektarian kedaerahan. Perubahan dapat dilakukan melalui produksi legislasi yang memperlihatkan rasa adil kepada rakyat kecil. Yang paling esensial , aspirasi rakyat diperjuangkan wakil rakyat dengan tidak ikut ambil bab dalam membunuh harapan-harapan rakyat melalui korupsi.

Salah satu kekhawatiran utama dalam jebakan dana aspirasi ialah bakal makin jauhnya disparitas antardaerah dan rusaknya dana perimbangan melalui penggelontoran dana aspirasi. DPR yang seharusnya menjadi representasi kepentingan nasional digiring hanya menjadi corong pembangunan di tempat pemilihannya (Kompas , 16/6/2015).

 Kekhawatiran di atas sangat beralasan alasannya ialah negeri ini masih tertatih mendefinisikan diri dalam menyeimbangkan antara prinsip-prinsip "otonomi" dan prinsip "subsidiaritas"  dalam kerangka negara kesatuan RI.

Prinsip otonomi

Dalam prinsip otonomi , instansi yang lebih rendah (baca: pemerintahan daerah) diberi keleluasaan mengurus diri sendiri. Sedangkan hakikat prinsip subsidiaritas ialah pengendalian diri instansi yang lebih tinggi (baca: pemerintahan pusat) untuk tidak mengambil alih tanggung jawab instansi yang lebih rendah. Namun , institusi yang lebih tinggi bertanggung jawab menolong instansi yang lebih rendah mencapai kemandirian.

Kegagalan menyeimbangkan prinsip-prinsip sosial dalam tata kelola pemerintahan memicu munculnya peraturan tempat yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan kepala tempat yang bertindak seakan raja-raja kecil.

Otonomi yang dimaksudkan dapat memberi diskresi untuk menyejahterakan tempat , dalam perjalanannya dibajak dan disalahgunakan elite politik yang mengusung sektarian kedaerahan untuk laba pribadi.

Selain kekhawatiran di atas , usang dicatat pula , DPR , terutama DPRD , merupakan forum dengan indikator kinerja paling jelek (Ignas Kleden , 2014). Maka. di tingkat nasional , banyak pihak mengusulkan biar DPR sebaiknya meningkatkan kinerja dengan memaksimalkan fungsi-fungsi pokok dibandingkan memboroskan energi mengurus dana aspirasi. Kenyataannya , banyak negara maju dicekam jebakan fiskal utang yang membengkak dan Indonesia menghadapi mislokasi fiskal akut. Dana aspirasi dikhawatirkan melanggengkan mislokasi fiskal itu dan aspirasi DPR memperjuangkan kesejahteraan rakyat malahan makin sulit terwujud.

Paulinus Yan Olla; Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di SpiritualitÀ Teresianum , Roma; Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana , Malang

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Melampaui Dana Aspirasi"

Total Pageviews