A Prasetyantoko
Minggu kemudian , perekonomian domestik (kembali) diuji. Nilai tukar melemah dan ditutup pada Rp 13.336 per dollar Amerika Serikat atau terdepresiasi sekitar 7 persen terhadap posisi di awal tahun. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan berada pada level 4.935 atau melemah 5 ,6 persen dibandingkan dengan posisi pada awal tahun. Investor abnormal melaksanakan penjualan higienis senilai lebih dari Rp 7 triliun semenjak awak Juni.
Singkatnya , telah terjadi ”pelarian modal” yang berpotensi memicu efek multiplikasi negatif pada perekonomian domestik. Pertama , imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun menjadi 8 ,69 persen atau naik sekitar 52 basis poin dibandingkan dengan awal bulan , serta 89 basis poin bila dibandingkan dengan awal tahun. Jika pelarian modal terus berlanjut , beban biaya penerbitan obligasi pemerintah akan terus meningkat. Kedua , beban impor juga naik sehingga defisit neraca transaksi berjalan berpotensi melebar.
Seperti biasanya , likuiditas yang semakin ketat justru terjadi ketika pelambatan ekonomi tengah terjadi. Kondisi itu yaitu contoh siklus ekonomi tipikal pro-cycle. Maka , diharapkan langkah nyata guna melawan pemburukan situasi (counter-cycle). Kalaupun sebagian (besar) gejolak di pasar finansial lebih diakibatkan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang diperkirakan sekitar September , tetap saja langkah mitigasinya harus dilakukan di dalam negeri secara cepat. Kaprikornus , argumen perihal sumber gejolak dari luar perekonomian domestik tak lagi mendesak dijadikan alibi.
Pertama , perlu segera dirancang langkah mitigasi terhadap potensi kenaikan inflasi , khususnya menghadapi dua bulan ke depan ketika bulan Ramadhan dan Lebaran. Bulan kemudian , inflasi bulanan sebesar 0 ,5 persen , sedangkan inflasi tahunan sebesar 7 ,15 persen. Angka ini cukup merisaukan alasannya yaitu inflasi bulanan Mei kemudian tercatat tertinggi semenjak 6 tahun terakhir. Kondisi ini masih ditambah dengan pelemahan rupiah yang terus berlanjut sehingga inflasi dapat jadi bahaya serius alasannya yaitu impor kebutuhan pokok akan meningkat.
Kedua , mitigasi terhadap potensi kenaikan impor akhir percepatan realisasi belanja , terutama pembangunan infrastruktur. Semakin ekspansif belanja modal pemerintah , semakin besar potensi defisit neraca transaksi berjalan kita. Sebab , banyak komponen materi baku masih diimpor.
Dalam jangka pendek , upaya menenangkan pasar tetap harus dilakukan , contohnya dengan memantapkan protokol krisis , merealisasikan pendanaan untuk stabilisasi pasar (bond stabilization fund) , serta realisasi perangkat lain yang sifatnya merespons peringatan dini. Sementara dalam jangka menengah , relaksasi pajak barang glamor harus diperhitungkan dampaknya pada pencapaian sasaran penerimaan pajak yang begitu tinggi.
Prinsipnya , dengan pertumbuhan yang semakin melemah , semakin tidak mungkin sasaran penerimaan pajak tercapai. Dengan demikian , alokasi belanja yang paling mungkin dipangkas yaitu belanja modal. Kaprikornus , ekspektasi belanja infrastruktur sebesar Rp 290 triliun mungkin saja tidak akan menjadi kenyataan. Lagi-lagi , situasi pro-cycle terjadi.
Soal siklus ekonomi yang didorong dinamika sektor keuangan , Claudio Borio dari Bank for International Settlements (BIS) pernah mengingatkan , dinamika makroekonomi tanpa siklus keuangan bagaikan Hamlet tanpa Prince atau drama tanpa pemain drama utama. Artinya , krisis keuangan sudah menjadi ”pemeran utama” dalam kisah makroekonomi hari ini.
Soal melimpahnya likuiditas di negara berkembang akhir suntikan likuiditas di negara maju , sudah diingatkan banyak ekonom sebagai fenomena paradoks likuiditas. Situasi ini yaitu situasi dengan likuiditas tersedia melimpah , tetapi fungsi intermediasi tak berjalan dengan baik.
Kita selalu punya kisah sama , ketika likuiditas melimpah di pasar domestik , justru tak melaksanakan apa-apa. Kita gres bereaksi ketika terjadi gejolak akhir pelarian modal keluar.
Dalam konteks global , paradoks likuiditas ditandai dengan kembalinya likuiditas ke negara maju ketika ketidakpastian meningkat. Akibatnya , ketika pasokan likuiditas global terus bertambah , negara berkembang justru kekurangan likuiditas. Peraih Nobel bidang ekonomi , Nouriel Roubini , baru-baru ini juga mengingatkan , adonan antara embel-embel likuiditas yang terus meningkat dan pasar keuangan yang makin tak likuid yaitu sebuah bom waktu.
Salah satu kunci pokok bagi negara berkembang untuk melawan paradoks likuiditas yaitu mempercepat belanja pemerintah yang mendorong intermediasi. Fokusnya pada peningkatan daya saing ekonomi , bukan sekadar daya tahan terhadap gejolak krisis.
Selain itu , orientasinya juga harus jangka panjang , bukan jangka pendek. Dilema antara stabilitas dan intermediasi (pertumbuhan) hanya dapat diselesaikan dengan mempercepat perluasan tanpa mengorbankan stabilisasi. Untuk mencapai hal itu , diharapkan kemahiran menavigasi dinamika ekonomi yang makin tinggi hari-hari ini.
A Prasetyantoko; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Melawan Paradoks Likuiditas"