Pengantar Redaksi
Tema diskusi "Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" berangkat dari kampanye dua calon Presiden RI , yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Meskipun mempunyai pendekatan berbeda , keduanya menawarkan kecenderungan sama , yaitu menggunakan politik populis untuk menarik bunyi pemilih.
Politik populis merupakan fenomena gres di Indonesia , meskipun sudah dilakukan di Amerika Latin , Amerika Serikat melalui kelompok Tea Party di dalam partai Republik , dan Timur Tengah.
Di Eropa , politik populis ditandai munculnya partai-partai politik anti Uni Eropa , ibarat Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Perancis , United Kingdom Independence Party di Inggris , selain di Spanyol , Finlandia , dan Belanda. Yang paling mencolok yakni kemenangan Partai Syriza di Yunani. Di Asia Tenggara , ciri-ciri politik populis pernah hadir di Thailand dan Filipina.
Kemunculan politik populis secara global merupakan reaksi atas munculnya ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara bersangkutan.
Ketimpangan keadilan dan kemakmuran melahirkan pemimpin yang menggunakan politik populis. Politik ini juga muncul alasannya yakni kekecewaan pada janji-janji politik liberal , terutama di Barat , dan akad modernisme di negara berkembang.
Dapat dikatakan , politik populis berkaitan erat dengan pengaruh globalisasi neoliberal dan sering kali berbarengan dengan dominasi oligarki yang melahirkan ketidakpercayaan pada kekuatan politik dan organisasinya.
Muncul pertanyaan , apa pendorong dan basis sosial respons populis terhadap globalisasi neoliberal , korelasi antara populisme serta politik otoritarian dan demokrasi , serta bagaimana populisme menjawab bekerjanya ekonomi pasar pada satu sisi dan jadwal redistribusi kemakmuran pada sisi lain.
Jawab atas pertanyaan tersebut sanggup menggunakan pendekatan biner. Populisme intinya melibatkan konsepsi politik sebagai konflik antara massa atau orang biasa pada satu sisi dan elite yang opresif pada sisi lain. Bisa juga kontras antara "ekonomi tidak rasional" pada populisme dan "rasional" yang menempel pada pasar. Dalam organisasi , politik populis cenderung memotong kelembagaan dan memobilisasi massa untuk "demokrasi langsung" , sementara politik liberal menekankan pada sistem keterwakilan.
Beragam
Politik populis tidak tunggal dan bersifat kompleks. Justru alasannya yakni keberagaman basis sosial politik populis , mungkin terjadi bentuk-bentuk populisme yang saling bersaing.
Di Peru , Argentina , dan Thailand , contohnya , kebijakan ekonomi pro pasar mendukung politik populis. Karena politik ini merupakan reaksi atas dampak globalisasi neoliberal yang menimbulkan sebagian anggota masyarakat terpinggirkan , jadwal redistribusi sosial menjadi potongan yang melekat.
Dapat dikatakan , pendekatan politik populis pada ekonomi tergantung dari konteks sejarah dan basis pemberian sosial.
Dalam korelasi dengan demokrasi , politik populis sanggup melahirkan kecenderungan politik langsung pada masyarakat demokrasi ibarat di Barat. Namun , politik populis juga sanggup menekan institusi demokrasi sehingga ruang politik dipaksa melebar untuk mengakomodasi kelompok sosial marjinal , kalau perlu dengan mengorbankan politik keterwakilan.
Jelas kelompok populis sanggup bersaing dengan kelompok nonpopulis , tetapi keduanya juga sanggup beraliansi. Agenda tokoh atau partai yang dianggap populis sanggup diadopsi partai atau kekuatan lain yang lebih mapan sebagai kompetisi politik , termasuk pada alam demokrasi.
Dengan demikian , populisme di banyak negara mengalami "pengarus-utamaan" dalam banyak sekali bentuk.
Karena itu , untuk memahami politik populis harus melihat dari diskursus yang terjadi di dalam politik populis sendiri.
Populisme Asia Tenggara
Di Asia Tenggara , pola politik populis dilakukan Thaksin Shinawatra di Thailand dan Joseph Estrada di Filipina. Di Indonesia , dua kandidat presiden , Prabowo Subianto dan Joko Widodo , menggunakan politik populis untuk menarik pemilih.
Ada persamaan dan perbedaan politik populis di tiga negara ini. Estrada hanya mengandalkan popularitasnya sebagai eks pemain film dan gagal menggalang kekuatan massa pendukung menjadi kekuatan politik.
Thaksin berhasil membangun kekuatan massa rakyat miskin kota dan pedesaan , tetapi gagal menghadapi elite politik dan ekonomi ketika mencoba merealisasi akad redistribusi kemakmuran.
Di Indonesia , dua kandidat presiden , Prabowo Subianto dan Joko Widodo , sama-sama membawa jadwal populisme , antara lain akad redistribusi kemakmuran pro rakyat kecil. Meskipun menggunakan pendekatan berbeda , keduanya menggunakan jargon dari periode Soekarno dan sedikit banyak membawa semangat nasionalisme.
Sebagai presiden terpilih , Joko Widodo membawa komitmen redistribusi melalui jadwal jaminan kesehatan dan pendidikan untuk semua , membangun infrastruktur , dan membangun dari pinggiran.
Ada sejumlah tantangan untuk memenuhi komitmen tersebut. Pertama-tama , penyediaan anggaran dan untuk itu memerlukan reorganisasi fiskal. Jokowi , contohnya , menaikkan sasaran penerimaan pajak 30 persen dan menjadikan pertanyaan dari kalangan bisnis.
Reorganisasi hanya akan berhasil kalau juga mereformasi sistem yang merupakan kelindan antara birokrasi dan oligarki.
Oligarki dalam hal ini merujuk pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan kepentingan potongan teratas birokrasi negara , partai politik , dan pebisnis beserta keluarga mereka (Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets , Richard Robison dan Vedi R Hadiz , 2004). Aliansi sudah terbentuk pada periode Orde Baru , tetapi masih mempunyai kekuatan dan menguasai institusi demokrasi melalui politik uang.
Joko Widodo menerima pemberian masyarakat kelas menengah-bawah , tetapi tidak mempunyai organisasi petani atau buruh ibarat pada Lula da Silva (Brasil) dan Hugo Chavez (Venezuela). Dia juga tidak mempunyai basis pemberian dari kalangan bisnis ibarat Recep Tayyip Erdogan (Turki) atau Thaksin (Thailand). Juga tidak mempunyai parpol meskipun PDI-P , partai pendukungnya , menerima bunyi terbanyak pada Pemilu 2014.
Meskipun enam bulan waktu yang pendek untuk memilih masa kepresidenan lima tahun , hal itu telah cukup untuk memberi citra sehingga memunculkan pertanyaan , apakah periode partai politik telah berakhir. Jika Jokowi tidak sanggup melaksanakan transformasi institusi politik alasannya yakni tidak mempunyai kapasitas organisasi , mampukah ia mengatasi politik oligarki?
Kemungkinan lain , politik Indonesia akan lebih diwarnai persaingan politik populis daripada pertarungan antara politik absolut dan demokrasi atau antara tata kelola pemerintahan yang baik melawan korupsi.
Harian "Kompas" bersama Asia Research Centre , Murdoch University , Australia , mengadakan diskusi terbatas bertema "Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" di Redaksi "Kompas" Jakarta , selesai April lalu. Panelis dari Asia Research Centre yakni Dr Jane Hutchison , Prof Kevin Hewison , Prof Richard Robison , dan Prof Vedi R Hadiz. Pembahas yakni Pemimpin Redaksi Jurnal "Prisma" Dr Daniel Dhakidae , Dr Hilmar Farid dari Seknas Jokowi , sosiolog Dr Ignas Kleden , dan moderator peneliti LIPI Dr Riwanto Tirtosudarmo. Laporan disajikan Ninuk M Pambudy , Adi Prinantyo , B Josie S Hardianto , dan MH Samsul Hadi berikut ini.
Tema diskusi "Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?" berangkat dari kampanye dua calon Presiden RI , yaitu Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Meskipun mempunyai pendekatan berbeda , keduanya menawarkan kecenderungan sama , yaitu menggunakan politik populis untuk menarik bunyi pemilih.
Politik populis merupakan fenomena gres di Indonesia , meskipun sudah dilakukan di Amerika Latin , Amerika Serikat melalui kelompok Tea Party di dalam partai Republik , dan Timur Tengah.
Di Eropa , politik populis ditandai munculnya partai-partai politik anti Uni Eropa , ibarat Partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Perancis , United Kingdom Independence Party di Inggris , selain di Spanyol , Finlandia , dan Belanda. Yang paling mencolok yakni kemenangan Partai Syriza di Yunani. Di Asia Tenggara , ciri-ciri politik populis pernah hadir di Thailand dan Filipina.
Kemunculan politik populis secara global merupakan reaksi atas munculnya ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara bersangkutan.
Ketimpangan keadilan dan kemakmuran melahirkan pemimpin yang menggunakan politik populis. Politik ini juga muncul alasannya yakni kekecewaan pada janji-janji politik liberal , terutama di Barat , dan akad modernisme di negara berkembang.
Dapat dikatakan , politik populis berkaitan erat dengan pengaruh globalisasi neoliberal dan sering kali berbarengan dengan dominasi oligarki yang melahirkan ketidakpercayaan pada kekuatan politik dan organisasinya.
Muncul pertanyaan , apa pendorong dan basis sosial respons populis terhadap globalisasi neoliberal , korelasi antara populisme serta politik otoritarian dan demokrasi , serta bagaimana populisme menjawab bekerjanya ekonomi pasar pada satu sisi dan jadwal redistribusi kemakmuran pada sisi lain.
Jawab atas pertanyaan tersebut sanggup menggunakan pendekatan biner. Populisme intinya melibatkan konsepsi politik sebagai konflik antara massa atau orang biasa pada satu sisi dan elite yang opresif pada sisi lain. Bisa juga kontras antara "ekonomi tidak rasional" pada populisme dan "rasional" yang menempel pada pasar. Dalam organisasi , politik populis cenderung memotong kelembagaan dan memobilisasi massa untuk "demokrasi langsung" , sementara politik liberal menekankan pada sistem keterwakilan.
Beragam
Politik populis tidak tunggal dan bersifat kompleks. Justru alasannya yakni keberagaman basis sosial politik populis , mungkin terjadi bentuk-bentuk populisme yang saling bersaing.
Di Peru , Argentina , dan Thailand , contohnya , kebijakan ekonomi pro pasar mendukung politik populis. Karena politik ini merupakan reaksi atas dampak globalisasi neoliberal yang menimbulkan sebagian anggota masyarakat terpinggirkan , jadwal redistribusi sosial menjadi potongan yang melekat.
Dapat dikatakan , pendekatan politik populis pada ekonomi tergantung dari konteks sejarah dan basis pemberian sosial.
Dalam korelasi dengan demokrasi , politik populis sanggup melahirkan kecenderungan politik langsung pada masyarakat demokrasi ibarat di Barat. Namun , politik populis juga sanggup menekan institusi demokrasi sehingga ruang politik dipaksa melebar untuk mengakomodasi kelompok sosial marjinal , kalau perlu dengan mengorbankan politik keterwakilan.
Jelas kelompok populis sanggup bersaing dengan kelompok nonpopulis , tetapi keduanya juga sanggup beraliansi. Agenda tokoh atau partai yang dianggap populis sanggup diadopsi partai atau kekuatan lain yang lebih mapan sebagai kompetisi politik , termasuk pada alam demokrasi.
Dengan demikian , populisme di banyak negara mengalami "pengarus-utamaan" dalam banyak sekali bentuk.
Karena itu , untuk memahami politik populis harus melihat dari diskursus yang terjadi di dalam politik populis sendiri.
Populisme Asia Tenggara
Di Asia Tenggara , pola politik populis dilakukan Thaksin Shinawatra di Thailand dan Joseph Estrada di Filipina. Di Indonesia , dua kandidat presiden , Prabowo Subianto dan Joko Widodo , menggunakan politik populis untuk menarik pemilih.
Ada persamaan dan perbedaan politik populis di tiga negara ini. Estrada hanya mengandalkan popularitasnya sebagai eks pemain film dan gagal menggalang kekuatan massa pendukung menjadi kekuatan politik.
Thaksin berhasil membangun kekuatan massa rakyat miskin kota dan pedesaan , tetapi gagal menghadapi elite politik dan ekonomi ketika mencoba merealisasi akad redistribusi kemakmuran.
Di Indonesia , dua kandidat presiden , Prabowo Subianto dan Joko Widodo , sama-sama membawa jadwal populisme , antara lain akad redistribusi kemakmuran pro rakyat kecil. Meskipun menggunakan pendekatan berbeda , keduanya menggunakan jargon dari periode Soekarno dan sedikit banyak membawa semangat nasionalisme.
Sebagai presiden terpilih , Joko Widodo membawa komitmen redistribusi melalui jadwal jaminan kesehatan dan pendidikan untuk semua , membangun infrastruktur , dan membangun dari pinggiran.
Ada sejumlah tantangan untuk memenuhi komitmen tersebut. Pertama-tama , penyediaan anggaran dan untuk itu memerlukan reorganisasi fiskal. Jokowi , contohnya , menaikkan sasaran penerimaan pajak 30 persen dan menjadikan pertanyaan dari kalangan bisnis.
Reorganisasi hanya akan berhasil kalau juga mereformasi sistem yang merupakan kelindan antara birokrasi dan oligarki.
Oligarki dalam hal ini merujuk pada aliansi politik-birokratis dan bisnis yang menggabungkan kepentingan potongan teratas birokrasi negara , partai politik , dan pebisnis beserta keluarga mereka (Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets , Richard Robison dan Vedi R Hadiz , 2004). Aliansi sudah terbentuk pada periode Orde Baru , tetapi masih mempunyai kekuatan dan menguasai institusi demokrasi melalui politik uang.
Joko Widodo menerima pemberian masyarakat kelas menengah-bawah , tetapi tidak mempunyai organisasi petani atau buruh ibarat pada Lula da Silva (Brasil) dan Hugo Chavez (Venezuela). Dia juga tidak mempunyai basis pemberian dari kalangan bisnis ibarat Recep Tayyip Erdogan (Turki) atau Thaksin (Thailand). Juga tidak mempunyai parpol meskipun PDI-P , partai pendukungnya , menerima bunyi terbanyak pada Pemilu 2014.
Meskipun enam bulan waktu yang pendek untuk memilih masa kepresidenan lima tahun , hal itu telah cukup untuk memberi citra sehingga memunculkan pertanyaan , apakah periode partai politik telah berakhir. Jika Jokowi tidak sanggup melaksanakan transformasi institusi politik alasannya yakni tidak mempunyai kapasitas organisasi , mampukah ia mengatasi politik oligarki?
Kemungkinan lain , politik Indonesia akan lebih diwarnai persaingan politik populis daripada pertarungan antara politik absolut dan demokrasi atau antara tata kelola pemerintahan yang baik melawan korupsi.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kala Politik Populis Di Asia Tenggara Dan Demokrasi"