Muhammad Syarkawi Rauf
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama 2015 sebesar 4 ,71 persen , lebih rendah dibandingkan triwulan yang sama 2014 sebesar 5 ,14 persen. Secara tahunan , pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan tidak akan mencapai 5 ,8 persen sesuai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Pelambatan pertumbuhan disebabkan pada dua faktor: (1) Faktor internal terkait lambatnya realisasi belanja pembangunan infrastruktur pemerintah. (2) Faktor eksternal terkait penurunan harga komoditas tambang dan perkebunan di pasar internasional , pelambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok , dan rencana kenaikan suku bunga pola di Amerika Serikat (Kompas , 21/5).
Sejujurnya , kedua faktor di atas hanyalah tanda-tanda dari permasalahan bahu-membahu , yaitu lemahnya institusi ekonomi nasional. Institusi ekonomi yang mencakup peraturan , kebijakan , kelembagaan , norma , dan lainnya tidak menawarkan insentif untuk berinvestasi dan berinovasi.
Hal ini sejalan dengan pandangan dua profesor ekonomi , Daron Acemoglu dari Massachusetts Institute of Technology dan James A Robinson dari Universitas Harvard yang menulis buku Why Nations Fail; The Origin of Power , Prosperity and Poverty , dan dalam waktu singkat menjadi acuan di seluruh dunia.
Keduanya berkesimpulan bahwa kemiskinan di negara miskin bukan karena faktor geografis atau budaya , tetapi karena pemimpinnya gagal menciptakan kebijakan yang tepat. Negara gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir pelaku perjuangan (oligopolis).
Institusi ekonomi
Dengan previlese institusi ekonomi nasional , perdagangan komoditas dikuasai segelintir importir dan pedagang besar yang mempunyai jaringan distribusi sampai ke konsumen final (terintegrasi secara vertikal). Pola ini belum sepenuhnya hilang sehabis dua dekade periode reformasi.
Perekonomian nasional didominasi para pemburu rente (rent seeker) yang berspekulasi mengambil margin harga tinggi memanfaatkan situasi pasar yang tidak stabil. Tindakan tersebut menguntungkan dalam jangka pendek , tetapi tidak dalam jangka panjang karena menghambat industrialisasi (hilirisasi).
Perburuan rente dilakukan dengan cara bersekongkol untuk menetapkan harga (price fixing) , membagi wilayah pemasaran (market allocation) , membatasi produksi (output restriction) , persekongkolan tender (collusive bid rigging) , penetapan harga dalam rangka mematikan pesaing (predatory pricing) , dan lainnya.
Tidak terhindarkan , pertumbuhan ekonomi Indonesia pada lebih dari satu dekade terakhir hanya ditopang oleh acara ekonomi ekstraktif yang dikontrol segelintir pelaku perjuangan (sisi pasokan). Sementara dari sisi pengeluaran , pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tergantung kepada konsumsi rumah tangga (sisi permintaan).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh dari kata inklusif karena penggagas utamanya di aneka macam sektor masih terkonsentrasi kepada segelintir oligopolis yang mempunyai market power (kekuatan mengontrol harga). Faktanya , model pertumbuhan ekonomi ibarat ini tidak hanya ringkih , tetapi sekaligus tidak berkelanjutan.
Mayoritas acara ekonomi nasional terkonsentrasi tinggi. Di mana terdapat beberapa pelaku perjuangan yang menguasai pasar , ibarat yang sanggup dilihat pada perdagangan komoditas pangan , industri otomotif , sektor perbankan , transportasi udara , industri komponen , dan lainnya.
Arusutamakan persaingan
Institusi ekonomi nasional yang jelek melahirkan bahaya middle income trap (MIT) , yaitu situasi suatu negara yang terjebak sebagai perekonomian yang mengandalkan buruh murah (low wage producer) dengan sedikit pekerja berketerampilan tinggi , sebagai inovator (highly skill , fast moving operator).
Kelompok negara ini tidak lagi bisa mengandalkan keunggulan ketersediaan buruh murah dan juga tidak bisa bersaing dengan negara maju yang sudah mempunyai keunggulan pada tenaga kerja berketerampilan tinggi. Negara ini hanya melayang-layang di tengah , tidak bisa naik kelas menjadi negara maju.
Secara teknis , perekonomian Indonesia telah memasuki perangkap karena lebih dari 28 tahun berpendapatan per kapita di bawah 11.750 dollar AS , yaitu batas pendapatan negara dalam middle income group. Di mana batasan pendapatan per kapita dikategorikan low income group di bawah 2.000 dollar AS , middle income group antara 2.000-11.750 dollar AS dan high income group di atas 11.750 dollar AS (ADB , 2013).
Target pemerintah
Jika pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun dalam lima tahun ke depan , maka maksimum pendapatan per kapita yang sanggup dicapai hanya 5.918 dollar AS pada 2019 dan 12.458 dollar AS pada 2030.
Pengalaman Korea yang berstatus negara maju pada 2000 dan Jepang 1970-an , ialah karena pertumbuhan ekonominya ditopang oleh pertumbuhan total factor productivity (TFP). Di mana TFP growth dikaitkan dengan intangible asset , ibarat kemampuan penemuan dan keterampilan.
Sehingga opsi bagi Jokowi-JK dihentikan dibatasi pada "revolusi mental" , tetapi juga "revolusi produksi" dengan cara mendorong pertumbuhan produktivitas melalui kebijakan wacana persaingan.
Jalur transmisinya melalui tiga susukan , yaitu: (1) Persaingan mendorong efisiensi penggunaan sumber daya. (2) Persaingan menghilangkan barrier to entry and exit. (3) Persaingan menawarkan insentif melaksanakan penemuan serta penelitian dan pengembangan (R&D).
Di mana , hanya ada satu cara mempertahankan pertumbuhan tinggi dalam jangka panjang , yaitu mengakselerasi pertumbuhan produktivitas melalui persaingan sehat. Pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai otoritas persaingan harus membangun konsensus untuk melindungi persaingan bukan pesaing.
Hal itu sejalan dengan Paul Krugman , yang menyatakan bahwa: "productivity isn't everything , but in the long run it is almost everything".
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menghindari Perangkap"