Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Mitos Migrasi Jakarta

Edy Priyono

Operasi Yustisi Kependudukan merupakan salah satu rutinitas Pemprov DKI Jakarta yang dijalankan setiap tahun , khususnya sesudah Lebaran. Sejak tahun 2014 namanya diganti menjadi Operasi Bina Kependudukan , tetapi tujuannya sama , membatasi migran dari luar Jakarta masuk ke Ibu Kota.

Kebijakan itu bertolak dari perkiraan bahwa migrasi merupakan salah satu kasus kependudukan di Jakarta. Migrasi dianggap sebagai penyebab terus bertambahnya jumlah penduduk Jakarta: 10 ,1 juta jiwa tahun 2015.

Untuk sebuah provinsi , angka 10 ,1 juta bahwasanya tidak istimewa , masih kalah dengan Jawa Barat (46 ,7 juta jiwa) , Jawa Timur (38 ,8 juta jiwa) , Jawa Tengah (33 ,8 juta jiwa) , Sumatera Utara (13 ,9 juta jiwa) , bahkan Banten (11 ,9 juta jiwa). Jumlah penduduk Jakarta gres terasa dilihat dari sisi kepadatan.

Tahun 2013 , kepadatan penduduk Jakarta 15.000 orang per kilometer persegi. Tak ada satu provinsi pun yang mendekati angka itu. Yang terdekat , Jawa Barat , hanya 1.282 orang per km2. Kepadatan penduduk Jakarta bahkan lebih dari dua kali lipat kepadatan penduduk Hongkong , salah satu kota terpadat di Asia.

Sebenarnya tidak pernah ada perdebatan wacana jumlah lantaran sudah banyak yang tahu Jakarta sudah masuk kategori megacity. Masalahnya , apakah benar migrasi merupakan faktor kunci di balik fakta tersebut? Pertanyaan tersebut kemudian akan berimplikasi pada evaluasi wacana relevansi Operasi Yustisi/Bina Kependudukan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Lebih banyak keluar

Jika yang diperhitungkan yakni migrasi masuk selama lima tahun terakhir sebelum pendataan (recent migration) , data BPS menunjukkan bahwa jumlah migran masuk ke Jakarta tahun 2010 (atau mereka berpindah selama periode 2005-2010) yakni 644.000 orang. Jumlah tersebut relatif besar , tetapi ada beberapa hal yang patut dicermati.

Pertama , meskipun besar , jumlah migran masuk ke Jakarta bukan yang terbesar. Angka tersebut memang lebih besar dari Banten (urutan berikut sesudah Jakarta , 465.000 orang) , tetapi masih cukup jauh dibandingkan migran masuk ke Jawa Barat pada periode yang sama , 1 juta orang.

Kedua , kalau dilihat antarwaktu , jumlah migran ke Jakarta bahwasanya menunjukkan kecenderungan menurun. Tahun 1990 , migran masuk ke Jakarta tercatat 833.000 , tahun 2000 angka tersebut turun menjadi 702.000.

Angka migrasi di Jakarta semakin "tidak mengkhawatirkan" kalau melihat migrasi keluar. Pada tahun 2010 BPS mencatat lebih dari 883.000 orang keluar dari Jakarta , diduga banyak di antara mereka yang berpindah ke Jawa Barat dan Banten (mengingat besarnya migrasi masuk ke dua provinsi itu). Angka migrasi keluar Jakarta hanya kalah dengan Jawa Tengah (980.000 orang).

Dengan gampang sanggup teramati , jumlah migran keluar Jakarta lebih besar daripada yang masuk. Sebagai konsekuensinya , tahun 2010 migrasi neto di DKI Jakarta yakni negatif (-239.000). Angka tersebut memang lebih rendah dibandingkan provinsi lain yang sama-sama punya migrasi neto negatif , menyerupai Jawa Tengah , Jawa Timur , dan Sumatera Utara , tetapi tetap penting bagi orang-orang yang masih menganggap Jakarta masih terus disesaki kaum pendatang.

Angka migrasi neto yang negatif itu bahkan bukan hanya terjadi tahun 2010. Sejak tahun 1990 , migrasi neto selalu negatif dan berkecenderungan meningkat (nilai negatif semakin besar). Migrasi neto positif (artinya lebih banyak orang yang masuk ke Jakarta daripada yang keluar) di Jakarta hanya terjadi hingga tahun 1985.

Jadi , sanggup dikatakan Jakarta bahwasanya sudah tak bermasalah dengan migrasi. Sejak 1990 , pertambahan penduduk Jakarta bukan disebabkan oleh migrasi , melainkan lantaran pertumbuhan penduduk alamiah (selisih antara kelahiran dan kematian).

Masalah kualitas

Meski bahwasanya tidak punya kasus dengan migrasi , bukan berarti Jakarta tidak punya kasus kependudukan sama sekali. Masalah itu terletak pada beberapa aspek yang mencerminkan kualitas penduduk.

Tahun 2013 angka pengangguran terbuka di Jakarta yakni 9 ,02 persen. Angka tersebut lebih tinggi daripada rata-rata nasional (6 ,25 persen). Fakta itu menunjukkan , tak benar di Jakarta orang gampang mendapat pekerjaan , kecuali kalau yang dimaksud yakni pekerjaan di sektor informal.

Akibatnya , kesenjangan pendapatan antarpenduduk di Jakarta relatif besar. Hal itu terlihat dari Gini Ratio (GR) yang mengukur kesenjangan. Tahun 2013 , rata-rata GR di Jakarta yakni 0 ,433 , juga lebih besar daripada rata-rata semua provinsi sebesar 0 ,413. Bahkan , tidak sedikit yang beropini bahwa angka itu underestimate atau lebih rendah daripada kenyataan sebenarnya.

 Dari sisi pembangunan sanitasi , tahun 2013 tercatat ada 0 ,44 persen penduduk Jakarta yang tidak memiliki atau memakai toilet. Artinya , itulah persentase penduduk yang buang air besar sembarangan (BABS) di ruang terbuka (open defecation).

 Angka BABS 0 ,44 di atas bahwasanya terendah dibandingkan semua provinsi lain di Jakarta. Namun , kalau direfleksikan ke dalam jumlah penduduk , angka tersebut melibatkan kurang lebih 45.000 orang. Itu merupakan sebuah angka yang perlu ditangani serius kalau ada individu melaksanakan BABS , yang terkena imbas yakni seluruh anggota masyarakat di sekelilingnya (bukan hanya pelaku BABS).

Masih terkait dengan sanitasi , cukup mengejutkan bahwa saluran terhadap air minum layak di Jakarta ternyata tidak bagus. Tahun 2013 , data BPS menunjukkan , hanya 23 persen penduduk Jakarta yang mengakses air minum layak. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 41 persen.

Besar kemungkinan rendahnya saluran terhadap air minum layak tersebut disebabkan buruknya kualitas air tanah di Jakarta , padahal masih banyak penduduk yang menggunakannya sebagai sumber air minum. Jika saluran terhadap air pipa tak segera ditingkatkan , dilema air minum akan semakin serius.

Selain aneka macam indikator di atas , aspek kualitas hidup lain , menyerupai keamanan dan keluhan terhadap tanda-tanda penyakit di Jakarta , juga mengkhawatirkan. Kesemuanya menunjukkan , penduduk Jakarta masih menghadapi kasus kualitas hidup.

Tidak sulit menarik kesimpulan dari apa yang dipaparkan secara singkat tersebut. Jelas bahwa Jakarta bahwasanya tidak bermasalah dengan migrasi. Oleh lantaran itu , kalau tujuannya yakni secara eksklusif ataupun tidak eksklusif membatasi migrasi masuk ke Jakarta , Operasi Yustisi atau Bina Kependudukan sebaiknya dilarang lantaran tidak relevan.

Lain ceritanya kalau tujuannya untuk ketertiban manajemen kependudukan secara umum. Itu boleh dilakukan , tetapi tak usah dikaitkan dengan Idulfitri , juga tidak usah diberi istilah "operasi". Penertiban manajemen kependudukan merupakan kepingan dari kiprah rutin jajaran Pemprov DKI.

Terkait kependudukan , Pemprov sebaiknya fokus di peningkatan kualitas hidup , terutama terkait dengan saluran terhadap air minum layak , akomodasi sanitasi yang baik , keamanan , dan penyediaan lapangan kerja layak bagi penduduknya. Yang tidak boleh dilupakan yakni kasus kesenjangan antarpenduduk.

Jika tidak sanggup menurunkan kesenjangan , setidaknya Pemprov sanggup menyusun langkah- langkah untuk mengantisipasi dan mengatasi imbas negatif yang ditimbulkan oleh tingginya kesenjangan.

Edy Priyono; Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik "Akademika"; Dosen FEB UI

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mitos Migrasi Jakarta"

Total Pageviews