Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Usia Perkawinan Progresif

Suteki

Sejumlah forum swadaya masyarakat sontak menyatakan kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak menaikkan batas usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 tahun ke 18 tahun.

Putusan MK terkait Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 wacana Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sangat terbuka untuk diperdebatkan (debatable).

Alasan MK memutus bahwa pasal itu masih tetap relevan , yaitu bahwa tak ada jaminan yang sanggup memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun , akan semakin mengurangi angka perceraian , menanggulangi permasalahan kesehatan , maupun meminimalisasi permasalahan sosial lainnya. MK juga menolak penambahan usia nikah perempuan , sebab di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.

Sebagian besar hakim MK juga beropini , di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah beraneka , mulai 17 , 19 , dan 20 tahun. Namun , dalam pembacaan putusan itu , ada seorang hakim konstitusi , Maria Farida Indrati , yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Maria menyatakan usia 16 tahun dalam UU Perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 1 telah menjadikan ketidakpastian aturan dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam Pasal 1 Ayat 3 , Pasal 24 b Ayat 2 , Pasal 8 c Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan MK ini menuai kritik pegiat LSM yang menyatakan putusan itu berarti negara membiarkan adanya potensi anak perempuan mengalami janjkematian dan keanehan sebagai risiko dari perkawinan dan melahirkan pada usia anak-anak. Sangat banyak anak perempuan putus sekolah , kesehatan reproduksi mereka sangat jelek , angka janjkematian ibu dan anak sangat tinggi. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tak akan pernah terjadi , kalau belum dewasa perempuan terjebak dalam aturan aturan yang membolehkan mereka menjadi korban perkawinan anak-anak.

Keputusan ini juga dinilai telah mengandaskan mimpi anak Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Bahkan , Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Sarsanto W Sarwono menyatakan keputusan MK ini bisa diartikan "negara juga berperan melegalkan praktik pedofilia".

Batasan cendekia balig

Menanggapi debat soal putusan MK yang bersifat selesai dan binding itu saya beropini putusan MK itu benar secara deduktif-kuantitatif , tetapi salah secara induktif kualitatif. Secara deduktif-kuantitatif sanggup dikatakan pertimbangan MK lebih didominasi keterkungkungan MK secara normatif dan numerik dalam melihat perkara. MK dalam pertimbangannya , contohnya , menyatakan dalam aturan Islam tak ada batasan usia perempuan atau laki-laki untuk kawin. Yang ada hanya batasan cendekia balig. Usia cendekia balig ditandai kalau perempuan telah tiba bulan (haid) dan laki-laki telah mimpi berair (mengeluarkan sperma).

Padahal , filosofi cendekia balig secara induktif kualitatif tak semata-mata matang secara jasmani , melainkan matang secara rohani sehingga bisa membedakan mana yang benar dan mana salah. Apakah ada jaminan sesudah secara jasmani matang , akan diikuti dengan kematangan jiwa? Secara sosiologis kita sanggup melihat ada budaya tertentu di Nusantara yang menuntun bagaimana orangtua mengawinkan anaknya. Sudah ratusan tahun orang Jawa , khususnya Jawa Tengah , punya prinsip kapan mereka layak mengawinkan anaknya. Mereka akan mengawinkan anaknya bila telah "kuat gawe"".

Kuat gawe diartikan secara induktif kualitatif bahwa perempuan dan laki-laki yang hendak dikawinkan telah dinilai berpengaruh raga , berpengaruh jiwa , dan berpengaruh banda (harta benda). Kuat raga berarti berpengaruh bekerja dan secara jasmani telah matang dalam bekerjasama suami-istri (seksual). Kuat jiwa mengatakan kematangan mental dalam bekerjasama dengan istri , keluarga istri serta bisa bertetangga yang baik (rukun tetangga). Kuat banda , berarti bisa menjamin kelangsungan keluarga secara ekonomi , yaitu mempunyai pegaweyan atau pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Ketiga kekuatan inilah yang terus dibina orangtua zaman dulu kepada anaknya meski mereka tak mengenyam pendidikan sama sekali bahkan buta huruf. Mereka semula tak mematok angka tertentu untuk menilai apakah anaknya sudah layak kawin ataukah belum. Hingga pada 1974 sebab tuntutan kepastian aturan Presiden dan dewan perwakilan rakyat menetapkan batas usia perempuan dan laki-laki untuk menikah , yakni 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki melalui UU No 1/1974 wacana Perkawinan sebab saat itu dengan batas usia perkawinan ibarat itu dinilai perempuan dan laki-laki telah "kuat gawe".

Tuntutan perubahan

Kini sudah 41 tahun UU No 1/ 1974 wacana Perkawinan berlaku. Dan kita sadar serta membenarkan kata Heraclitus bahwa dunia ini pantareich , bergerak , beringsut , tanpa henti. Fakta , perkembangan serta tuntutan masyarakat secara dinamis terus berubah maju secara progresif. Termasuk aturan dituntut bersifat progresif dalam menanggapi fakta , perkembangan serta tuntutan masyarakatnya. Bila tidak , aturan akan ditinggalkan bahkan dilecehkan. Mengukuhi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) untuk tetap bersikukuh dengan angka 16 dan 19 untuk batas usia perkawinan serta menolak tawaran ke angka 18 dan 20 untuk batas usia perkawinan sama artinya MK melawan adanya fakta , perkembangan , serta tuntutan masyarakat kini.

Bila MK menyatakan tak ada jaminan yang sanggup memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk perempuan dari 16 ke 18 tahun akan kian mengurangi angka perceraian , menanggulangi permasalahan kesehatan , maupun meminimalkan permasalahan sosial lain , maka sanggup pula ditanyakan balik apa salahnya kalau batas usia itu dinaikkan dari 16 dan 19 ke 18 dan 20? Apakah melanggar akhlak , etik , agama atau aturan mana yang dilanggar? Apakah perkembangan yang demikian masif di dunia pendidikan , kesehatan , serta sumbangan anak dan kesejahteraan sosial tak cukup menjadi bukti bahwa perkawinan yang dilakukan terlalu dini secara kualitatif dan prediktif telah dan akan melahirkan kualitas generasi yang lemah sebab kenyataannya pada usia itu mereka belum "kuat gawe" sebagaimana filosofi sebuah perkawinan. Di sini saya menilai MK secara khusus dalam putusan ini peka dan tidak progresif.

Apalah lacur dikata , nasi telah menjadi bubur. Putusan MK telah selesai dan binding. Putusan yang tak sanggup digugat kembali dan bersifat mengikat secara normatif. Namun , kita tak boleh putus asa. Masih ada keinginan mewujudkan mimpi menyejahterakan dan mendewasakan perempuan melalui batas usia perkawinan yang lebih baik. Langkah pertama , mendorong serta mengawal forum legislatif untuk melaksanakan perubahan terhadap UU No 1/ 1974. Secara sosiologis , juga harus terus dikampanyekan kepada masyarakat untuk tak melaksanakan perkawinan dini kecuali dalam keadaan darurat , dan ini pun harus dilakukan seizin pengadilan.

Karut-marut di bidang pembatasan usia cukup umur dalam aturan kita ini terjadi sebagai jawaban kita tak mempunyai the umbrella act sebagai ciri khas negara yang condong kepada sistem aturan civil law. Tengoklah sistem regulasi kita yang semrawut dan terkesan over regulation , tumpang tindih bahkan kontroversial. KUH Perdata , KUH Pidana , UU Perkawinan , UU Perlindungan Anak , UU Jabatan Notaris 2014 tak mengatur batas yang sama dalam memilih kedewasaan serta kecakapan seseorang di depan hukum. Tak kita temukan harmonisasi hukum. Kita harus pula merancang dan sesegera mungkin mempunyai kitab aturan perdata buatan insan Indonesia sehingga kita mempunyai the umbrella act di bidang keperdataan yang telah diubahsuaikan konteks keindonesiaan.

Dari sinilah kita mempunyai grand design untuk mengatur secara serasi apa dan bagaimana usia cukup umur yang "kuat gawe" itu. Untuk menjaga martabat perempuan , batas usia perkawinan mesti progresif terhadap fakta , perkembangan , serta tuntutan masyarakat. Perempuan ialah saka guru negara , jelek perempuan , negara akan ambruk dan terpuruk. Baiknya perempuan akan menjamin kemasyhuran suatu negara. Kapan lagi kita memulai melindungi perempuan dari potensi buruknya perkawinan dini , menjamin pendidikannya cukup , serta memenuhi hak- haknya untuk sejahtera. Kita hormati putusan MK , namun kita lawan ijab kabul dini di usia 16 dan 19 itu. Hakim Maria yang beropini lain dan sendirian tak berarti salah , dan tak otomatis hakim-hakim yang dominan menolak penaikan batas usia perkawinan itu benar.

Boleh jadi di kemudian hari pendapat hakim Maria-lah yang terbukti benar.

Suteki; Guru Besar Ilmu Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Usia Perkawinan Progresif"

Total Pageviews