Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Penghalauan Kapal Dengan Uang

Hikmahanto Juwana

Aparat intelijen Australia , sebagaimana dilansir oleh Sydney Morning Herald , diduga memperlihatkan uang 5.000 dollar Amerika Serikat kepada nakhoda dan awak kapal warga Indonesia yang membawa para pencari suaka. Tujuannya biar kapal yang menuju Australia berbalik arah ke Indonesia.

Meski tidak menolak atau mengakui dugaan tersebut , Perdana Menteri Tony Abbott menganggap tindakan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Australia. Abbott menyampaikan , yang terpenting yaitu kapal sanggup tidak boleh untuk masuk ke Australia (we have stopped the boats). Seolah segala cara sanggup dibenarkan , termasuk sikap koruptif dengan memakai uang.

Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dalam pernyataannya atas kejadian ini justru menyalahkan Indonesia. Indonesia salah alasannya tidak secara ketat menjalankan tugasnya menjaga wilayah laut. Logika yang dipakai Bishop , seandainya Indonesia ketat mengawasi wilayah lautnya , mustahil terjadi dugaan kejadian pertolongan uang oleh pegawanegeri intelijen Australia kepada nakhoda dan awak kapal. Logika yang memakai cara berpikir anak-anak.

Banyak pihak di Indonesia dikejutkan dengan kejadian ini. Tidak kurang dari Panglima Tentara Nasional Indonesia Moeldoko yang menyatakan ini merupakan modus gres dari Australia untuk menghalau kapal-kapal pencari suaka. Bahkan , Wapres Jusuf Kalla menyatakan , bila apa yang dilakukan pegawanegeri intelijen Australia benar , tindakan ini sanggup dikategorikan sebagai "suap".

Wajar apabila para pejabat Indonesia terkejut mengingat Australia termasuk negara yang bersih. Bahkan , Indonesia banyak dibantu dalam upaya perang melawan korupsi. Sungguh ironis.

Namun , fakta ini memperlihatkan negara yang mengklaim beradab , menghormati hak asasi insan , dan kampiun dalam pemberantasan korupsi , ketika kepentingan nasional yang menjadi taruhan , segala slogan yang agung akan segera runtuh. Penghalalan segala cara akan dibenarkan.

Ini tentu menjadi preseden buruk. Negara besar ibarat Australia ternyata hanya pintar berceramah kepada negara-negara yang lebih lemah , tetapi akan menafikan slogan-slogan peradaban dunia modern ketika kepentingan mereka membutuhkan.

Bukan pertama

Dalam masa pemerintahan Abbott , bukan sekali ini saja penghalalan segala cara dalam kebijakan untuk menghalau kapal-kapal yang berisikan pencari suaka.

Pada Januari 2014 kapal perang Angkatan Laut Australia , ketika menghalau kapal pencari suaka , memasuki wilayah kedaulatan Indonesia. Ini terang merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Insiden ini selesai dengan seruan maaf Panglima Angkatan Perang Australia kepada Panglima TNI.

Selanjutnya , pada Februari 2014 diduga dua kali Australia memasukkan para pencari suaka ke kapal sekoci berwarna oranye tanpa pendaftaran dan tanda kebangsaan. Sekoci ini lalu didorong ke wilayah Indonesia.

Polisi melaksanakan pemeriksaan terhadap pemilik sekoci oranye ini. Namun , alasannya kurangnya bukti , pemeriksaan tidak diteruskan. Tidak ada pernyataan apa pun dari Pemerintah Indonesia terhadap Australia terkait sekoci yang berisi pencari suaka.

Terkait kejadian terakhir dan merupakan kejadian ketiga menjadi pertanyaan , patutkah Indonesia berdiam diri atau menganggap kejadian ini sebagai tidak pernah ada?

Apabila mengacu pada kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang telah diinterpretasi oleh pemerintahan Jokowi , yaitu semua negara yaitu sobat , hingga dengan kedaulatan Indonesia direndahkan dan kepentingan nasional dirugikan , maka tidak seharusnya kebijakan menghalalkan segala cara Pemerintah Australia didiamkan.

Opsi pemerintah

Lalu , apa saja opsi Pemerintah Indonesia?

Pertama , patut diapresiasi apa yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi yang memanggil Duta Besar Australia di Indonesia untuk memperlihatkan penjelasan. Penjelasan tersebut hingga artikel ini ditulis belum diberikan alasannya Dubes Australia sedang meminta konfirmasi dari Canberra.

Demi kepastian , Menlu Retno Marsudi perlu memperlihatkan batas waktu. Jangan lalu Australia mempermainkan Indonesia dengan mengulur-ulur waktu. Harapannya tentu biar kejadian ini terlupakan sebagaimana insiden-insiden sebelumnya.

Kedua , kepolisian harus tetap melanjutkan proses aturan terhadap para nakhoda dan awak yang diduga melaksanakan penyelundupan manusia.

Di ketika bersamaan , kepolisian harus terus mendalami pengukuhan nakhoda terkait dengan pertolongan uang dan kesaksian para pencari suaka. Uang pertolongan kepada nakhoda dan awak kapal harus disita dan disimpan untuk dijadikan barang bukti apabila kelak diperlukan.

Ketiga , bila menurut banyak sekali barang bukti dan klarifikasi dari Pemerintah Australia terdapat bukti-bukti besar lengan berkuasa adanya pertolongan uang oleh pegawanegeri intelijen Australia , Indonesia perlu mendesak biar Australia melaksanakan proses aturan terhadap siapa pun yang melaksanakan tindakan koruptif tersebut.

Desakan ini dilakukan mengingat Australia yaitu negara penerima dari the Protocol against the Smuggling of Migrants by Land , Sea , and Air yang merupakan bab dari Convention against Transnational Organized Crime. Aparat intelijen tersebut sanggup dikualifikasi telah turut serta dalam kejahatan penyelundupan manusia.

Apabila Australia tidak mau (unwilling) melaksanakan proses aturan terhadap pelaku pemberi uang , maka tindakan pegawanegeri intelijen ini sanggup diatribusikan sebagai kebijakan Pemerintah Australia. Artinya , penghalauan kapal pencari suaka yang memakai uang dan masuk kategori sikap koruptif merupakan kebijakan Pemerintah Australia. Tentu ini akan mempermalukan Pemerintah Australia di mata dunia.

Terakhir , bila banyak sekali upaya yang dilakukan Indonesia ditanggapi secara hambar oleh Australia , Indonesia perlu membawa permasalahan ini ke tingkat internasional.

Di Dewan HAM PBB , Indonesia sanggup memberikan praktik pelanggaran HAM para pencari suaka yang dilakukan dengan sikap koruptif yang dilakukan oleh Pemerintah Australia.

Australia telah tidak mematuhi Konvensi perihal Pengungsi yang telah diikutinya. Cara licik Pemerintah Australia untuk tidak patuh dalam konvensi yaitu dengan melabeli para pencari suaka sebagai imigran gelap. Tentu setiap negara memiliki hak untuk menghalau imigran gelap memasuki negaranya secara ilegal.

Secara internasional , Indonesia juga sanggup memberikan kepada tubuh PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR) dan negara-negara yang peduli terhadap nasib pencari suaka biar menekan Australia supaya mematuhi kewajibannya dalam Konvensi perihal Pengungsi.

Terakhir , duduk kasus ini seharusnya menjadi kepedulian forum swadaya masyarakat baik di Indonesia maupun internasional. Kebijakan menghalau para pencari suaka yaitu pelanggaran HAM yang tidak sanggup didiamkan. Kecuali para pegiat HAM menyuarakan informasi HAM dengan sasaran negara berkembang dan negara kecil saja , tetapi tidak negara besar ibarat Australia.

Hikmahanto Juwana; Guru Besar Hukum Internasional UI

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Penghalauan Kapal Dengan Uang"

Total Pageviews