David T Hill
Indonesia yaitu salah satu soko guru saat ASEAN didirikan tahun 1967 dalam suasana Perang Dingin melawan komunisme , sekaligus menjadi tuan rumah sekretariat ASEAN. Indonesia juga mendukung perkembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 ini.
Akan tetapi , sejauh mana prinsip pembatalan batas antara negara-negara ASEAN ini akan membawa manfaat bagi Indonesia? Khususnya , apa dampaknya kepada media Indonesia sebagai salah satu sektor yang paling memilih ekonomi Indonesia?
Hal itu patut dipertanyakan alasannya yaitu tidak ada sektor ekonomi yang lepas dari dampak media. Kesehatan media suatu negara merupakan tolok ukur kesehatan demokrasi masyarakat pada umumnya. Andaikata media dikuasai kepentingan yang tidak demokratis—baik yang dari dalam negeri ataupun asing—maka roda-roda demokrasi , yang bergantung kepada arus informasi yang terbuka , sanggup mulai terhambat , malah sanggup berhenti serentak. Segala aspek jalannya sistem demokrasi mestinya sanggup dipantau , diselidiki , dan dikritik manusia media yang bertugas investigatif.
Setelah berakhirnya Perang Dingin dan disadari negara-negara pendiri ASEAN bahwa kolaborasi dengan negara komunis di wilayah Asia Tenggara lebih masuk nalar daripada tetap mewanti-wanti mereka , keanggotaan ASEAN meliputi negara nonkapitalis. ASEAN juga berusaha membina kekuatan ekonomi bersama di daerah ini.
Alhasil , pada tamat 2015 akan diresmikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) , diakibatkan perundingan yang berlangsung sudah belasan tahun. Blueprint-nya pun telah disetujui pada 2007.
Tujuannya , antara lain , ialah dibentuknya sebuah ekonomi bersama yang meliputi seluruh daerah ASEAN tanpa batas tembok antarnegara. Prinsipnya ekonomi tanpa batas ini akan memungkinkan arus bebas dan pemindahan dengan gampang lima faktor yang pokok , yaitu: barang , jasa , penanaman modal , kapital , dan tenaga kerja terampil.
Manfaat yang diharapkannya berdasarkan perkiraan bahwa pengembangan ekonomi seluas-luasnya akan mengangkat kualitas kehidupan di seantero negara dan masyarakat yang ikut. Dan , bahwa pengembangan tersebut akan seimbang bagi semua peserta.
Akan tetapi , apakah mungkin? Apakah tujuan yang diagung-agungkannya itu tanpa risiko , sebagai pola , bagi industri media?
Kemampuan bersaing
Industri media sendiri boleh dikatakan makin usang makin global , tanpa sanggup dibatasi lagi pada suatu pasar negara tertentu. Apalagi yang namanya "new media" dengan infrastruktur digital yang serba mobile itu.
Yang terang , arus bebas tenaga kerja terampil dalam media bisa membuka peluang kerja yang lebar bagi orang Indonesia jika bisa bersaing , berdasarkan pengalamannya serta pendidikannya , dengan pencari pekerjaan dari negara ASEAN yang lain. Seorang warga negara Indonesia tamatan universitas di Indonesia ataupun luar negeri , contohnya , sanggup bekerja di seluruh ASEAN.
Secara teoretis. Tetapi , berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang berbekal keterampilan bersaing itu?
Hambatan yang terang yaitu bahasa. Secara de facto bahasa Inggris telah menjadi bahasa pemersatu daerah ASEAN. Tentu ada banyak wartawan Indonesia yang sangat fasih dalam bahasa Inggris. Namun , masih banyak pekerja media yang belum selancar itu. Dengan bahasa Inggris yang lebih prima barangkali mereka masih bisa menerima pekerjaan di Malaysia , Singapura , ataupun Brunei. Mungkin keadaan kerja lebih layak daripada yang ada di Indonesia.
Kalau dulu praktisnya hanya koresponden gila ataupun staf forum pers internasional yang begitu gampang sanggup pindah-pindah. Mungkin dengan MEA , tidak hanya wartawan , tetapi tenaga media bab teknis , menyerupai teknisi IT atau fotografer contohnya , yang tidak perlu bahasa gila dengan tepat , bisa mencari lapangan kerja yang gres di luar negeri.
Sebenarnya , jika seseorang ingin lebih menjamin kemungkinan kerja dalam daerah MEA tersebut , yang memang multietnis , multiagama , dan multibahasa , kefasihan dalam bahasa Inggris tidak cukup.
Umpamanya , jika wartawan Indonesia ingin bekerja di Thailand atau Kamboja , apa tidak perlu menguasai bahasa setempat semoga sanggup meliput gosip dengan efektif? Dan , berdasarkan kesan sejumlah pekerja media yang aktif di kancah internasional , sedikit sekali pekerja media Indonesia—ataupun orang Indonesia dalam sektor apa pun—yang sudah menguasai bahasa-bahasa ASEAN (selain Inggris , Indonesia , dan Mandarin , barangkali).
Secara garang sanggup dikatakan bahwa potensi MEA yang paling mencolok yaitu bagi para investor. Investor Indonesia diberi keleluasaan untuk menanamkan modal dalam ekonomi negara ASEAN yang lain. Dan , sebaliknya.
Apa kiranya pemilik (atau oligark) media Indonesia akan mau membeli media di negara lain? Ataukah kepentingan politik mereka lebih mementingkan mereka berkonsentrasi kepada kepemilikan media di Indonesia , di mana mereka sanggup membina gambaran politik mereka untuk kemudian hari.
Apakah jalan mereka ke kekuasaan akan lebih mulus jika melebarkan sayap ke pasar media di luar negeri? Atau seni administrasi politik mereka berarti lebih logis memusatkan modal media di Indonesia saja?
Realitas pasar
Kekuatan media Indonesia telah teruji pada masa pasca Soeharto. Tingkat kompetensi , baik dalam kalangan pemodal , maupun dalam kalangan pekerja , telah menyaring mereka yang sanggup bertahan dari mereka yang kalah bersaing. Jumlah koran di Indonesia , umpamanya , telah melangit sesudah dihapuskannya sistem kontrol Orde Baru , tetapi dalam beberapa tahun saja , telah menciut kembali saat realitas pasar mematikan koran yang kurang profesional ataupun yang tidak cukup modalnya.
Pengalaman selama Orde Baru masih relevan. Media Indonesia banyak hikmahnya buat media di beberapa negara ASEAN yang medianya belum sebebas Indonesia , menyerupai Myanmar , Malaysia , dan Singapura. Pekerja media Indonesia sanggup membantu mitra seprofesinya di sana. Wartawan Indonesia populer bersemangat pada profesinya dan berkomitmen pada peranan media dalam proses perubahan sosial-politik.
Akan tetapi , jika menatap masa depan , apakah pendidikan dan training pekerja media dan calon pekerja media di Indonesia bertaraf internasional? Apakah kurikulum kegiatan jurnalistik ataupun komunikasi massa , contohnya , cocok dengan tuntutan MEA?
Salah satu langkah yang sanggup diambil untuk memastikan kecocokan tersebut barangkali yaitu pertukaran staf pengajar dari universitas dan forum di Indonesia dengan negara-negara lain , baik ASEAN maupun di luar ASEAN. Barangkali mahasiswa pun sanggup mengadakan exchange atau pertukaran untuk memperoleh perspektif yang lebih luas daripada yang ditawarkan dalam perguruan tinggi tinggi di Indonesia.
Barangkali "modal" yang paling relevan dan berkhasiat dalam menghadapi tantangan MEA yaitu perspektif yang global dan jaringan internasional , supaya kita tidak terkungkung dalam perspektif dunia yang terlalu sempit dan nasionalistis.
David T Hill; Profesor Kajian Asia Tenggara , Universitas Murdoch , Perth , Australia Barat
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Media Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi Asean"